Tren yang terjadi akhir-akhir ini dimana para investor internasional mengambil alih lahan pertanian di negara-negara berkembang telah menjadi perhatian para akademia, pembuat kebijakan, media dan kelompok masyarakat sipil. Terdapat variasi dalam interpretasi tentang berbagai implikasi yang mungkin terjadi, terkait ideologi dan juga bukti yang ada. Para penyokong menekankan bahwa investasi asing berkontribusi dalam mengatasi keterbatasan teknologi, memicu modernisasi pertanian dan menghubungkan ekonomi lokal dengan pasar global. Sejumlah kritik menyoroti kekhawatiran terkait akses yang berkeadilan untuk makanan, perlindungan bagi hak-hak kepemilikan lokal dan peningkatan pembagian keuntungan dari pembangunan lahan. Para pemerhati lingkungan hidup seringkali berada pada dua sisi: disatu sisi, para investor dipandang sebagai salah satu pelaku utama penyebab kerusakan hutan, namun disisi lain mereka juga dinilai memiliki peran penting dalam konservasi.
Investasi internasional di bidang pertanian pada sejumlah negara berkembang, yang mendorong pengambilalihan lahan berskala besar, bukanlah merupakan tren yang baru namun memiliki konotasi yang baru. Oleh karena itu, pemahaman tentang dinamikanya untuk mempersiapkan respon-respon kebijakan yang efektif untuk mengelola dampak merupakan tugas yang penting – sekaligus tugas yang sulit. Berbagai faktor pemicu membentuk investasi lahan dan pertanian. Investasi-investasi ini melibatkan berbagai aktor (mulai dari internasional sampai lokal) yang sering memiliki motivasi yang berbeda (produksi atau spekulasi); demikian juga dampaknya yang beragam, bergantung pada kondisi setempat dimana investasi ini dilaksanakan. Memperjelas pentingnya keluaran sosial, ekonomi dan lingkungan adalah penting untuk merancang respon-respon kebijakan yang efektif, tidak hanya untuk mengurangi dampak negatif tapi juga untuk memperkuat kontribusi positifnya.
Dengan maksud tersebut, para ahli yang tergabung dalam Panel Tingkat Tinggi Komite PBB untuk Keamanan Pangan dan Nutrisi Dunia membuat sebuah laporan untuk terbitan ini. Para penulisnya, Toulmin dan rekan-rekannya, menganalisis estimasi-estimasi yang ada dan mendapatkan bahwa para investor internasional telah mengambil alih sekitar 50 – 80 juta hektar lahan pada negara-negara berpendapatan menengah dan rendah, baik melalui pembelian maupun kesepakatan sewa. Dua pertiga dari wilayah ini terletak di sub sahara Afrika. Para penulis menekankan kembali apa yang secara umum diketahui tentang pemicu yang membentuk tren ini: peningkatan investasi kebanyakan dikaitkan dengan meningkatnya permintaan untuk makanan, pangan, serat dan bahan bakar nabati, serta spekulasi keuangan. Beragam kepentingan telah membuat kesepakatan ini mungkin – dari berbagai firma perusahaan pada tingkat internasional sampai dengan otoritas daerah, pengusaha dan pejabat pemerintah pada tingkat lokal. Meskipun laporan tersebut mengakui bahwa investor nasional memainkan peran penting dalam sektor pertanian, fokus dari laporan ini adalah pada investasi internasional berskala besar.
Toulmin dan rekan-rekannya mengemukakan bawa investasi pertanian berskala besar tidak selalu berarti peningkatan suplai makanan, menghilangkan kesenjangan hasil atau meningkatkan produksi. Investasi semacam itu justru seringkali berpengaruh negatif pada populasi lokal, yang menyebabkan kehilangan kepemilikan dan pemindahan. Para penulis mengindikasikan bahwa pengambilalihan lahan oleh perusahaan seringkali terjadi melalui sewa (karena dalam banyak kasus pemerintah nasional tidak mengijinkan pihak asing untuk memiliki lahan) atau melalui penyerahan lahan milik masyarakat setempat oleh negara kepada investor komersil berskala besar berdasarkan konsep “hak mengambil milik privat oleh negara untuk kepentingan umum (eminent domain)”. Persyaratan kontrak dan kompensasi untuk masyarakat setempat sangat dipertanyakan.
Meskipun investasi tersebut bisa berlangsung dalam bentuk yang berbeda, perkebunan berskala besar merupakan bentuk yang paling umum. Toulmin dan rekan-rekan berpendapat bahwa dominasi model ini cenderung terjadi karena pemerintah menawarkan investasi pada lahan yang luas daripada mempromosikan model-model bisnis yang lebih inklusif, seperti halnya pertanian kontrak. Para penulis menyimpulkan bahwa investasi perkebunan berskala besar seringkali merusak penghidupan setempat, melemahkan ketahanan pangan dan mengurangi akses terhadap berbagai sumber daya utama. Berbagai janji untuk lapangan pekerjaan seringkali tidak dilaksanakan dan seringkali digunakan tenaga kerja dari luar daerah untuk mengisi lapangan kerja yang ada. Lebih jauh lagi, pengambilalihan lahan pertanian memiliki implikasi gender yang besar karena para wanita mengalami diskriminasi sistematik terkait akses dan pembuatan keputusan, serta kepemilikan dan penguasaan atas lahan. Pada akhirnya, para penulis mengindikasikan bahwa dampak negatif yang besar baik langsung maupun tidak langsung yang disebabkan oleh adanya tekanan atas konversi hutan, erosi tanah dan polusi air adalah relatif besar. Walaupun demikian, terdapat juga serangkaian keluaran lain yang mungkin terjadi akibat kombinasi yang berbeda atas kepastian lahan, peraturan, dan kondisi pasar.
Laporan ini memaparkan berbagai insiatif kepemerintahan yang muncul pada tingkat yang berbeda, dengan tujuan dan cakupan yang berbeda, untuk menindaklanjuti dampak-dampak sosial-ekonomi dan lingkungan dari investasi berskala besar. Termasuk dalam hal ini adalah panduan sukarela, kesepakatan ‘meja bundar’ berbasiskan industri, perubahan dalam kebijakan nasional yang terkait dengan isu-isu seperti kepemilikan, lingkungan dan perpajakan. Laporan ini diakhiri dengan daftar rekomendasi untuk masing-masing jenis aktor.
Secara umum, laporan ini dapat menjadi alasan yang baik untuk melakukan tindakan yang lebih serius pada berbagai tingkat dan untuk penglibatan berbagai pemangku kepentingan dalam rangka meningkatkan tata kelola dan pengawasan investasi internasional, terutama untuk memperbaiki dampak negatif yang teramati. Terdapat sejumlah peluang lebih lanjut untuk pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana respon kebijakan yang diusulkan (dan insentif yang mereka ciptakan) dapat berfungsi secara realistis di bawah pengambilalihan lahan berskala besar yang terjadi. Lebih jauh lagi, selain memperkuat kapasitas petani kecil yang penulis sarankan, memanfaatkan potensi yang sudah ada juga dapat bermanfaat banyak. Sebuah gabungan dari sistem-sistem pengelolaan sumber daya berskala kecil dapat merekonsiliasi tujuan-tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan. Oleh karena itu, memperkuat tata kelola investasi berskala besar dan mendukung potensi para petani kecil menjadi prioritas global yang harus dilaksanakan.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Bacaan lebih lanjut
Untuk memperoleh salinan makalah Toulmin, C., Bindraba, P., Borras, S., Mwangi, E. dan Saue, S. 2011 Land tenure and international investments in agriculture: A report by The High Level Panel of Experts on Food Security and Nutrition on World Food Security, Rome 2011, kunjungi //www.cifor.org/nc/online-library/browse/view-publication/publication/3522.html.