Liputan Khusus

Teknologi baru, menyediakan peta lebih baik melindungi hutan Indonesia

Hanya menyediakan data bukanlah tujuan akhir. Data terbuka adalah cara sangat penting untuk memberdayakan dan membangun kepercayaan.
Bagikan
0
Penduduk desa Boepe, kabupaten Merauke, provinsi Papua, Indonesia. Foto: CIFOR

Bacaan terkait

JAKARTA, Indonesia — Di Indonesia, alat baru yang menawarkan cara pandang terbaik melihat deforestasi bisa segera dilengkapi oleh peta baru untuk menerjemahkan data tersebut menjadi aksi. Global Forest Watch (GFW), diperkenalkan awal tahun ini, adalah wahana internet memanfaatkan citra satelit, data terbuka dan crowdsourcing, memungkinkan pengguna untuk memantau hutan dan menjejak deforestasi di manapun di dunia dalam nyaris real-time. Sebagai sebuah inisiatif World Resources Insitute berbasis di Washington DC, GFW menjawab masalah besar tidak-konsisten dan tidak dan tidak-terpercayanya data – sumber umum konflik antara pemangku kepentingan manajemen lahan – serta membangun informasi akurat bagi pemerintah, perusahaan, LSM dan masyarakat.

Wahana ini dikembangkan dengan bantuan lebih dari 40 mitra dan kolaborator dari sektor swasta, masyarakat sipil dan pemerintah, kata manajer senior Crystal Davis pada Pertemuan Puncak Tingkat Tinggi Hutan Asia di Jakarta, baru-baru ini.

Tetapi hanya menyediakan data “bukanlah tujuan akhir kami,” katanya. “Kami melihat data terbuka sebagai cara sangat penting untuk memberdayakan dan membangun kepercayaan di antara beragam pemangku kepentingan.”

Banyak negara Asia menderita akibat buruknya manajemen data, lemahnya akses data dan bertentangannya kumpulan data, demikian menurut Badan PBB Organisasi Pangan dan dan Pertanian (FAO); hal ini dapat membuat frustasi upaya pembangunan berkelanjutan. Data dan informasi akurat pada kejadian seperti kebakaran dan jumlah emisi karbon yang dihasilkan, misalnya, sangat penting bagi negara seperti Indonesia untuk memenuhi target reduksi emisi melalui inisiatif seperti REDD+ (Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan), kata para ahli.

Data hanyalah salah satu bidak. Sementara GFW memungkinkan pengguna melihat di mana kehilangan hutan terjadi, menetapkan batas konsesi sama pentingnya dalam menjamin akuntabilitas penebangan liar.

Memasuki Inisiatif Satu Peta – peta tunggal usulan, mencakup semua peta Indonesia yang bertujuan mencakup semua informasi relevan terkait lisensi hutan dan klaim penggunaan lahan. Melalui inisiatif ini, Indonesia mencoba merekonsiliasi beragam peta penggunaan lahan yang bertentangan – masalah umum di seluruh Asia Tenggara – dan menunjukkan tumpang tindihnya area konsesi, terbagi untuk beragam perusahaan untuk beragam penggunaan.

Seperti Pemantau Hutan Dunia, Inisiatif Satu Peta memberi manfaat untuk beragam pemangku kepentingan – tetapi membutuhkan kolaborasi mereka untuk membuatnya berguna. Shinta Kamdani, wakil kepala bidang lingkungan dan perubahan iklim Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), menyatakan bahwa organisasinya kini bekerjasama dengan badan REDD+ dalam mendukung inisiatif “Satu Peta”.

“Kami percaya tanpa satu peta, sangat sulit bagi semua aktor untuk bermain,” kata Kamdani. Ia menekankan pentingnya memberikan kepastian bagi investor untuk terlibat dalam pembiayaan REDD+, sebuah topik yang banyak dibahas dalam KTT Hutan Asia.

Kamdani menyatakan KADIN terdorong oleh pendirian badan REDD+ Indonesia tahun ini, sebuah langkah besar melengkapi inisiatif Satu Peta dan menuju penghilangan awan ketidakpastian REDD+ di Indonesia.

Tetapi membantu mengurai tantangan penggunaan lahan dan deforestasi di Indonesia memerlukan lebih dari peta – diperlukan dialog berlanjutan antar para pemangku kepentingan pemerintah, masyarakat sipil, komunitas dan sektor swasta, kata peserta KTT. Salah satu tujuan GFW, menurut Davis, adalah mendorong diskusi mengenai bagaimana menetapkan hutan dan deforestasi di antara beragam pemangku kepentingan.

“Saya sebenarnya berpikir terdapat banyak hal bisa dipelajari dengan proses transparan untuk membandingkan data dan metodologi berbeda, untuk membuka dialog mengenai apa yang Anda sepakat dan tidak sepakat mengenai apa yang dikatakan data-data ini,” katanya.

“Kami semua belajar bahwa proses multi-pemangku kepentingan yang baik – yaitu proses inklusif, berunding secara jujur, terus menerus dan adaptif, berlandaskan akses informasi yang transparan dan setara – adalah sesuatu yang membutuhkan kesabaran. Tidak ada jalan pintas.”

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Topik :   Tenurial

Lebih lanjut Tenurial

Lihat semua