Analisis

Kekayaan sosial dan bahaya sosial membentuk kapasitas adaptasi di Setulang

Masyarakat Setulang telah melestarikan hutan perawan suci mereka yang disebut Tane’ Olen selama puluhan tahun.
Bagikan
0
Wanita-wanita Malinau. Foto oleh Eko Prianto/CIFOR

Bacaan terkait

SETULANG, Indonesia (24 Agustus 2012)_ Tidak sulit untuk merasakan daya magis desa Setulang. Tersembunyi di hutan meranti di dataran rendah kabupaten Malinau, Kalimantan Timur, tempat ini adalah rumah masyarakat Dayak yang bertradisi, pengetahuan dan budaya yang kuat.

Banyak pengunjung menyebutnya sebagai desa ajaib. Masyarakat Setulang telah melestarikan hutan perawan suci mereka yang disebut Tane’ Olen selama puluhan tahun, bersatu menolak perusahaan penebangan kayu (HPH) dan mengelola kelestarian melalui lembaga pemerintahan Tane’ Olen. Komunitas ini sangat menghargai kekayaan sosial dan sumber daya manusianya.

Terlepas dari rasa hormat akan hukum tradisional dan adat yang mengatur sebagian besar kegiatan desa, penduduk Setulang memiliki jaringan sosial dan kelompok yang kuat untuk saling mendukung. Kelompok-kelompok ini bekerja bersama, membantu yang sakit dan tidak mampu, mendukung pertanian dan kegiatan budaya, serta mengelola berbagai dana guna membangun desa.

Pengetahuan terkait dengan hasil hutan, pengelolaan hutan dan pertanian, serta konstruksi dan kerajinan tangan, merupakan aset manusia yang penting. Namun sumber daya ini sudah mulai “bocor” keluar dari desa. Semakin banyak generasi muda yang meninggalkan desa untuk melanjutkan jenjang pendidikan memilih tinggal di luar Setulang dan mengejar peluang di kota.

Tantangan lain yang juga dianggap penting oleh masyarakat Setulang adalah konflik kepemilikan lahan dengan desa tetangga dan perusahaan pemegang konsesi kayu dan kelapa sawit, seperti terungkap dalam  lokakarya yang diselenggarakan tim CIFOR dan GIZ FORCLIME untuk mengidentifikasi kebutuhan adaptasi. Konflik di Malinau meningkat setelah kebijakan desentralisasi berlaku, ketika para pemegang konsesi mulai mendekati penduduk dan menawarkan kompensasi untuk mengeksploitasi tanah dan hutan. Hal ini menciptakan sengketa batas antar desa karena kurang jelasnya hak kepemilikan lahan dan desa mana yang akan menuai manfaat dari eksploitasi tersebut. Penduduk desa Setulang telah menolak tawaran-tawaran konsesi tersebut tetapi mereka juga mengalami konflik dengan perusahaan-perusahaan yang mencoba menggerogoti wilayah mereka tanpa meminta ijin.

Yang menarik, walaupun sering dilanda banjir, kekeringan, serta bahaya lingkungan dan iklim lainnya, masyarakat tidak mengkategorikan hal-hal ini sebagai tantangan yang paling perlu ditangani. Tiga tantangan utama menurut mereka adalah konflik kepemilikan lahan, penyalahgunaan alkohol oleh kaum muda serta penyalahgunaan kekuasaan politik. Banjir ditempatkan di nomor lima, dan musim kemarau panjang di nomor tujuh. Masyarakat percaya, mereka masih bisa menangani dengan baik dampak bahaya iklim (misalnya dengan membuat rumah lebih tinggi, mengelola hutan, menjaga kelebihan panen dan menempatkan lumbung padi di tempat yang aman), sedangkan tantangan-tantangan sosial seperti konflik berdampak lebih nyata di kehidupan mereka dan di  keseluruhan kemampuan untuk mengatasi tantangan-tantangan lainnya.

Masyarakat ini menyadari adanya hubungan antara ‘bahaya sosial’ dengan kemampuan penangan bahaya iklim. Konflik kepemilikan lahan dengan desa tetangga misalnya, membuat mereka enggan membuka lahan yang berdekatan dengan tapal batas desa. Hal ini berarti berkurangnya lahan untuk diversifikasi pertanian dan lahan berprospek baik yang dapat ditawarkan untuk kaum muda. Penyalahgunaan kekuasaan politik seringkali menyebabkan para pengambil keputusan setempat membuat perjanjian dengan para pemegang konsesi dan menjual tanah desa tanpa berkonsultasi dengan masyarakat terlebih dahulu.  Masyarakat tahu bahwa jika hutan hilang, mereka akan lebih rentan menghadapi bahaya karena hutan melindungi persediaan air dan berfungsi sebagai bank pangan. Sebaliknya, ‘sumber daya sosial’ di desa Setulang seperti persatuan dan persaudaraan kuat akan membantu penduduk mengelola bencana alam dengan lebih baik. Misalnya, tim tanggap dapat dibentuk untuk membantu penduduk desa mendapatkan kembali aset-aset mereka yang hilang atau melindungi harta benda saat mereka pergi di ladang.

“Mudah saja bagi kami untuk membuat sebuah lembaga adat pengelola dampak bencana. Organisasi ini dapat memimpin upaya menyelamatkan penduduk dan harta benda saat bencana banjir datang. Ini sangat berguna untuk penduduk yang berada jauh di ladang saat banjir melanda,” kata Pak Andrew, ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) desa.

Perencanaan adaptasi seharusnya tidak berfokus hanya pada masalah-masalah yang berkaitan dengan modal keuangan atau fisik saja, namun juga harus mempertimbangkan baik kekayaan sosial dan bahaya sosial yang dapat memperbaiki atau menghambat kapasitas adaptasi.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org