BOGOR, Indonesia (22 Juli 2013)_Jika skema untuk membayar negara berkembang mengurangi emisi karbon dengan memperlambat deforestasi ingin mendapat legitimasi, kepemilikan lahan tidak sekadar diperjelas—tetapi harus diperjelas dengan jalan menghormati hak masyarakat lokal, demikian menurut ahli dari Centre for International Forestry Research (CIFOR).
Prinsip di balik mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, atau REDD+, adalah untuk mengganjar masyarakat yang mensekuestrasi karbon atau mengindari deforestasi, mengkompensasi mereka atas hilangnya peluang dan untuk menahan pembayaran jika mereka tidak memenuhi janjinya, kata ilmuwan CIFOR, Anne Larson.
“Kepemilikan lahan penting karena Anda perlu tahu kepada siapa Anda memberi imbalan,” katanya.
“Dan Anda perlu tahu siapa yang bertanggungjawab.”
Mengutip pernyataan Anne Larson dalam acara International Society for Ecological Economics di konferensi Rio+20 di Brasil tahun lalu, Larson mengatakan sementara saat ini diakui luas bahwa kepemilikan lahan penting bagi REDD+, sekadar mengklarifikasi kepemilikan tidak cukup.
“Ini soal mengakui hak. Klarifikasi untuk siapa menjadi penting,” katanya.
“Mengklarifikasi kepemilikan untuk REDD+ bisa hanya berarti memberi semua hutan pada pemegang lahan swasta dan masalah selesai—tetapi pertama, itu tidak menyelesaikan masalah, dan kedua terdapat isu keadilan serius dari sudut pandang orang yang sudah tinggal di hutan, penghidupan mereka dan hak adat yang diwarisi.”
Tetapi menurut dia, hal ini bukan semata alasan keadilan soal kepemilikan perlu diselesaikan.
“Sebagian berargumen bahwa jika hak tidak dihormati akan ada protes, akan ada sabotase, akan ada risiko untuk investor dalam hal mendapatkan pendanaan untuk REDD+ dan melangsungkan programnya.”
Hasil karya Larson soal kepemilikan lahan diambil dari Kajian Perbandingan Global CIFOR tentang REDD+ dan telah dipublikasikan dalam publikasi baru CIFOR, Menganalisis REDD+: Sejumlah tantangan dan pilihan
Tanpa hak kepemilikan lahan bagi masyarakat yang tinggal di hutan, kata Larson, REDD+ akan lemah dalam legitimasi yang diperlukan untuk berjalan.
Tetapi menyelesaikan isu ini tidak mudah.
“Masalah terbesar terkait kepemilikan untuk REDD+ ini adalah biayanya. Ini mahal, ini sulit dilakukan secara logistik, ini berantakan,” kata Larson.
“Masalah lain adalah kompleksitasnya serta kecenderungan pemerintah dan lembaga sertifikasi ingin menyederhanakan. Bagi REDD+ ini akan lebih mudah, tetapi tidak lantas bekerja bagi masyarakat lokal dan penghidupan mereka.”
Larson mengatakan hal ini menjadi rumit khususnya di wilayah dengan sistem hak lahan tumpang tindih.
“Soal ini khususnya nyata di beberapa bagian Afrika, ketika, contohnya, orang berbeda bisa memiliki hak di musim berbeda: satu keluarga bisa memiliki hak atas buah di pohon, dan orang lain punya hak untuk kayu bakar, mungkin penggembala datang selama satu atau dua bulan dan punya hak untuk mengambil cabang lebih bawah,” katanya.
“Terdapat semua jenis tumpang tindih hak, jadi ketika Anda memberi surat pada satu orang, secara mendasar Anda mengabaikan hak semua orang lain itu.”
“Dan Anda bisa memotong jaring pengaman, khususnya ketika Anda berurusan dengan masyarakat miskin desa.”
Larson mengatakan penyelesaian isu kepemilikan lahan dengan cara yang menghormati hak pada tingkat akar rumput akan membuka lebih banyak opsi bagi REDD+, sejalan dengan menjamin skema ini adil dan efektif.
“Jika Anda tidak mau membuat orang miskin makin miskin, kehilangan hak tanah mereka, kehilangan sumber penghidupan mereka, tidak sekadar untuk keadilan tetapi karena mereka bisa, faktanya mulai membakar hutan jika mereka diabaikan atau menderita di tangan orang yang mempromosikan REDD+, apakah itu investor atau petualang karbon—maka kepemilikan lahan penting, dan saya pikir ini sesuatu yang harus diselesaikan.
CATATAN: Artikel di blog ini pertama kali terbit tanggal 9 Juli 2012, bertepatan dengan publikasi Analyzing REDD+: Challenges and Choices
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org