Diterjemahkan oleh Nita Murjani
BOGOR, Indonesia (28 Maret, 2011) – Dengan milyaran dollar yang ditawarkan kepada negara-negara berkembang untuk melindungi hutan mereka karena perannya dalam memperlambat perubahan iklim, saat ini perhatian justru beralih pada masalah siapa yang memiliki lahan dimana pepohonan tumbuh – dan siapa yang menjadi pemilik karbon yang terkandung dalam pepohonan dan yang terkandung di dalam tanah.
Di banyak negara berkembang, kepemilikan lahan hutan seringkali tidak jelas – apakah menjadi milik perseorangan, kelompok masyarakat adat, kelompok masyarakat lokal lain ataukah pemerintah pusat. Hak-hak – dan terutama, tuntutan-tuntutan terhadap hak-hak – muncul bukan hanya dari sistem hukum formal, tetapi juga dari sistem hukum adat atau adanya tuntutan dari yang mengaku pemilik.
Membenahi kejelasan hak terhadap lahan hutan, sumber daya dan cadangan karbon adalah satu dari tantangan utama untuk terlaksananya REDD+ di lapangan, kata William Sunderlin, peneliti senior di Center for International Forestry Research (CIFOR).
REDD+ adalah mekanisme global untuk mengurangi emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan, selain itu juga untuk konservasi dan pengelolaan berkelanjutan dari hutan dan peningkatan cadangan karbon hutan. Mekanisme global ini menawarkan salah satu opsi paling rendah biaya untuk memangkas emisi gas-gas rumah kaca secara global.
“Kepemilikan lahan adalah satu dari masalah-masalah yang paling penting yang harus diselesaikan sebelum REDD+ dapat dilanjutkan”, kata Sunderlin. “Telah terjadi perkembangan yang tak berimbang dalam hal ini, dan tidak adanya kemajuan dan kesadaran di beberapa negara tentu sangat mengkhawatirkan”.
Namun milyaran dollar dana yang dijanjikan bagi REDD+ juga telah menjadi pendorong percepatan proses reformasi kepemilikan lahan hutan di beberapa bagian dunia.
Sementara proyek-proyek REDD+ akan terus berjalan walaupun reformasi kepemilikan lahan belum benar-benar terselesaikan, kemajuan yang terus menerus dalam hal ini sangat penting untuk memberikan energi jangka panjang bagi terlaksananya REDD+.
Janji bantuan dana sebesar 1 milyar dollar dari Norwegia kepada Indonesia untuk menghentikan deforestasi selama 2 tahun telah siap dilaksanakan tahun ini walaupun masih banyak perselisihan tentang penggunaan lahan hutan.
“Adalah sangat penting untuk menangani masalah-masalah ini secara tepat sebelum REDD+ benar-benar dilaksanakan di Indonesia”, kata Sunderlin.
Diantara negara-negara yang mulai melaksanakan REDD+, Brazil adalah negara yang memiliki catatan terbaik dalam hal reformasi kepemilikan lahan hutan. “Tak diragukan lagi, Brazil adalah yang terdepan dalam hal penyelesaian masalah kepemilikan lahan hutan dimana telah ada pembagian kepemilikan lahan yang cukup besar baik untuk kepemilikan komunitas ataupun dialokasikan untuk penggunaan oleh komunitas”, kata Sunderlin.
Tetapi bahkan di Brazil, yang reformasi kepemilikan lahan hutannya termasuk yang paling maju di dunia, ketidakpastian kepemilikan lahan atas hutan Amazon wilayah Brazil, dianggap sebagai tantangan utama bagi pelaksanaan REDD+.
Hasil studi CIFOR yang akan segera dipublikasikan tentang kepemilikan lahan dan keterlibatan masyarakat pada 3 proyek REDD+ di Brazil oleh Amy Duchelle dan beberapa penulis lain, termasuk Sunderlin, menemukan bahwa para pihak yang terlibat dalam proyek REDD+ ini telah merespons tantangan ini melalui pengutamaan reformasi kepemilikan lahan dalam kegiatan-kegiatan penyiapan REDD+. Berbagai upaya tersebut meliputi pengecekan lapangan terhadap kepemilikan lahan kecil untuk diperhitungkan dalam proyek pemukiman resmi dan bekerja bersama para pemilik lahan swasta untuk mewujudkan hak kepemilikan lahan berbasis lingkungan bagi masyarakat pedesaan, yang merupakan langkah penting dalam mencapai kesesuaian dengan lingkungan.
Selain tantangan-tantangan terkait masalah reformasi kepemilikan lahan, ada tantangan lain yaitu tentang hak-hak terhadap karbon hutan yang belum jelas secara hukum di banyak negara-negara yang melaksanakan REDD+.
Di Papua Nugini contohnya, dimana komunitas memegang kepemilikan yang sah menurut undang-undang atas sebagian besar lahan hutan, namun pertentangan timbul karena pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya juga menuntut karbon hutan sebagai haknya.
“Dalam sejarahnya, masyarakat yang tinggal di dalam kawasan hutan telah diperlakukan sebagai pelanggar di rumahnya mereka sendiri dan telah dicabut haknya untuk mendapatkan pembagian yang adil atas keuntungan dan manfaat dari sumber daya hutan”, kata Sunderlin.
“Sangat penting untuk memberikan perhatian serius terhadap masalah kepemilikan lahan dan hak-hak lainnya untuk mengantisipasi agar kesalahan-kesalahan di masa lalu tidak terulang kembali, sehingga pelaksanaan REDD+ memiliki peluang besar untuk berhasil”.
Untuk informasi lebih lanjut tentang kepemilikan lahan dan REDD+ (dalam Bahasa Inggris):
InfoBrief: Rights to forests and carbon under REDD+ initiatives in Latin America
Forest tenure reform in the age of climate change
Rights to land, forests and carbon in REDD+
Tenure Rights and Beyond: Community Access to Forest Resources in Latin America
Grounding the REDD+ debate: Preliminary evidence from pilot initiatives in the Brazilian Amazon
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org