Berita

Sebuah laporan menemukan celah pengamanan perdagangan kayu

Sangat penting bahwa implementasi dan otoritas penegakkan EUTR dan CITES dikomunikasikan secara efektif dan akrab satu sama lain
Bagikan
0
Sistem internasional untuk mengontrol perdagangan kayu harus bekerja lebih erat jika ingin membendung gelombang kayu ilegal, demikian menurut sebuah laporan. Photo @CIFOR

Bacaan terkait

BOGOR, Indonesia — Kayu yang ditebang secara ilegal di Afrika, Asia dan Amerika Latin tetap dijual di pasar dunia, meski ada upaya internasional membatasi perdagangan tersebut. Sistem internasional yang dimaksudkan untuk mengontrol perdagangan ilegal harusnya bekerja sama lebih erat jika ingin membendungnya, demikian menurut laporan baru terbitan Chatham House, sebuah lembaga kebijakan berbasis di London, dan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR).

Regulasi yang berlaku di Uni Eropa (UE) sejak Maret 2013 melarang penjualan kayu ilegal dan produk dari kayu ilegal di pasar UE. Mereka juga mewajibkan pembeli dan pedagang menjamin produk mereka bisa dijejak melalui rantai suplai.

Tindakan tersebut, dikenal sebagai Regulasi Kayu Uni Eropa, melengkapi Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Fauna dan Flora Terancam (CITES), sebuah pakta internasional yang ditujukan menjamin perdagangan binatang liar dan tanaman tidak membahayakan keberlangsungan mereka.

Para pakar menyatakan bahwa dua sistem ini saling melengkapi.

“CITES berkaitan dengan kumpulan sangat spesifik perundangan untuk melindungi flora dan fauna, sementara Regulasi Kayu UE terfokus mengurangi risiko produk ilegal memasuki rantai suplai, secara umum,” kata Jade Saunders dari Chatham House, salah seorang penulis kajian.

Regulasi Kayu Uni Eropa dirancang untuk menjaga kayu ilegal dan produk kayu ilegal tidak masuk pasar UE. CITES mengharuskan negara-negara menjamin perdagangan spesies terancam tidak mengancam populasi spesies tersebut dalam wilayah mereka, kata Rosalind Reeve, mitra peneliti senior CIFOR dan salah seorang penulis kajian.

Regulasi UE mengincar perdagangan ilegal, sementara CITES dimaksudkan untuk menjamin pemanfaatan berkelanjutan, kata Reeve.

Dua sistem ini bisa bekerja bersama, mengingat pendekatan mereka meninggalkan celah regulasi, kata Reeve. Lemahnya koordinasi antar lembaga terkait dalam penegakkan peraturan dua sistem ini dapat pula mengurangi efektivitasnya, tambah Saunders.

Regulasi Kayu UE mengembangkan Rencana Aksi Penegakkan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Hutan (FLEGT), diluncurkan pada 2013. Regulasi Kayu mensyaratkan semua penjual produk kayu di pasar Uni Eropa melakukan “pemeriksaan seksama,” melibatkan penyediaan informasi mengenai produk dan penyuplai serta patuh pada hukum di negara asal.

Di bawah peraturan Eropa, bagaimanapun, import kayu yang patuh dengan persyaratan CITES bebas dari persyaratan “pemeriksaan seksama”, seperti juga produk di bawah FLEGT melalui Kesepakatan Kemitraan Sukarela (VPAs). Kesepakatan perdagangan bilateral seperti itu menawarkan akses istimewa pasar Eropa pada negara penghasil kayu yang bisa menjamin legalitas ekspor kayu mereka.

Indonesia dan lima negara Afrika – Kamerun, Republik Afrika Tengah, Ghana, Liberia dan Republik Kongo – memiliki VPAs dan mengembangan regulasi pendamping untuk pemantauan dan lisensi. Sembilan negara lain tengah merundingkan kesepakatan dengan Uni Eropa, sementara 11 lain mengungkapkan minat, menurut lembaga Eropa yang mengawasi FLEGT.

Membebaskan import yang telah disetujui CITES dari persyaratan pemeriksaan seksama menciptakan celah, kata Reeve, karena Regulasi Kayu UE (EUTR) dan CITES menggunakan pendekatan pengukuran berbeda untuk menentukan apakah kayu dipanen secara ilegal.

Dinyatakan, lebih dari setahun setelah diterapkan, beberapa negara UE mengambil langkah konkrit memperkuat EUTR, menurut Andrew Wardell, mantan direktur program hutan dan tata kelola CIFOR. “Masih ada ketidaksepahaman meluas terkait dengan lingkup tugas yang harus dilakukan di bawah EUTR, dan bagaima mengatur pengerahan sumber daya yang sesuai,” katanya.

Di bawah CITES, sebuah negara penghasil kayu tropis dapat mengeluarkan ijin ekspor untuk kayu yang ditebang sesuai dengan hukum perlindungan flora dan fauna, sepanjang penebangan tidak mengancam keberlangsungan spesies tersebut. Aturan untuk menentukan apakah penebangan legal tidak sama di antara negara-negara CITES, kata Reeve.

Aturan Uni Eropa lebih ekstensif, mempersyaratkan pedagang menjamin bahwa kayu ditebang secara legal di bahwa legilasi lingkungan dan kehutanan negara produsen; bahwa hak lahan dan kesehatan pekerja serta hukum keselamatan dijunjung; dan bahwa eksportir dan importir mematuhi hukum perdagangan dan bea cukai.

Dengan membebaskan kayu berlisensi CITES dari pemeriksaan seksama, Uni Eropa bisa mengimpor kayu atau produk yang tidak memenuhi standar lebih ketat regulasi perdagangan, kata Reeve.

“Sangat penting bahwa implementasi dan otoritas penegakkan EUTR dan CITES dikomunikasikan secara efektif dan akrab satu sama lain,” katanya.

Salah satu risiko ekspor kayu menggunakan perijinan curang – sebuah masalah dengan mahoni daun besar (Swieteniamacrophylla) dari Peru, menurut sebuah studi kasus dalam laporan Reeve dan Saunders – bisa terhindar dari pemeriksaan. Hal lain adalah produk tertentu spesies daftar CITES bisa diimpor secara bebas, mengingat CITES tidak secara spesifik mensyaratkan ijin eksport untuk item-item tersebut.

Lisensi FLEGT seharusnya membantu mengurangi penyalahgunaan ijin CITES dengan mensyaratkan negara membangun sistem kontrol yang dipantau oleh lembaga pemerintah dan auditor independen, tetapi sistem tersebut belum berjalan, kata Reeve.

Untuk menjamin bahwa Regulasi Kayu UE dan sistem CITES saling memperkuat, otoritas yang bertanggungjawab dalam menerapkan hal tersebut di beragam negara Eropa harus saling berbagi dan membandingkan informasi, kata Saunders.

Lembaga penegakkan aturan CITES di beberapa negara Eropa sudah berbagi basis data secara on-line, EU TWIX, dan Saunders menyerukan penggabungan sistem informasi bagi otoritas CITES dan Regulasi Kayu UE.

Dia dan Reeve memberi tambahan rekomendasi, termasuk membuat peringkat negara eksportir di mana legalitas produk CITES dipertanyakan; mengembangkan daftar CITES dengan memasukkan lebih banyak produk kayu olahan; menyusun panduan konsisten menilai apakah kayu “legal”; dan mengembangkan upaya termasuk melibatkan negara-negara Asia – sebagian terlihat memunculkan institusi sertifikasi baru – dalam menjejak produk ilegal.

Jika beberapa pendekatan ini diimplementasikan, bersama dengan panduan perilaku pedagang dan kesepakatan sukarela yang mendefinisikan kayu “legal” lebih jelas dan membangun sistem pemantauan di negara penghasil kayu, kata Reeve, “Anda akan melihat berkurangnya kayu ilegal diperdagangkan di Uni Eropa.”

Untuk informasi lebih mengenai topik riset ini, silahkan hubungi Rosalind Reeve di roz.reeve@gmail.com.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Topik :   Restorasi Deforestasi Sertifikasi Kayu

Lebih lanjut Restorasi or Deforestasi or Sertifikasi Kayu

Lihat semua