Liputan Khusus

Perubahan iklim merubah pola migrasi di Afrika

Mengurangi tekanan terhadap lahan dampak dari migrasi berarti harus menyatukan faktor manusia dan lingkungan ke dalam satu solusi.
Bagikan
0
Migrasi penduduk negara Sahelian kering seperti Nigeria dan Burkina Faso untuk perbaikan mata pencaharian ke wilayah pesisir Afrika Barat semakin memperluas degradasi lahan di negara tersebut. Terry Sunderland/CIFOR

Bacaan terkait

Menyusul terjadinya perubahan pola migrasi akibat perubahan iklim, pada gilirannya meningkatkan tekanan terhadap keterbatasan lahan dan sumber daya alam, para pakar di sebuah konferensi global menyerukan peningkatan fokus pada resiliensi dan pendekatan holistik sebagai cara menghindari konflik.

“Migrasi lingkungan bukanlah bentuk baru migrasi. Perubahan iklim yang membuatnya berbeda,” kata Paula Caballero, Direktur Senior Bank Dunia pada sesi khusus  Forum Bentang Alam Global, yang digelar bersamaan dengan COP21 di Paris, Desember 2015.

Migrasi adalah salah satu masalah besar, yang seringkali terjadi sebagai respon atas dampak perubahan iklim atau konflik, dan ini memperburuk dampak terhadap lingkungan. Demikian menurut  Louise Baker, Koordinator Hubungan Eksternal dan Kebijakan Konvensi Melawan Desertifikasi PBB.

“Hal ini agak menjadi paradigma migrasi yang terdegradasi dan ditinggalkan,” kata Baker. “Orang yang berpindah untuk mencari peluang,” menjadi awal terbentuknya “lingkaran setan.”

BERGERAK

Jika migrasi tradisional musiman bersifat sementara, pola migrasi baru lebih membebani bentang alam dan populasi yang ada, kata Stephen O’Brien, Wakil Sekretaris Jenderal Koordinator Urusan Kemanusiaan dan Bantuan Darurat di Kantor Koordinasi Kemanusiaan Perserikatan Bangsa Bangsa.

“Apa yang berubah adalah sebagian besarnya malah menjadi melarat,” kata O’Brien. “Sebagian kemelaratan itu adalah kegagalan politis, walaupun banyak disebabkan oleh beban dari upaya mencari keseimbangan antara sumber daya iklim dan kemampuannya menyokong kehidupan manusia.”

Bahkan ketika masalah ini semakin besar, menurut Caballero, untuk sekadar menarik perhatian yang cukup juga tidak mudah.

“Sebagai Direktur Senior Lingkungan dan Sumber Daya Alam, Saya sendiri berulangkali harus menjelaskan bahwa lingkungan tidak hanya soal katak ini, ikan itu atau soal seekor beruang panda. Bahwa ini pada intinya benar-benar soal manusia,” katanya.

Kemiskinan parah mendorong migrasi ke lingkungan yang makin marjinal, kata Antoinette Macumi, Penasihat Menteri Air, Lingkungan, Lahan dan Tata Kota di Burundi. Misalnya, banyak petani terdorong ke areal lahan miring dan lembah rentan banjir di benua Afrika.

“Kuatnya ketergantungan populasi pada sumber daya alam – khususnya air dan tanah – berdampak pada keberlangsungan dan penghidupan para pendatang,” kata Macumi.

Resiliensi lahan sangat penting bagi masyarakat yang bergantung pada tanah. Karena hanya lahan, harta yang mereka punyai

Louise Baker

RESILIENSI MENJADI AMAT KRUSIAL

Pendekatan bentang alam menyajikan metodologi untuk menselaraskan kebutuhan manusia atas lahan, kata Baker.

Pendekatan ini merupakan sebuah jalan untuk “mengakui bahwa kita memerlukan pengembangan kota, kita perlu industri, kita perlu hutan, kita perlu lahan garapan dan semua itu harus selaras,” tambahnya. “Tidak bisa satu lebih dominan di atas kerugian yang lain.”

Dalam pandangan Djime Adoum, perencanaan bentang alam bahkan melangkah lebih jauh.

“Bentang alam bukan hanya sekadar kerangka kerja teknis,” kata  Adoum, Sekretaris Eksekutif Komite Permanen Antarnegara untuk Pengendalian Kekeringan di Sahel (CILSS). “Pendekatan bentang alam juga menyatukan orang dalam sebuah meja dan menyepakati apa yang menjadi tujuan bersama.”

Kita telah melakukan hal yang membuat kita percaya bahwa kita bisa melakukannya lebih baik.

Djimé Adoum

Ia mencontohkan migrasi dari negara Sahelian kering seperti Nigeria dan Burkina Faso. Para migran tersebut tiba di negara pesisir Afrika Barat dan makin memperluas lahan terdegradasi di negara-negara tersebut.

Menurut Adoum, Pantai Gading, Benin, Togo, dan Guinea juga terdampak oleh eksodus dari Sahel.

“Negara-negara itu datang dan menyatakan, ‘Tunggu sebentar. Ini makin coklat dan coklat, dan mulai tampak seperti Sahel.’

“Apa yang kemudian mereka lakukan? Mereka bergabung dengan CILSS” untuk membantu mengelola migrasi dan membatasi dampak lingkungan. Adoum menyatakan, dengan bergabung ke CILSS, negara-negara tersebut memilih untuk “duduk dan berbicara” mencari solusi.

“Kita telah melakukan hal yang membuat kita percaya bahwa kita bisa melakukannya lebih baik,” kata Adoum.

Untuk memperkaya diskusi, Baker memasukkan elemen manusia dan lingkungan.

“Resiliensi lahan sangat krusial bagi masyarakat yang bergantung padanya. Hanya itu sumber daya yang mereka miliki,” katanya. “Lahan harus fungsional. Lahan harus produktif dan sehat agar mereka mampu beradaptasi.”

 

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org