BOGOR, Indonesia (18 Maret 2014) — Ketika Ulva Takke mendengar ada perusahaan modal asing berencana mendirikan tambang bijih besi di pulau kecil Bangka provinsi Sulawesi Utara, ia bergabung dalam barisan penduduk lain melakukan protes sampai ke pengadilan tinggi Indonesia.
Takke memiliki bisnis selam di pulau seluas 48 .000 hektare (ha), yang dihuni hampir 3.000 orang dan menyokong industri kecil pariwisata, selain nelayan, akuakultur dan pertanian.
Walaupun masyarakat memenangkan tuntutannya melawan projek tambang, berita mengindikasikan bahwa perusahaan pertambangan tetap bersiap untuk mulai bekerja, sebuah langkah yang dapat membahayakan habitat alami, termasuk hutan hujan tropis dataran rendah, bakau, rawa sagu air tawar dan terumbu karang.
“Jika ini terjadi, akan menjadi bencana besar,” kata Takke. “Penghidupan nelayan tradisional dan petani kelapa akan hancur, serta banyak orang terusir.”
Takke adalah salah satu dari lebih dari 100 delegasi yang mendiskusikan solusi terhadap ancaman hutan bakau Indonesia pada konferensi Merestorasi Penghidupan Pesisir yang digelar di Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) oleh Proyek Aksi Bakau (MAP) Indonesia dan Program Adaptasi dan Mitigasi Lahan Basah Berkelanjutan (SWAMP).
Pertemuan tiga hari ini merupakan bagian dari proyek dengan nama sama yang didukung Badan Pembangunan Internasional Kanada (CIDA) dan difasilitasi oleh lembaga swadaya masyarakat Oxfam di 72 desa di Sulawesi Selatan. Proyek ini fokus untuk merestorasi sumber daya pesisir pasang surut termasuk bakau, dan meningkatkan manajemen akuakultur serta pertanian pesisir.
TERAPI RESTORASI
Para delegasi mendiskusikan kekhawatiran laporan MAP bahwa Kementerian Kelautan Indonesia mempertimbangkan mengkonversi sejumlah besar bakau untuk meningkatkan produksi akuakultur.
Rencana kelautan ini sangat bertentangan dengan rencana Kementerian Kehutanan, yang menempatkan strategi berkelanjutan untuk melindungi dan memanfaatkan bakau, demikian menurut Ben Brown, ketua penasihat teknis MAP.
“Kebijakan terkait keseluruhan wilayah pasang surut sangat tidak jelas. Bahkan kebijakan seputar wilayah terlindung tidak layak – terjadi banyak konversi ilegal dan degradasi, bahkan dalam wilayah terlindung setiap orang bisa mengeluarkan ijin konversi dan perubahan lahan.”
Peserta konferensi bekerja untuk mengembangkan strategi kolaborasi untuk menjamin masyarakat pesisir bisa bernegosiasi dengan pejabat pemerintah, ilmuwan dan pemangku kepentingan lain.
“Pesan kunci seminar ini adalah bahwa badan pengelola bakau pemerintah seharusnya diperkuat dengan pelibatan masyarakat,” kata Brown. “Jangan abaikan badan pemerintah dan menyatakan bahwa mereka tidak bekerja – mari kita perkuat dan beri mereka alat yang jelas, tidak menggurui dan terlalu menyederhanakan.”
Sejak 1980, Indonesia telah kehilangan lebih dari 26 persen bakau, mengerut dari 4,2 juta ha menjadi 3.1 juta ha akibat terbesar adalah karena peningkatan kolam akuakultur sebagai bagian “revolusi biru” di awal abad 20. Ekosistem bakau menyokong produksi udang karena mereka dibanjiri dua kali sehari di area pasang surut antara dataran dan lautan, dan air payau menciptakan habitan ideal.
Ilmuwan Jurgenne Primavera, warga Filipina spesialis bakau di International Union for the Conservation of Nature dan Zoological Society of London mengusulkan penggunaan “lanskap mosaik” terlindung untuk membantu merestorasi garis pantai terdegradasi.
“Daripada perusahaan datang dan menyatakan mereka akan memproduksi udang, mereka seharusnya mengatakan akan memperhatikan seluruh masyarakat, kemudian ekosistemnya – dimulai dengan bakau,” kata Primavera.
PERTAHANAN PESISIR
Bakau juga membantu melindungi wilayah pesisir dari erosi dan wilayah daratan dari gelombang tinggi.
Sejak topan Haiyan menghantam Filipina pada November 2013 – menewaskan lebih dari 6.200 orang – zona penyangga pesisir yang dapat diberikan bakau menjadi perhatian utama, kata Primavera, menambahkan bahwa terdapat banyak tambak yang sudah ditinggalkan dapat dikonversi kembali menjadi bakau.
Di Filipina, garis pesisir hampir seluruhnya dibuat untuk tambak udang, katanya.
Primavera mengusulkan garis pelindung pantai yang dibangun dari bakau dan hutan pantai, dengan tambak akuakultur, resort pantai dan pembangunan lainnya ditempatkan di wilayah belakang zona penyangga pesisir.
“Saya mengusulkan untuk Filipina … minimal 100 meter sabuk hijau solid terdiri dari bakau dan/atau hutan pantai,” katanya. “Sabuk hijau akan berfungsi memperbaiki dan menjaga garis pantai dan membantu produsen untung mendapatkan sertifikasi untuk udang organik seperti pemerintah Vietnam merencanakan untuk Semenanjung Ca Mau di selatan negara itu,” katanya.
NAIKNYA LAUT
Ancaman lain bagi bakau dan garis pantai dalam diskusiini adalah kenaikan permukaan laut akibat pemanasan global.
“Kita tidak tahu bagaimana kenaikan permukaan laut ini ke depan – kita tahu arahnya, tetapi kita tidak tahu kecepatan dan besarannya,” kata Dan Friess, Asisten Profesor Universitas Singapura yang mengukur kenaikan permukaan bakau di Thailand dan Singapura untuk menetapkan garis dasar.
“Sekali bakau mulai hancur, pohon-pohon akan hilang dan pada titik itu akan terlalu terlambat untuk menyelamatkannya,” katanya.
“Bakau tidak statis dan dapat mentoleransi sejumlah tertentu banjir, tetapi mereka bisa tenggelam. Apa yang paling menarik adalah apakah kita memiliki bakau yang memiliki kemampuan merespon pada setinggi apapun kenaikan permukaan laut, dan bagaimana kita mengelola bakau untuk membantu merespon itu.”
DINAMIKA KARBON
Ekosistem bakau kaya karbon memiliki peran penting dalam strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklimi global – tidak hanya karena bakau menyediakan beragam jasa lingkungan, tetapi riset mengindikasikan bakau menyimpan lebih banyak karbon daripada jenis hutan lain, demikian menurut Daniel Murdiyarso, Ilmuwan Utama CIFOR.
Diperkirakan deforestasi bakau menghasilkan 10 persen emisi gas rumah kaca dari deforestasi global, walaupun hanya memiliki 0,7 persen dari wilayah hutan tropsi, kata Murdiyarso.
“Digabung dengan lahan rendah-oksigen, bawah air, ekosistem bakau memiliki potensi emisi offset yang menyebabkan pemanasan global,” kata Murdiyarso.
Murdiyarso memimpin SWAMP, proyek kerjasama yang melibatkan US Forest Service (USFS), Universitas Negeri Oregon dan Badan Pembangunan Internasional AS (USAID) dirancang untuk memberi data lahan basah untuk digunakan dalam pengembangan program untuk manajemen keberlanjutan lahan basah tropis.
“Konferensi ini memberi kita peluang untuk mendemonstrasikan pemanfaatan protokol, yang memungkinkan kita mengetahui stok karbon dan dinamikanya baik pada ekosistem bakau yang ada maupun yang terdegradasi,” kata Murdiyarso.
Untuk informasi lebih jauh pada topik diskusi dalam artikel ini, silahkan hubungi Daniel Murdiyarso di d.murdiyarso@cgiar.org
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Bacaan lebih lanjut