BOGOR (6 November 2012)_Walau Indonesia mendapat pujian untuk berbagai upaya menjawab tantangan tata kelola yang mempengaruhi sektor kehutanan, sebagian besar tantangan tersebut justru terkait dengan struktur ekonomi dan ketergantungannya pada pengambilan sumber daya alam. Sebuah hasil kajian terbaru menunjukkan kendala-kendala kunci yang harus diatasi untuk melangkah maju dalam suatu skema reduksi emisi dari deforestasi dukungan PBB.
Laporan kajian tersebut memaparkan perkembangan skema pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) yang dilakukan Indonesia dalam lima tahun terakhir—sejak 2007, ketika pertama kali konsep tersebut menarik perhatian di konferensi perubahan iklim di Bali, hingga 2011 ketika Indonesia mulai membangun kerangka institusional untuk menerapkan suatu program nasional REDD+.
Hutan milik negara mencapai lebih dari 70 persen (sekitar 130 juta hektar) dari total daratan Indonesia. Banyak kawasan tersebut dihuni oleh penduduk lokal dan masyarakat adat yang menuntut hak khusus, dan sebagian telah dialokasikan atau ditandai untuk aktivitas pembangunan masa depan, termasuk perkebunan minyak sawit.
Dua di antara para penulis laporan—Daju Resosudarmo dari Center for International Forestry Research dan Prayekti Murharjanti dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) –berbicara kepada Kabar Hutan mengenai isu terpenting yang harus dijawab oleh Indonesia untuk maju dalam pelaksanaan program nasional REDD+.
T: Laporan profil negara telah mendokumentasikan proses pembangunan kebijakan REDD+ dari tahun 2007 sampai tahun 2011. Apa langkah berikutnya agar REDD+ melangkah maju di Indonesia?
Resosudarmo: Sementara beberapa kebijakan sudah sesuai ditempatnya, petunjuk praktis untuk menggerakkan REDD+ di Indonesia belum dirumuskan. Contohnya, unit/lembaga REDD+ yang bertanggungjawab menerapkan REDD+ belum dibentuk. Institusi ini harus memiliki mandat legal yang kuat, diterima secara luas di lapangan, serta harus merangkul semua sektor terkait dan pemangku kepentingan REDD+. Saat ini, kita memiliki lembaga sementara, Satuan Tugas REDD+, tetapi saya percaya mandatnya akan selesai akhir tahun ini.
Seperti juga mekanisme finansial dan MRV (sistem pemantauan untuk mengukur, melaporkan, dan verifikasi aktivitas REDD+) yang belum ada sesuai standarnya. Kebijakan REDD+ juga harus sejalan dengan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK), yang kini telah diterjemahkan ke dalam rencana aksi tingkat regional.
T: Aspek manajemen hutan yang mana yang paling kritis untuk dijawab dalam hubungannya dengan REDD+?
Resosudarmo: Salah satu yang paling mendasar adalah menyelesaikan isu-isu penggunaan lahan, termasuk perencanaan penggunaan lahan dan isu hak atas lahan. Perencanaan spasial tingkat provinsi dan distrik harus dilengkapi agar bisa digunakan sebagai rujukan semua aktivitas pembangunan berbasis lahan, dan hak atas lahan harus dibuat jelas untuk menghindari konflik. Saat ini peta-peta yang berbeda digunakan oleh berbagai sektor dan lembaga-lembaga pemerintahan.
Diperlukan satu peta untuk semua sektor dan semua tingkat pemerintahan yang bisa dirujuk dalam merencanakan aktivitas dan alokasi lisensi perkebunan, penebangan, dan konsesi pertambangan, selain untuk projek REDD+. Indonesia tengah bekerja untuk menyusun satu peta—sebagai rujukan tunggal, standar, database, dan geoportal. Ini adalah kerja besar dan harus didukung.
Hak atas lahan (tenure) juga perlu dipertegas, karena ini berkaitan dengan hak untuk berpartisipasi (atau tidak) dan keuntungan dari REDD+, seperti juga tanggungjawab untuk menjaga karbon.
Murharjanti: Menetapkan suatu kerangka legal agar REDD+ bisa bergerak maju adalah salah satu hal utama yang harus diselesaikan.
Saat ini, pengakuan legal atas hak masyarakat adat atas lahannya sangat minim. Memang ada pernyataan dalam hukum yang secara resmi mengakui hak adat, tetapi dalam praktiknya sangat kecil pengakuan atas hak masyarakat adat atas lahannya.
Kurangnya jaminan kepada masyarakat atas lahan adalah sebuah kendala besar. Sudah menjadi praktik umum kita menyaksikan pemerintah memberikan konsesi penebangan kepada perusahaan dalam wilayah besar yang dihuni atau dimiliki oleh masyarakat selama beberapa dekade, memunculkan konflik yang sulit diatasi. Walaupun pada beberapa kejadian, pemerintah memahami pentingnya mempertegas hak atas lahan di Indonesia, kejadian seperti ini menunjukkan mereka kurang serius untuk menyelesaikan masalah hak atas lahan.
T: Jadi apa yang harus dilakukan untuk mengubah itu?
Murharjanti: Pertama, kita harus mengubah Hukum Kehutanan (hukum yang menetapkan batas hutan/Hutan Negara, terutama dari aspek partisipasi dan transparansi prosesnya), rencana penggunaan lahan dan hak masyarakat lokal yang tinggal dan menggantungkan hidupnya di hutan.
Kedua, dalam kerangka legal yang ada, masyarakat adat harus diidentifikasi. Kita perlu mempertegas mana lahan milik mereka, dan ini tengah diupayakan Satgas REDD+ di Kalimantan Tengah (provinsi percontohan REDD+), bekerjasama dengan kelompok kerja provinsi percontohan dan gubernur Kalimantan Tengah. Negara sudah mulai melakukan ini. Beberapa kelompok masyarakat sipil (contohnya Aliansi Masyarakat Adat/AMAN) mencoba mengembangkan pemetaan partisipatoris untuk mengidentifikasi lahan masyarakat adat–yang dalam kerangka legal saat ini–seharusnya menjadi tanggungjawab pemerintah lokal.
Juga terdapat kelemahan dalam keselarasan antar peraturan-peraturan berbeda yang mempengaruhi hak adat. Contohnya, di bawah Hukum Kehutanan, hutan adat termasuk dalam Hutan Negara. Hal ini, dalam beberapa pandangan, tidak selaras dengan Hukum Agraria, yang mengakui bahwa masyarakat adat memiliki hak atas lahannya, dan oleh karena itu tidak bisa dimasukkan sebagai bagian dari wilayah hutan yang dikelola pemerintah. Ini adalah contoh kasus mendasar yang dibawa AMAN ke Mahkamah Konstitusi.
Sebagai tambahan untuk menyediakan ketegasan legal, pemerintah harus membuat sistem yang transparan, partisipatoris, dan akuntabel untuk pemilahan lahan. Sistem ini juga harus menghormati hak masyarakat atas lahan dan menyediakan mekanisme untuk mengatasi konflik akibat pengakuan yang tumpangtindih. Peta tunggal harus dihasilkan agar menjadi rujukan yang jelas bagi setiap orang untuk meminimalisir konflik. Ketika hukum, sistem yang akuntabel, dan peta tunggal telah ada, pemerintah harus menggunakannya untuk mengatasi tumpang tindih pengakuan, dan menegakkan hukum tanpa tertunda.
Resosudarmo: Kebijakan dan projek REDD+ dapat menghadirkan risiko baru bagi masyarakat yang bergantung pada hutan dan kelompok rawan, termasuk masyarakat adat, dalam beragam cara. Contohnya, tanpa informasi yang cukup dan berimbang, masyarakat mungkin tidak menyadari risiko dan tanggungjawab yang ada ketika berpartisipasi dalam program REDD+, dan hasilnya mereka bisa terjebak dalam perjanjian legal yang tidak menguntungkan. Pemusatan insentif REDD+ pada wilayah tertentu bisa menimbulkan efek balik, seperti “perkelahian sumber daya” yang bertentangan dengan hak masyarakat, meningkatkan migrasi ke dalam wilayah hutan yang kaya, serta spekulasi oleh investor besar yang mengakibatkan sengketa dan konflik lahan dengan masyarakat lokal.
Di pihak lain, jika hak masyarakat dipertegas (dan dihormati oleh pemangku kepentingan REDD+ lainnya), dan jika masyarakat lokal mendapat cukup informasi mengenai REDD+, termasuk hak dan tanggungjawabnya, mereka memiliki pilihan antara berpartisipasi (dan mendapat keuntungan dari REDD+) atau tidak.
Rentang perlakuan berbeda dibutuhkan untuk memitigasi risiko-risiko ini selama mendisain dan menerapkan projek REDD+. Hal ini mencakup: mempertegas kepemilikan dan hak legal untuk mengambil keuntungan dari karbon (hak karbon di Indonesia tidak secara eksplisit dipisahkan dari hak atas lahan); meningkatkan akses informasi REDD+ dalam bahasa lokal; mendefinisikan bagaimana pemasukan disalurkan pada masyarakat yang bergantung pada hutan; mengamankan mekanisme perbaikan dan penyelesaian perselisihan yang efektif; memprioritaskan perluasan kepentingan pembangunan masyarakat dan pemerintahan lokal; dan memperkenalkan pendekatan kreatif untuk pemantauan berbasis masyarakat.
T: Adakah kasus sukses dalam reformasi pengelolaan hutan di Indonesia yang bisa digunakan sebagai model?
Resosudarmo: Jika saya lihat, satu bentuk peningkatan positif dan relatif konkret adalah penjaminan hutan desa, dalam hal ini hak pengelolaan (hutan) desa kepada masyarakat dari Kementerian Kehutanan. Meskipun mempertegas hak atas lahan dan menyelesaikan tumpangtindih hak dan batas hutan tetap menjadi tantangan.
T: Bisakah anda menjelaskan sedikit apa rekomendasi dari laporan ini untuk mengatasi isu yang berkaitan dengan lisensi lahan di Indonesia?
Murharjanti: Banyak masalah berkaitan dengan pengeluaran lisensi dan ijin akibat kurangnya koordinasi di pihak pemerintah. Misalnya, di Kalimantan Tengah, kami menemukan banyak lisensi konsesi atau perkebunan yang dikeluarkan tanpa ijin dan sepengetahuan Kementerian Kehutanan. Juga, seringkali ada dokumen yang berbeda ketika menjelaskan apa yang masuk kawasan hutan dan apa yang tidak. Dan data yang digunakan pemerintah lokal untuk mengeluarkan ijin tidak begitu saja tersedia atau bisa dipahami oleh pemerintah pusat.
Ini bukan hanya kasus di Kalimantan Tengah, Provinsi lain juga menghadapi masalah yang sama. Memang tidak ada keharusan legal agar ada koordinasi di antara kantor pemerintah yang berbeda. Misalnya, dalam kerangka legal yang mengarahkan proses pemberian lisensi perkebunan, tidak ada keharusan legal bagi pemerintah lokal untuk mendapat persetujuan dari Kementerian Kehutanan.
Dalam hukum, lisensi perkebunan hanya dapat diberikan untuk lahan di luar wilayah hutan. Tetapi faktanya—karena lemahnya koordinasi dengan pemerintah pusat dan kurangnya peta yang bisa diandalkan—pemerintah lokal bisa mengeluarkan ijin bagi kawasan mana saja yang diinginkan, mengikuti aktivitas perkebunan dan pertambangan.
Secara legal, lisensi perkebunan hanya bisa diberikan di luar wilayah hutan, sementara di dalam wilayah hutan manapun, harus melalui persetujuan Kementerian Kehutanan sebelum ijin dikeluarkan. Tetapi faktanya hal ini tidak terjadi dalam banyak kejadian, dan ini adalah salah satu sumber terbesar deforestasi dan degradasi. Dalam beberapa kasus, perusahaan menebang hutan dan melakukan aktivitas perkebunan bahkan sebelum mereka belum mendapat ijin pengunaan lahan.
Jadi proses pengeluaran lisensi harus diperketat agar ijin untuk perkebunan, penebangan, dan pertambangan tidak dikeluarkan sampai pembenaran bahwa wilayah itu bukan bagian dari wilayah hutan.
T: Bagaimana laporan ini bisa berguna bagi pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan REDD+?
Resosudarmo: Laporan ini penting bagi semua pemangku kepentingan REDD+ untuk mengerti konteks ekonomi-politik hutan dan penggunaan lahan di negara manapun yang mengembangkan REDD+.
Memahami proses perumusan kebijakan dan proses mewujudkan REDD+ terkait dengan struktur dan institusi melibatkan pemahaman mengenai penyebab deforestasi dan degradasi, yang dapat didorong dari sektor di luar kehutanan, selain dari sektor kehutanan itu sendiri.
Laporan ini bagian dari Global Comparative Study on REDD+, CIFOR yang didukung oleh The Norwegian Agency for Development Cooperation (NORAD) and AusAid
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org