Kegiatan menjaga hutan bakau dilakukan secara sukarela oleh masyarakat setempat yang berawal dari kejadian di tahun 1975, saat air laut pasang datang dan merusak kebun. “Kami lalu bergotong royong mulai menanam bakau di pinggiran pantai pulau,” tutur Wayan Sukirta, ketua kelompok masyarakat. Selain sebagai perlindungan terhadap pulau, hutan bakau yang saat ini mencapai 230 hektar di Nusa Lembongan juga memberikan keuntungan ekonomis lain sebagai tempat wisata lingkungan.
Selain kegiatan fisik, upaya penertiban hukum juga dilaksanakan. Masyarakat memberlakukan hukum adat yang dalam bahasa setempat disebut awig-awig untuk melarang penebangan bakau serta memberdayakan Pecalang (satuan pengamanan tradisional Bali) untuk mengawasi bila terjadi pelanggaran. Sanksi untuk pelanggaran adalah membersihkan pura selama 11 hari dan menyerahkan lima kilogram beras kepada kelompok masyarakat.
Kepatuhan menjaga hutan yang dihubungan dengan hukum adat bukanlah hal yang baru bagi masyarakat Indonesia dan sering lebih berhasil daripada hukum di tingkat nasional. Masyarakat turun temurun melestarikan hutan karena pentingnya ekosistem ini untuk kelangsungan hidup mereka. Pengetahuan tradisional akan sistem menjaga lingkungan merupakan salah satu bagian penting yang seharusnya mendapat perhatian dari para ilmuwan.
Para peneliti “harus mulai menaruh perhatian pada riset sosial seperti adat istiadat dan budaya masyarakat,” dan tidak melulu berkutat di penelitian yang bersangkutan dengan alam, kata Marthen Welly dari Coral Triangle Center (CTC). Organisasi nirlaba ini berfokus pada pengembangan kapasitas masyarakat selaku pelaku konservasi dan berkomitmen menempatkan penelitian sosial berupa pengetahuan dan praktek tradisional dalam program komunikasi mereka.
Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam seminar mengenai pengaman REDD beberapa waktu lalu juga mengingatkan supaya masyarakat jangan dijadikan subyek semata. Pendekatan kepada masyarakat perlu dilakukan karena mereka berhak untuk mendapatkan informasi atas apa yang terjadi di wilayah mereka sebelum memutuskan untuk setuju terhadap suatu sistem baru.
Pendekatan dengan ilmu sosial merupakan salah satu cara jitu untuk merangkum inspirasi dalam masyarakat dan melalui pendekatan ini, akan diketahui cara-cara efektif untuk berkomunikasi melalui media yang tepat. Keseimbangan antara riset teknis dan sosial diharapkan akan menciptakan suatu sistem pengelolaan hutan bersama masyarakat yang harmonis dan menghindarkan konflik antar pihak.
——-
Tulisan ini merupakan catatan perjalanan lapangan ke Nusa Penida Coral Triangle Center, salah satu kegiatan dalam pelatihan bagi wartawan lingkungan yang diselenggarakan oleh CIFOR, dalam kerja sama dengan SIEJ dan Internews, di Bali, 9-11 April 2011.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org