Berita

Indonesia dan REDD+: Bergerak melampaui karbon menuju pembangunan berkelanjutan

Pepohonan akan tetap tegak, dan pada saat yang sama ada pendapatan dan kesejahteraan penduduk meningkat. Mampukah REDD+ menjawabnya.
Bagikan
0

Bacaan terkait

Indonesia menggunakan skema mitigasi iklim yang didukung PBB sebagai lebih dari sekadar sarana untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi. Indonesia juga berupaya mengembangkan rencana berlapis untuk meningkatkan tata kelola hutan dan mengentaskan kemiskinan.

Sekitar 49 juta orang hidup di dalam atau di sekeliling hutan di negara khatulistiwa ini, menurut estimasi terakhit. Mereka merupakan salah satu kelompok miskin terbesar di Indonesia — seperempat di antaranya hidup dengan kurang dari 2 dolar AS (kira-kira 19.000 rupiah) per hari. Masyarakat ini menggunakan hutan untuk mendapatkan kayu bakar, berburu dan mengumpulkan tanaman obat, kulit kayu dan produk non-kayu lainnya untuk digunakan di rumah atau dijual ke pasar setempat.

“Bila Anda ingin melindungi hutan, Anda harus berhadapan dengan orang yang hidup di dalam hutan-hutan tersebut,” ujar Kuntoro Mangkusubroto, yang mengepalai satuan tugas Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi hutan Indonesia, atau REDD+.

Ini berarti, antara lain, memberikan insentif ekonomi kepada masyarakat setempat untuk membantu melindungi pepohonan yang tersisa secara aktif.

“Untuk saya itu berarti bergerak melampaui karbon…itulah esensi REDD+,” ujar Mangkusubroto.

REDD+ bertujuan memberikan imbalan finansial kepada negara-negara berkembang yang melestarikan hutan mereka yang kaya akan karbon. Skema ini merupakan unsur kunci dalam usaha Indonesia untuk mencapai komitmennya untuk mengurangi emisi sebesar 26 persen dari tingkat business-as-usual dan sampai dengan 41 persen dengan bantuan luar negeri pada tahun 2020.

Penundaan dalam pendanaan skala-besar untuk proyek-proyek REDD+ di tingkat internasional telah menyebabkan banyak ahli meminta agar pemerintah memprioritaskan baik tindakan yang membangun fondasi untuk REDD+ dan menerapkan reformasi kebijakan ‘tanpa penyesalan, seperti memperbaiki tata kelola hutan, pengentasan kemiskinan dan penegakan hukum.

Walaupun di tingkat global REDD+ sangat berfokus pada peran hutan dalam memperlambat perubahan iklim, proyek REDD+ di Indonesia telah menggeser strategi mereka ke arah mendorong masyarakat setempat untuk melindungi hutan-hutan mereka dengan memberikan sumber pendapatan alternatif.

Dengan demikian, REDD+ mewakili salah satu cara Indonesia mencapai sasaran “pertumbuhan berkelanjutan dengan kesetaraan,” kata Mangkusubroto.

“Kami meninggalkan paradigma lama di mana pohan ditebang untuk mendapatkan penghasilan, dan memasuki era baru: pepohonan akan tetap tegak, dan pada saat yang sama ada pendapatan dan kesejahteraan penduduk meningkat,” ujarnya.

“Pemikiran lama sudah ada bersama kami selama 40 tahun, [sekarang kami mengembangkan] cara berpikir baru ini.”

Menangani tindak pidana lingkungan hidup

Salah satu alasan tingginya laju deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia adalah sering tidak ada konsekuensi untuk penebangan kayu liar, ujar Mas Achmad Santos, ketua kelompok kerja kajian hukum dan penegakan hukum di Satgas REDD+.

Santosa dan rekan-rekannya sedang mencoba meningkatkan koordinasi antara berbagai lembaga penegakan hukum di sektor kehutanan. Mereka sedang mengkaji berbagai peraturan yang ada dan memastikan penggunaan perangkat hukum yang tepat ketika dilakukan penyergapan terhadap para pelanggar.

Hal ini berarti menerapkan berbagai peraturan, termasuk undang-undang pencucian uang, anti korupsi atau perkebunan, secara bersamaan ketika menyelidiki tindak pidana lingkungan hidup atau pelanggaran terkait hutan, kata Santosa. Ia menambahkan bahwa Satgas REDD+ menyediakan bantuan hukum dan pelatihan untuk berbagai lembaga penegakan hukum mengenai masalah ini.

Kami meninggalkan paradigma lama di mana pohan ditebang untuk mendapatkan penghasilan, dan memasuki era baru: pepohonan akan tetap tegak, dan pada saat yang sama ada pendapatan dan kesejahteraan penduduk meningkat

Mereka juga menyelidiki beberapa kasus untuk menunjukkan bagaimana cara menerapkan metode semacam ini.

Santosa mengutip kasus Rawa Tripa di provinsi Aceh baru-baru ini, di mana terdapat laporan mengenai wilayah gambut dalam yang sedang dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit, meskipun terdapat peraturan yang melarang praktik semacam itu.

Penyelidikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup mengarah pada pelanggaran undang-undang lingkungan hidup, termasuk pelanggaran penggunaan api untuk membuka lahan, ujarnya. Kementerian Kehutanan menggunakan undang-undang perlindungan/konservasi, menyelidiki bagaimana orang hutan terbunuh dalam proses pembukaan lahan tersebut.

“Gubernur Aceh telah didorong untuk menggunakan kekuasaan administratifnya untuk mencabut ijin tersebut,” ujar Santosa. Gubernur Zaini Abdullah mencabut ijin untuk mengonversi sekitar 1,600 hektar lahan gambut Rawa Tripa pada akhir September.

Dengan berakhirnya mandat Satgas REDD+ yang berakhir tahun ini, kelompok kerja penegakan hukum juga sedang berupaya untuk mengembangkan ‘sistem penegakan hukum satu atap’, di mana lembaga-lembaga pemerintah yang berkaitan bekerja sama untuk menangani tindak pidana lingkungan hidup dengan menggunakan berbagai peraturan.

Permasalahan dengan Lisensi

Langkah lain yang diharapkan diambil oleh REDD+ adalah mendorong peninjauan berbagai ijin yang ada. Satgas REDD+ tersebut telah menandatangani kesepakatan dengan pemerintah provinsi Kalimantan Tengah untuk meninjau lisensi di tiga kabupaten sebagai percobaan, ujar Santosa.

Kepala Penyidik Kementerian Kehutanan, Raffles Brotestes Panjaitan, mengatakan bahwa divisinya kewalahan dengan berbagai klaim tumpang tindih ijin.

“Para bupati kami seolah memiliki otoritas untuk memberikan segala lisensi di wilayah berhutan,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa biasanya Kementerian Kehutanan tidak diberi tahu apabila sebuah lisensi telah dikeluarkan di wilayah tertentu.

“Kami memperkirakan ada sekitar 2.500 ijin yang tidak sesuai aturan. Meskipun seorang Menteri belum mengeluarkan ijin pinjam pakai lahan untuk kegiatan pertambangan atau memberikan hak untuk melepas lahan untuk tujuan perkebunan, lahan tersebut tetap digunakan untuk alasan-alasan tersebut.”

Penyelidikan terhadap 44 kasus terpisah yang mencakup ijin ilegal atau tumpang tindih sudah dimulai, katanya.

Bergerak maju dengan REDD+

Untuk memastikan kemajuan yang telah dimulai Satgas terus berjalan, sebuah lembaga REDD+ permanen di tingkat nasional akan diluncurkan pada awal tahun depan, kata Mangkusubroto.

“Lembaga ini akan bersifat independen dan melapor langsung kepada presiden. Lembaga ini akan memiliki kewenangan dan kekuasaan untuk menerapkan, mengoordinasikan dan mensinkronkan berbagai hal. Bila tidak, berbagai masalah akan berakhir dengan sangat lemah,” ujarnya.

“Adanya lembaga nasional seperti ini merupakan prasyarat untuk memastikan bahwa kami mencapai baik sasaran lingkungan hidup maupun pembangunan Indonesia.”

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Topik :   Deforestasi

Lebih lanjut Deforestasi

Lihat semua