Nita Irawati Murjani, Regional Communications for Asia, CIFOR
Paradigma lama pengelolaan hutan menitik beratkan pada ekstraksi kayu. Kayu dinilai sebagai komoditi ‘siap dagang’ bernilai ekonomi tinggi, yang memang pada era pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1945 yang sangat dibutuhkan untuk membiayai perekonomian negara yang terpuruk akibat masa penjajahan yang berkepanjangan. Otoritas pengelolaan hutan sepenuhnya berada di tangan Pemerintah karena hutan dipandang sebagi sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Eksploitasi hutan semakin diperparah dengan masuknya era industrialisasi hutan, dimana dengan alasan untuk percepatan ekonomi, diberikan konsesi HPH (Hak Pengusahaan Hutan) bagi perusahaan-perusahaan penebangan hutan mulai akhir tahun 1960-an. Dalam prakteknya, implementasi HPH banyak diwarnai korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan menimbulkan deforestasi dan degradasi hutan yang bersifat massif dan tak terkendali terutama antara tahun 1990 dan 2005, dimana Indonesia kehilangan 24.1% dari tutupan hutannya.
Selain itu HPH banyak menimbulkan banyak konflik sosial karena tidak memperhatikan aspek komunitas sekitar hutan sebagai pihak yang juga berhak dan bahkan telah secara turun temurun memanfaatkan hutan. Program ‘Bina Desa’ yang menjadi kewajiban pemegang konsesi HPH dalam prakteknya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Konsep membangun dan sejahtera bersama masyarakat lebih banyak diselewengkan menjadi ‘charity’ yang bertujuan untuk mengamankan jalannya konsesi belaka.
Paradigma Baru Pengelolaan Hutan
Timbulnya masalah-masalah sosial tersebut memunculkan paradigma atau konsep baru dalam pengelolaan hutan. Aspek-aspek sosial mulai dimasukkan dalam konsep baru ini sehingga muncullah konsep Social Forestry dan Community-based Forest Management yang memasukkan unsur partisipasi komunitas lokal yang telah hidup bergantung pada hutan tersebut ke dalam perencanaan dan implementasi pengelolaan hutan.
Arus utama (mainstream)-nya adalah bagaimana pemerintah bisa memberikan akses pada masyarakat dalam mengelola hutan, sehingga masyarakat tidak menjadi ‘obyek’ dan ‘korban’ dari pengelolaan hutan tetapi menjadi ‘subyek’ dan ‘pihak yang diberdayakan dan sejahtera’ dari hasil pengelolaan hutan. Aspek ini penting bukan hanya karena masyrakat ini sudah tinggal dan hidup bergantung dari hasil hutan secara turun temurun, tetapi mereka dipercaya telah mengelola hutan secara lestari dari generasi ke generasi dengan menerapkan nilai-nilai kearifan yang mereka anut.
Tetapi apakah unsur partisipasi masyarakat saja cukup dalam pengelolaan hutan? Bagaimana dengan sektor swasta/bisnis? Selama ini sektor bisnis seringkali dituding sebagai penyebab utama kerusakan lingkungan termasuk hutan, baik dari exploitasi sumber daya alam untuk bahan baku produksi yang seringkali mengabaikan daya dukung lingkungan, maupun perilaku bisnis yang lebih banyak menitikberatkan pada aspek ekonomi ketimbang aspek lingkungan.
Hal ini membuat sektor bisnis selalu diposisikan sebagai ‘musuh’ di dalam upaya konservasi alam. Dalam kenyataannya, memperdalam jurang pemisah dengan saling tuding antar pihak tidak membawa solusi apapun. Sementara perusakan hutan terus saja terjadi pada tingkat yang semakin mengkhawatirkan.
Jadi, dimana peluang untuk melakukan upaya terpadu menangani hal ini? Apakah sektor bisnis juga punya kepedulian pada pengelolaan hutan? Kenapa mereka (harus) peduli?
“Pemerintah, sektor bisnis, LSM, masyarakat, seringkali menjadi pihak yang berseberangan dalam hal ini karena cara pandang yang berbeda terhadap aspek penghidupan (livelihood), money (uang/dana) dan environment (lingkungan), padahal semua pihak memerlukan ketiganya”, kata Ibu Shanti L. Poesposoetjipto, Chairman di beberapa perusahaan besar di bawah Soedarpo group yang juga merupakan anggota dewan TNC se-Asia Pacific. “Pemerintah mengedepankan kebijakan dan regulasi, sektorsektor bisnis mengedepankan sisi ekonomi dan keuangan, sementara NGO (yang dalam hal ini mewakili civil society termasuk komunitas lokal) seringkali lebih mengedepankan mengedepankan issue, isi dan emosi”, tambahnya.
Diskusi Panel bertajuk “Addressing Climate Change by Promoting Public-Private Partnership for Forest Conservation in Indonesia” yang diadakan oleh The Nature Conservancy (TNC) dan Bank of America di Grand Hyatt, Jakarta pada tanggal 3 Desember 2010 mencoba mengulas sebuah contoh upaya terpadu yang melibatkan ketiga sektor dalam upaya penyelamatan hutan untuk mengatasi masalah perubahan iklim.
REDD+, Peluang Ekonomi Hijau
Bapak Agus Purnomo, Asisten Khusus Presiden Republik Indonesia untuk Perubahan Iklim yang juga sekaligus Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim, menjelaskan bahwa profil emisi karbon Indonesia adalah 70-80% berasal dari hutan dan lahan gambut dan dalam kaitan dengan upaya mitigasi perubahan Iklim, sektor kehutanan berhasil dimasukkan dalam Bali Action Plan yang dicanangkan pada konferensi perubahan Iklim tingkat dunia (UNFCCC COP) ke 13 di Bali pada tahun 2007. Skema pengurangan emisi (karbon) dari sektor kehutanan mulai dimasukkan dalam upaya mitigasi perubahan Iklim. Skema ini dikenal pertama kali sebagai RED (Reduction of Emission from Deforestation). Dalam konferensi serupa berikutnya di Poznan, Polandia, disempurnakan menjadi REDD dengan dimasukkannya unsur degradasi hutan. Pada COP 15 di Copenhagen, Denmark, skema ini lebih disempurnakan lagi menjadi REDD+ dengan memasukkan unsur peningkatan karbon stok dan konservasi hutan.
Seperti mekanisme Imbal Jasa Lingkungan, atau yang juga dikenal dengan PES (Payment for Environmental Services), skema REDD+ memberi nilai ekonomi pada jasa lingkungan hutan terutama pada fungsi hutan sebagai penyimpan karbon. Dalam skema REDD+, pepohonan dan lahan gambut hutan dilestarikan atau dikelola secara lestari agar tetap dapat berfungsi menyimpan dan mengikat karbon agar tidak ter-emisi ke atmosfir, yang merupakan penyebab pemanasan global dan perubahan Iklim.
Dengan profil emisi karbon yang sebagian besar berasal dari sektor kehutanan, menjadikan skema REDD+ ini sangat potensial diterapkan di Indonesia sebagai skema pembangunan ekonomi berwawasan lingkungan (green economy). Lebih lanjut menurut Bapak Agus Purnomo, strategi pembangunan ekonomi Pemerintah Indonesia saat ini memiliki empat pilar yaitu pro-poor, pro-job, pro-growth, dan pro-environment. Walaupun pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat jauh lebih tinggi, tetapi Pemerintah mentargetkan pembangunan ekonomi sebesar 6-7% agar semua pilar dalam strategi tersebut dapat berjalan selaras. Artinya, pembangunan ekonomi tidak mengorbankan kesejahteraan masyarakat, dapat menciptakan lapangan pekerjaan dan memacu pertumbuhan bagi mayoritas masyarakat, dan yang tak kalah penting adalah tidak mengorbankan lingkungan dan sumber daya alam.
Skema REDD+ mendukung keempat pilar dalam strategi tersebut. Dengan skema perdagangan karbon dan insentif bagi upaya pelestarian lingkungan, skema ini dapat menggerakkan ekonomi berbasis masyarakat terutama masyarakat yang tinggal dan hidup bergantung dari hutan.
Untuk mewujudkan pembangunan ekonomi rendah karbon, terutama dari sektor kehutanan, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon sebesar 26% sampai akhir 2010. “Untuk mewujudkan komitmen ini, Indonesia membutuhkan “investasi hijau”, tambah Bapak Agus Purnomo. Investasi hijau atau Green Investment didefinisikan sebagai bentuk investasi dimana bisnis yang mendasarinya memiliki komitmen mendukung pelestarian lingkungan melalui aktivitasnya. Bila target penurunan emisi tersebut tercapai, Indonesia bahkan telah mentargetkan penurunan emisi karbon sebesar 41% sampai akhir tahun 2020. Dengan adanya dukungan besar bagi pelaksanaan REDD+ dalam ‘Cancun Agreement’ yang baru dirumuskan pada UNFCCC COP 16 di Cancun, Mexico, besar harapan kita semua bahwa target ini bisa tercapai.
Terkait dengan investasi hijau ini, Ibu Shanti L. Poesposoetjipto menambahkan bahwa 80% dari dana investasi hijau ini harus diupayakan dari pihak ketiga. Disinilah peluang sektor bisnis ikut berperan aktif dalam mendorong terlaksananya pembangunan ekonomi rendah karbon, terutama di sektor kehutanan. Sektor bisnis dapat menyumbangkan investasi hijau yang selain dapat mendorong terlaksananya skema REDD+, diharapkan juga dapat memperbaiki cara pandang dan dan konsep berbisnis agar tidak hanya mementingkan keuntungan financial semata tetapi lebih melihat keuntungan ekonomi jangka panjang karena sumber daya hutan yang terpelihara dengan baik dan emisi karbon dari hutan dapat terus dikurangi. Sektor bisnis tidak dapat mengesampingkan kenyataan bahwa hutan dan sumber daya alam yang lain adalah modal bisnis mereka. Pemanasan global dan perubahan Iklim juga akan berpengaruh besar pada kegiatan bisnis.
Untuk itulah, sudah saatnya terjadi kolaborasi yang harmonis antara sektor bisnis dengan sektor yang lain seperti Pemerintah, masyarakat sipil/NGO dan pihak-pihak lain untuk sama-sama menyelamatkan hutan.
Public-Private Partnership: Pelajaran dari Proyek REDD+ di Berau
Berau adalah sebuah kabupaten seluas 2,2 juta hektar (atau hampir seluas Negara Belize) di Kalimantan Timur, yang 75% darinya terdiri dari hutan yang dikenal sebagai habitat bagi salah satu populasi Orangutan terbesar di dunia.
Berau Forest Carbon Program (BFCP) adalah proyek kemitraan antara pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten, masyarakat sipil/NGO dan sektor bisnis. Tujuan dari proyek ini adalah untuk membantu agar Berau dapat tetap mencapai tujuan pembangunannya tetapi tetap dapat mengelola hutannya secara lestari melalui mekanisme pembayaran karbon yang memberikan insentif efektif untuk upaya pengurangan emisi karbon dari hilangnya hutan. Proyek ini memberikan contoh konkrit, terutama bagi pembuat kebijakan, tentang hal-hal apa yang harus dipersiapkan untuk terlaksananya proyek REDD+ di tingkat nasional dan lokal.
Menurut hasil penelitian ICRAF (World Agroforestry Center), 75% emisi karbon dari Hutan Berau berasal dari degradasi hutan. Hal ini menjadi alasan kuat memasukkan REDD+ ke dalam strategi pembangunan Berau. Visi dari proyek ini sendiri adalah mewujudkan program karbon hutan skala kabupaten yang terintegrasi. Targetnya adalah menciptakan manajemen yang efektif untuk pengelolaan paling sedikit 800.000 hektar area hutan sampai tahun 2015, untuk mengurangi emisi karbon setidaknya 10 juta ton selama 5 tahun ke depan, sekaligus melindungi area dengan fungsi hidrologis dan tingkat keanekaragaman hayati tinggi.
Beberapa program dan pencapaian dari proyek ini merupakan pembelajaran bagi pelaksanaan proyek REDD+ yang lebih luas. Selain pencapaian di level program, yang patut dicontoh dalam program ini adalah adanya kemitraan antara pemerintah, sektor bisnis, masyarakat sipil/NGO dan komunitas lokal dalam membangun struktur ketatalaksanaan (governance) dalam pengelolaan proyek.
Dalam presentasinya, Bapak Dicky Simorangkir, Direktur program kehutanan TNC yang mengelola proyek ini mengatakan bahwa, “Selama 5 tahun ke depan, proyek ini akan membutuhkan dana sebesar kurang lebih US$ 50 juta”. Dana sebesar ini tentunya sulit diharapkan hanya dari dana publik. Untuk itulah, proyek ini telah menggandeng sektor swasta/bisnis sebagai salah satu partner-nya. Bukan hanya akan terlibat dalam pendanaan, namun sektor swasta/bisnis ini juga akan memberi masukan dalam pengambilan keputusan tentang strategi dan pelaksanaan program. Sebagai sektor yang bergerak di bidang bisnis, diharapkan dapat memberi masukan untuk pelaksanaan bisnis karbon ini dan juga bagaimana mengelola keuangan dan pembagian insentif yang baik bagi pelakunya.
Salah satu sektor swasta/bisnis yang telah digandeng adalah Bank of America Merrill Lynch yang memiliki komitmen jangka panjang dalam membantu upaya penyelamatan lingkungan, terutama upaya mengatasi masalah perubahan Iklim. Pada tahun 2007, Bank of America Merril Lynch mengumumkan komitmennya untuk menyediakan dana sebesar US$ 20 milyar selama 10 tahun untuk membantu upaya menangani perubahan Iklim, yang akan disalurkan dalam bentuk pinjaman, investasi, produk-produk dan jasa layanan baru dan juga melalui kegiatan operasional bank itu sendiri.
Dalam kesempatan itu, Bank of Amerika Merril Lynch menyerahkan secara simbolis dana sebesar US$ 300.000 untuk proyek BFCP.
Bila sektor bisnis dapat diarahkan untuk lebih banyak lagi membuat investasi hijau melalui dana dan perubahan perilaku bisnisnya, tentu akan sangat membantu percepatan dan suksesnya program REDD+ dan penyelamatan lingkungan yang lain di Indonesia.
“Sukses akan membutuhkan upaya bersama dan kontribusi pemerintah, masyarakat sipil, bisnis dan komunitas lokal di semua tingkatan. Kemitraan Publik-Swasta untuk konservasi, oleh karena itu, adalah cara inovatif untuk melindungi hutan dan memenuhi kebutuhan dasar manusia”, tegas Bapak Agus Purnomo seperti disarikan dari siaran pers yang dikeluarkan oleh TNC dan Bank of America Merril Lynch.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org