Berita

Analisa riset: Konservasi berbasis pasar menciptakan lebih banyak kebingungan

Superioritas Instrumen berbasis pasar hanyalah asumsi. Promosinya smungkin didorong oleh ideologi neoliberal dan bukan bukti ilmiah.
Bagikan
0
Burung nuri di Amazon, Brasil. Foto: Neil Palmer/CIAT untuk Center for International Forestry Research (CIFOR).

Bacaan terkait

BOGOR, Indonesia – Berbagai instrumen berbasis pasar untuk menjaga kelestarian ekosistem dan keanekaragaman hayati mulai semakin populer dibandingkan instrumen perundang-undangan, tetapi istilah tersebut begitu luas dan menyesatkan berakibat kesusahan bagi para pembuat kebijakan untuk menarik konklusi, menurut studi terbaru.

Riset yang dilakukan oleh para peneliti di Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) dan Lembaga Pembangunan Berkelanjutan dan Hubungan Internasional (IDDRI) menganalisa106 artikel ilmiah yang telah ditinjau para rekan kerja terhadap berbagai instrumen berbasis pasar semacam itu (IBP) dan menemukan bahwa banyak dari apa yang disebut IBP yang digambarkan hampir tidak berhubungan dengan pasar.

Anda memiliki keberagaman yang sangat besar dari apa yang disebut instrumen berbasis pasar, dan istilah itu sendiri membingungkan karena hal tersebut memicu banyak pemahaman dan penafsiran yang berbeda.

Misalnya, Pembayaran Jasa Lingkungan (PES), suatu instrumen yang digunakan secara luas yang dikategorikan sebagai IBP, sering kali berakhir menjadi pemerintah yang membayar para penyedia jasa, bertindak sebagai “subsidi terselubung” dan bukan sebagai suatu mekanisme pasar, dalam instrumen ini para penyedia jasa akan mendapat dana dari penerima uang, studi tersebut mencatat.

Di antara berbagai artikel tersebut, 50 nama berbeda diberikan untuk menggambarkan berbagai jenis IBP, namun hanya 10 persen dari artikel tersebut mengajukan suatu bentuk tipologi untuk memperjelas dan mengorganisasikan keberagaman tersebut, biasanya dengan cara yang sangat sederhana.

“Anda memiliki keberagaman yang sangat besar dari apa yang disebut instrumen berbasis pasar, dan istilah itu sendiri membingungkan karena hal tersebut memicu banyak pemahaman dan penafsiran yang berbeda,” ujar Romain Pirard, ilmuwan CIFOR dan penulis utama studi ini.

“Pada waktu bersamaan, ada ekspektasi yang besar terhadap IBP karena hal ini dipandang sebagai baru dan inovatif,” ujarnya.

IDEOLOGI MENGALAHKAN ILMU PENGETAHUAN?

Kebingungan ini telah menunda kemajuan dalam kebijakan di bidang ini, yang menyebabkan penundaan di forum-forum internasional, khususnya untuk negosiasi tentang mekanisme finansial inovatif untuk implementasi dari target Aichi dalam Konvensi Keanekaragaman HayatiBeberapa negara Amerika Latin, misalnya, telah menyuarakan oposisi mereka terhadap komodifikasi alam, ketika sebenarnya berbagai instrumen PES yang digunakan di negara-negara tersebut jarang bergantung pada pasar dan sangat serupa dengan berbagai usaha konservasi di masa lalu melalui pengaturan oleh pemerintah atau berbagai program penyandang dana.

“IBP menjadi tren dalam konteks neoliberalisme. Ada banyak dukungan dalam menurunnya peran negara. Orang berpikir akan lebih baik bila negara memiliki lebih sedikit kekuasaan, jadi IBP ini telah menerima banyak perhatian,” ujar Pirard.

“Tetapi bila Anda memandang pada berbagai instrumen ini dengan lebih terperinci, sebagian besar tidak benar-benar melibatkan penurunan peran negara.”

Konsep yang membuat nilai hutan dalam pengertian finansial telah mengumpulkan momentum dalam tahun-tahun terakhir, dengan tokoh-tokoh berprofil tinggi menyuarakan dukungan mereka. The Prince’s Rainforest Project, inisiatif Pangeran Charles dari Kerajaan Inggris untuk memperlambat deforestasi, memiliki slogan: “Berupaya menjadikan nilai hutan hidup lebih tinggi daripada mati.” Sementara itu, Uni Eropa semakin menyukai IBP dan telah mengintegrasikannya dalam beberapa dari banyak rencana tindakannya dan berbagai instrumen pertumbuhan pekerjaan berkelanjutan.

  • Di Forum Bentang Alam Global:Bagaimana caranya penggantian instrumen finansial dapat menghasilkan tingkat deforestasi yang lebih rendah? Pertanyaan ini dan lebih banyak lagi akan diperdebatkan dalam suatu sesi diskusi di Forum Bentang alam Global mendatang di Peru, Lima, 6-7 Desember. Klik di sini untuk informasi selanjutnya.

Tetapi dari ke-106 artikel yang dipelajari, seperempatnya tidak menyebutkan dan menganalisis dasar pemikiran ekonomi dari cepatnya kemunculan IBP sebagai sebuah alternatif yang lebih baik terhadap berbagai instrumen pengaturan.

Dalam berbagai kasus ini, superioritas IBP hanyalah merupakan asumsi, dan promosinya sebagai instrumen kebijakan mungkin didorong oleh ideologi dan bukan bukti ilmiah, studi itu menyatakan.

PENDEKATAN BARU

Para penulis studi tersebut bertujuan untuk mengategorikan IBP yang disebutkan dalam berbagai artikel tersebut dalam enam deskripsi yang mencerminkan sifatnya dengan lebih baik–pasaran langsung, kesepakatan yang dapat diperdagangkan, pelelangan terbalik, kesepakatan tipe Coase, kesepakatan perubahan pengaturan harga dan kesepakatan harga sukarela. Seperempat dari artikel-artikel tersebut hanya menyebutkan IBP dan “mekanisme insentif” tanpa definisi lebih jauh, dan dengan demikian tidak dapat dikategorikan.

Tetapi bahkan tipologi ini, yang sebelumnya dipublikasikan oleh penulis utama , menurut pengakuan studi tersebut, juga terbatas. Dalam banyak kasus, berbagai instrumen bersifat multidimensional dan dapat dibagi-bagi menjadi beberapa kategori.

Studi tersebut juga menemukan bahwa para ilmuwan menggunakan begitu banyak metodologi dalam studi mereka mengenai IBP sehingga hampir mustahil untuk melakukan perbandingan apa pun, menggambarkan kurangnya “suatu kerangka kerja yang mempersatukan yang akan memungkinkan para peneliti dan pembuat kebijakan menarik pelajaran kuat dari suatu set metode yang sama dan hasil-hasil yang berkaitan.”

Di antara berbagai metodologi terdapat studi kasus lokal dan latihan pemodelan atau simulasi. Tetapi 40 persen dari artikel menggunakan wacana teoretis–metodologi yang paling umum–di mana data empiris bukan menjadi pusat analisis.

Sebuah studi sebelumnya yang dibantu penulisannya oleh Pirard menggambarkan bagaimana PES pada mulanya dirancang sebagai sebuah IBP melalui kesepakatan yang telah dinegosiasikan antara penyedia jasa ekosistem dan pengguna, dikenal sebagai jenis kesepakatan Coase, tetapi berkembang lebih cenderung pada cara pengaturan.

PES sekarang umumnya melibatkan perantara atau pemerintah untuk membayar jasanya. Sering kali dalam lingkungan yang berpengaturan ringgi dan dalam banyak kasus condong ke arah subsidi.

Di Kosta Rika, misalnya, masyarakat mendapat sejumlah gaji oleh pemerintah per hektar bila mereka melestarikan hutan, melaksanakan pengelolaan hutan atau menghutankan kembali dengan menanam pohon di bawah suatu sistem PES. Ini intinya adalah subsidi dan orang dapat mendebat bahwa hal ini tak ada hubungannya dengan pasar.

“PES juga telah menjadi suatu istilah yang sedemikian luas sehingga menjadi tidak berguna.”

“Anda bisa melakukan beberapa evaluasi terhadap PES, tetapi nyatanya orang sedang mengevaluasi hal-hal yang sangat berbeda.”

Untuk informasi lebih jauh mengenai berbagai topik dalam penelitian ini, silakan menghubungi Romain Pirard di r.pirard@cgiar.org.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org