Indonesia, rumah bagi hutan mangrove terbesar di dunia, akan memperkenalkan dokumen terobosan berupa manual pengukuran karbon biru nasional, beserta standar dan metodologi untuk sertifikasi proyek restorasi mangrove. Upaya ini, yang dipelopori oleh Pemerintah Indonesia, bertujuan untuk memanfaatkan potensi karbon biru yang sangat besar di negara ini dalam melawan perubahan iklim.
Pemimpin global dalam karbon biru
Untuk meningkatkan dan mengakselerasi aksi iklim terkait karbon biru mangrove di Indonesia—negara dengan mangrove terkaya di dunia—Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memprakarsai penyusunan dua dokumen: (i) Manual pengukuran karbon biru mangrove dan (ii) Standar dan metodologi untuk pengembangan dan sertifikasi proyek karbon biru mangrove. Upaya ini dilakukan bekerja sama dengan para peneliti dari Pusat Penelitian Kehutanan Internasional dan Agroforestri Dunia (CIFOR-ICRAF), yang menjadi bagian dari tim penyusun. Salah satu tahapan penyusunan dokumen tersebut adalah diskusi kelompok terpumpun (focus group discussion/FGD).
Acara FGD Pembahasan Manual Pengukuran Karbon Biru Mangrove untuk Mencapai FOLU Net Sink 2030, yang diselenggarakan pada Oktober 2024, mempertemukan berbagai pemangku kepentingan, termasuk Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia yang akan berakhir masa jabatannya, Siti Nurbaya. Dalam sambutan pembukaan, Nurbaya mengakui kompleksitas dalam penyusunan dokumen manual dan standar ini, dengan menyebut tantangan dalam mengombinasikan kerangka kerja teoritis dengan data empiris dan pengalaman praktis untuk memastikan bahwa dokumen manual dan standar tersebut memungkinkan untuk diterapkan secara nasional.
“Saya mengapresiasi upaya kolaboratif lintas sektor dalam penyusunan Manual Pengukuran Karbon Biru Mangrove ini. Kegiatan ini, yang melibatkan kementerian, lembaga, mitra, dan para akademisi—bersama Tim Kerja FOLU Net Sink 2030 Indonesia, IPB University, dan CIFOR-ICRAF—telah memberikan landasan yang kokoh untuk memajukan pekerjaan kita dalam pengukuran karbon,” kata Nurbaya. Ia berharap dokumen manual dan standar ini akan memberikan fondasi yang kokoh bagi tata kelola dan menjadi tolok ukur untuk standardisasi pelaksanaan proyek karbon biru mangrove di seluruh wilayah negeri ini.
Dengan hutan mangrove yang luas, Indonesia berada pada posisi unik untuk memainkan peran penting dalam upaya iklim global. Saat negara-negara di seluruh dunia berupaya memanfaatkan ekosistem karbon biru untuk memitigasi emisi karbon, negara ini siap memaksimalkan aset alamnya.
“Saya ingat Presiden Jokowi pernah menyatakan bahwa 80% potensi karbon biru negara kita kemungkinan besar berasal dari mangrove,” ujar Ruandha Agung Sugardiman, Ketua Tim Kerja Forestry and Other Land Uses (FOLU) Net Sink 2030 Indonesia. Dalam sambutannya, Sugardiman menguraikan tujuan iklim Indonesia yang ambisius, dengan inisiatif FOLU NetSink 2030 bertujuan untuk memastikan serapan karbon sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya di negara ini akan melampaui emisinya pada tahun 2030.
Namun, terlepas dari potensi mangrovenya, pemerintah Indonesia saat ini belum memiliki data lengkap mengenai cadangan karbon biru yang terkandung dalam ekosistem tersebut. “Kami belum tahu secara pasti hutan mangrove mana yang menyimpan karbon paling banyak,” aku Sugardiman. “Jadi, manual ini penting untuk membuktikan kepada dunia bahwa karbon biru yang kami tawarkan itu nyata—dan kami akan menyokongnya dengan peta yang terperinci.”
Metode yang terstandardisasi
“Selama diskusi, tim peneliti membagikan tiga hal untuk memajukan upaya karbon biru,” kata Daniel Murdiyarso, Ilmuwan Utama CIFOR-ICRAF. “Pertama, draf manual pengukuran karbon biru mangrove, lalu draf standar dan metodologi untuk pengembangan dan sertifikasi proyek karbon biru di Indonesia. Terakhir, mereka meluncurkan i-Mangrove, platform daring inovatif yang mengumpulkan data tentang hilangnya mangrove dan peluang restorasinya.”
Manual baru ini bertujuan untuk menstandardisasi metode pengukuran karbon biru mangrove di Indonesia, dengan mengikuti pedoman Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC). Manual ini juga mengadopsi Guidelines Supplement for Wetlands, yang memastikan prinsip-prinsip transparansi, akurasi, kelengkapan, keterbandingan, dan konsistensi. Data dalam manual ini diambil dari berbagai sumber dokumen pemerintah, yang disesuaikan dengan faktor emisi Indonesia untuk mendukung target ambisius FOLU Net Sink 2030.
“Kami tidak memasukkan serasah mangrove ke dalam perhitungan nekromassa karena sifatnya yang variatif dan interaksinya dengan pasang surut dan kepiting,” kata Trialaksita Ardhani, Asisten Peneliti CIFOR-ICRAF yang turut berkontribusi dalam penyusunan manual ini. “Selain itu, manual ini menekankan pentingnya pengambilan sampel tanah lebih dari 100 cm atau bisa mencapai 300 cm. Hal ini untuk mengantisipasi kemungkinan memperoleh cadangan karbon tanah yang underestimated,” lanjut Ardhani seraya menekankan pentingnya memperoleh data akurat untuk perhitungan karbon.
“Untuk perhitungan emisi karbon, bisa menggunakan metode stock-difference atau gain-loss, sebagaimana dipandu oleh IPCC, setelah data aktivitas diketahui,” jelas Ardhani. “Kami juga memberikan contoh, termasuk cara menggunakan lembar kerja Microsoft Excel untuk membantu pengguna menghitung cadangan karbon dalam biomassa, nekromassa, dan tanah dengan mudah, yang pada akhirnya menghasilkan cadangan karbon ekosistem total.”
Murdiyarso juga menjelaskan isi draf Standar dan metodologi untuk pengembangan dan sertifikasi proyek mangrove karbon biru. Draf tersebut menyoroti tiga elemen utama: (i) keselarasan dengan peraturan Indonesia, termasuk Sistem Registri Nasional dan Sertifikasi Penurunan Emisi GRK Indonesia, (ii) metodologi untuk menghitung baseline emisi dan penurunan emisi, dan (iii) integrasi standar internasional ke dalam kerangka kerja Indonesia.
Selain itu, CIFOR-ICRAF juga telah mengkaji tiga standar dan metodologi untuk sertifikasi proyek karbon internasional: Verified Carbon Standard (VSC), Plan Vivo (PV), dan Emissions Reduction Fund (ERF).
“Masing-masing punya fokusnya sendiri: VCS berorientasi pada penggunaan lahan, PV berfokus pada keterlibatan masyarakat, dan ERF cenderung digerakkan oleh pemerintah, dengan menekankan pada masyarakat adat,” urai Murdiyarso. “Jadi, kami membahas poin-poin penting yang ada dalam tiga metodologi ini dan mengusulkan cara untuk menyelaraskannya ke dalam sistem Indonesia.”
“Saya sangat yakin bahwa karbon biru mangrove merupakan salah satu solusi utama untuk perubahan iklim,” kata Murdiyarso. “Yang membedakan mangrove dengan lahan gambut adalah fungsi uniknya bagi komunitas, menawarkan peluang besar untuk meningkatkan mata pencaharian mereka.”
Alat untuk masa depan
Dalam acara diskusi kelompok terpumpun ini, Sigit Deni Sasmito, peneliti senior di TropWATER, James Cook University, Australia, mendemonstrasikan cara penggunaan i-Mangrove. “Platform ini membantu mengimplementasikan aksi iklim terkait karbon biru mangrove Indonesia,” papar Sasmito. “Fitur utamanya adalah mengidentifikasi area-area yang berpotensi untuk restorasi mangrove dan memetakan hilangnya mangrove di Indonesia antara tahun 2001 dan 2022. Selain itu, aplikasi ini menyediakan informasi hidrogeomorfik untuk area yang terdampak.”
Menteri Siti Nurbaya memuji upaya kolaboratif dalam pembuatan manual ini, yang ia harapkan akan menjadi pedoman dan rujukan berharga bagi para praktisi, peneliti, dan pembuat kebijakan.
Murdiyarso berharap manual ini, serta dokumen dan perangkat terkaitnya, akan menjadi warisan bagi generasi masa depan Indonesia. “Hutan mangrove adalah kekayaan alam Indonesia, permata, dan jantung bangsa. Ekosistem ini adalah tulang punggung bagi jutaan orang, dengan masyarakat dan keanekaragaman hayati setempat bergantung pada sumber dayanya,” kata Murdiyarso. “Jadi, saat kita bersusah payah mengaduk-aduk lumpur atau mengukur diameter pohon mangrove [untuk menghitung cadangan karbonnya], mari kita ingat wajah-wajah manusia yang bergantung pada ekosistem ini.”
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org