Berita

Hati-hati mendesain bagi manfaat, atau muncul risiko rusaknya REDD+, peringatan peneliti

"Cubitan kecil" perubahan bisa jadi hanya memperkuat status quo, di bawah penyamaran perubahan.
Bagikan
0
Diantara risiko REDD + adalah ketidaksediaan pengguna hutan untuk berkomitmen jika mereka tidak yakin akan menerima setiap imbalan atas upaya mereka, pendapat dari para Pusat Penelitian Kehutanan Internasional. Foto: CIFOR / Kate Evans

Bacaan terkait

BOGOR, Indonesia (16 Agustus 2013)_Mekanisme pembagian manfaat REDD+  harus dirancang dengan baik atau malah bisa menciptakan masalah jangka panjang, demikian saran peneliti Pusat Penelitian Hutan Internasional (CIFOR).

Pembagian manfaat adalah komponen penting REDD+ (pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan), sebuah skema mitigasi perubahan iklim yang bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca global dengan menciptakan insentif untuk konservasi, perbaikan dan pengelolaan hutan lestari. Mengingat REDD+ berbasis ganjaran bersyarat bagi pengurangan emisi, skema ini membutuhkan sebuah sistem—atau mekanisme—untuk menentukan siapa yang diganjar, mengapa dan berapa proporsinya.

“Ada risiko bahwa REDD+ dapat berakhir memberi dampak negatif jika mekanisme pembagian keuntungan tidak dirancang dengan hati-hati,” ujar Pham Thu Thuy, ilmuwan CIFOR dan penulis utama projek studi komparasi pembagian manfaat REDD+ di 13 negara.

“Banyak solusi REDD+ mencari dampak langsung, tetapi mereka perlu juga melihat konsekuensi jangka panjang,” tambahnya.

Pham dan rekannya telah menilai pendekatan pembagian manfaat yang diusulkan atau diuji di di negara REDD+. Model-model tersebut mencakup pendekatan berbasis-dana, kesepakatan konsesi hutan, instrumen berbasis pasar (seperti pembayaran jasa lingkungan), biaya sewa lahan dan kehutanan masyarakat. Distribusi manfaat bisa berupa uang, seperti hasil penjualan kredit karbon di pasar atau dari pendanaan donor atau pemerintah, atau non-uang, seperti transfer teknologi atau peningkatan jasa ekosistem.

Mereka menganalisa apakah pendekatan-pendekatan ini memberi hasil yang efektif, efisien dan ekuitabel— kriteria mapan bagi keberhasilan REDD+ — terhadap kondisi politik-ekonomi tiap keadaan.

Di semua negara, telah teridentifikasi faktor-faktor yang bisa melemahkan pembagian manfaat dan merusak keberlangsungan hasil REDD+.

Dua isu paling serius adalah ketidakjelasan kepemilikan dan hak atas lahan serta kurang terwakilinya masyarakat lokal—masalah yang, menurut Pham, “cenderung muncul dari pengaturan politik dan rancangan kelembagaan”.

Mengelola risiko

Di antara risiko REDD+ yang disebabkan oleh ketidakjelasan kepemilikan lahan dan terbatasnya pemahaman masyarakat setempat mengenai haknya adalah para pengguna hutan mungkin tidak berkehendak untuk berkomitmen terhadap REDD+ jika mereka tidak yakin akan mendapatkan ganjaran atas upaya mereka, kata kajian ini.

“Jika orang tidak memiliki rasa memiliki terhadap lahan, mereka hanya mencari keuntungan jangka pendek,” kata Pham.

“Jika mereka bertanya mengenai  hak terhadap keuntungan REDD+ berdasar hak atas lahan mereka, dan mereka tidak mendapat hak jelas, mereka bisa kehilangan insentif reduksi emisi.”

Kegagalan untuk memberi suara terhadap masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan dan perancangan dapat juga melemahkan mekanisme akhir pembagian manfaat, yang seharusnya dipandang adil, atau mereka akan mengancam legitimasi—dan penerimaan—REDD+.

“Banyak negara mengambil pendekatan atas-bawah dalam tata kelola hutan dan masyarakat tidak memiliki banyak peluang untuk menyuarakan pendapat atau mempengaruhi keputusan,” kata Pham.

“Di banyak negara ini, kelompok kecil kuat mendominasi perdebatan. Banyak orang lain yang akan terpengaruh tidak bisa bicara. Hal ini bisa berarti mereka tidak akan mendukung mekanisme akhir atau tidak mendapatkan insentif untuk melindungi hutan, dan akhirnya REDD+ tidak bisa berhasil.”

Memitigasi risiko-risiko ini akan membutuhkan reformasi di negara-negara REDD+, untuk mencapai rejim kepemilikan lebih jelas, meningkatkan koordinasi di antara pelaku, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, meningkatkan pertukaran informasi dan penguatan kapasitas pelaku, khususnya di tingkat lokal.

“Ketika kita berbicara reformasi, kita bicara reformasi tidak hanya di sektor kehutanan atau kepemilikan lahan,” kata Pham. “Ini benar-benar soal strategi pembangunan dan prioritas negara.”

Lebih jauh, reformasi harus menjadi seperti apa yang dikenal sebagai “perubahan transformasional”—membongkar praktik standar busines-as-usual, tambah Grace Wong, ilmuwan senior CIFOR dan pemimpin projek baru CIFOR mengenai pembagian manfaat.

“Jika ada perubahan, diperlukan perubahan besar,” katanya. “Jika hanya cubitan kecil, maka ini bisa jadi hanya memperkuat status quo, di bawah penyamaran perubahan.”

Dalam keseimbangan

Jadi seperti apa mekanisme pembagian manfaat yang terancang baik?

“Tidak ada resep tunggal,” kata Pham. “Ini akan tergantung pada konteks, dalam hal ini, rejim politik negara, prioritas nasional dan kapasitas lembaga pemerintah. Tetapi ada beberapa tampilan penting dalam disain.”

Pertama, katanya, mekanisme harus berbasis pemahaman bersama, dengan negosiasi dan kekuatan setara serta pertimbangan minat dari semua pihak.

Mekanisme pembagian manfaat juga harus fleksibel, jadi dapat disesuaikan dengan perubahan tiap waktu, dan memiliki mekanisme keluhan di dalamnya.

“Mekanisme pembagian manfaat cenderung lintas tingkat pemerintah—dari lokal ke provinsi dan nasional—dan bisa terjadi bahwa kepala keluarga ditinggalkan karena seseorang di rantai atas mengambil bagian orang lain,” kata Pham. “Model yang ada tidak memiliki sistem pelaporan dan penghentian perilaku ini.”

Disain juga harus memungkinkan keseimbangan—atau bahkan pertukaran—antara tujuan “3E” yaitu efektivitas, efisiensi dan ekuitas. Pham mengutip projek di Vietnam yang mendahulukan satu “E”—ekuitas—di atas yang lain, dengan hasil yang tidak efisien atau efektif.

“Mereka bilang mereka akan mendistribusi manfaat uang kepada semua orang di desa, tetapi kemudian setiap orang menerima kurang dari satu dolar setahun. Ini tampak sangat ekuitabel tetapi tidak menyediaan cukup insentif,” katanya.

“Jadi kita harus melihat pada semua tiga E dan mencoba mencari harmonisasi terbaik berdasar pada konteks negara.”

Untuk informasi lebih mengenai topik yang didiskusikan dalam makalah ini, silahkan hubungi Pham Thu Thuy di T.Pham@cgiar.org

Karya ini merupakan bagian dari program riset CGIAR mengenai hutan, pohon dan agroforestri dan didukung oleh NORAD, AusAID, DFI dan Uni Eropa.

 

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Topik :   Tenurial

Lebih lanjut Tenurial

Lihat semua