Berita

Dari Bali Sampai Jeju, Cara Mangrove Menjawab Tantangan Iklim Asia Timur

Simposium internasional untuk berbagi temuan dan pengalaman dari Indonesia dan Korea Selatan
Bagikan
0
Hutan mangrove di tepi sungai di Berahan Kulon, Jawa Tengah, Indonesia. Foto oleh: Aulia Erlangga/CIFOR-ICRAF

Bacaan terkait

Pulau Jeju Korea Selatan terkenal dengan banyak hal, bentang alam vulkanik, pantai pasir putih, haenyeo (penyelam perempuan), dan kekayaan produknya. Mangrove masih belum terkenal – meski hal ini segera akan berubah.

Dua spesies lokal ‘semi-mangrove’ ditemukan di sana: Hibiscus hamabo dan Paliurus ramosissimus, mampu beradaptasi dengan zona intertidal dan habitat terestrial, spesies tersebut kurang punya kekhasan akar aerial dan kecambah biji unik mangrove, meski menawarkan potensi tinggi menyerap karbon, mitigasi perubahan iklim, biodiversitas, penghidupan, dan perlindungan pesisir sebagaimana ‘mangrove asli’. Perubahan iklim juga membawa lebih banyak spesies mangrove ke negara itu, seiring menghangatnya suhu yang mulai membuat kondisi nyaman bagi pohon subtropis tersebut.

Pada 29 April 2024, peneliti dan pengambil kebijakan dari Korea Selatan dan Indonesia berkumpul di kantor Center for International Forestry Research dan World Agroforestry (CIFOR-ICRAF) di Bogor untuk berbagi pembelajaran mengoptimalkan mangrove dalam mitigasi dan potensi adaptasi perubahan iklim. “Hutan mangrove merupakan ekosistem yang sangat, sangat, sangat padat karbon,” kata Christoper Martius, ilmuwan utama dan ketua tim Perubahan Iklim, Energi dan Pembangunan Rendah Karbon CIFOR-ICRAF, pada sambutan pembukaan simposium. “Jadi saat kita merusaknya, sejumlah besar karbon menyebar ke atmosfer.”

Sejalan dengan pengetahuan ini, proyek restorasi mangrove, menurut Hyungsoon Choi, kepala Divisi Jeju Institut Sains Hutan Nasional Korea Selatan (NIFoS), berkembang di Korea Selatan pada beberapa tahun terakhir. Meskipun, “Belum banyak riset untuk mendukungnya – jadi kita perlu upaya kolaboratif antar dua negara seperti ini.” Cho Junkuy, Direktur Pusat Kerja Sama Hutan Korea-Indonesia. Ia juga berbagi harapan “agar efek kolaborasi ini berkontribusi pada kerja sama internasional dalam memerangi perubahan iklim.”

Bora Lee, peneliti NIFoS Jeju, memaparkan temuan penelitian yang tengah berjalan mengenai dinamika dan penyimpanan karbon dalam hutan semi-mangrove asli Jeju. Datanya, kata Lee, bisa membantu mendukung ekspansi area semi-mangrove, selain juga potensi introduksi spesies mangrove baru – jika hal ini secara krusial sejalan dengan aspirasi masyarakat lokal.

Milkah Royna, mahasiswa studi di CIFOR-ICRAF, mendiskusikan pentingnya metodologi dan protokol yang sesuai dalam mengukur biomassa dan kandungan karbon dalam hutan mangrove – tugas ini sangat menantang karena sebagian besar karbon dalam hutan berada di bawah permukaan. “Tanah yang dalam dan kaya karbon ini tak bisa diabaikan, keputusan peneliti mengenai seberapa dalam saat mengambil sampel menjadi sangat menentukan,” kata Royna.

Selain mengukur potensi mangrove, penting pula menelusuri kerentanannya, terutama berhadapan dengan tekanan pemanfataan lahan dan kenaikan permukaan laut. Dalam topik ini, Phiju Marrin Sagala, konsultan riset CIFOR-ICRAF, memaparkan informasi dari tim risetnya mengenai adaptasi pesisir atas perubahan iklim, yang mengembangkan indikator kerentanan dalam menilai area yang membutuhkan tindakan adaptasi segera, dan menginformasikan manajemen hutan mangrove atas manfaat ekosistem dan masyarakat di masa depan. “Mangrove berperan penting dalam keberlangsungan manusia maupun alam,” simpulnya.

Sebagai contoh, Beni Okarda, peneliti senior CIFOR-ICRAF berbagi cerita mengenai proyek riset aksi partisipatoris yang bertujuan merestorasi mangrove di Sumatra Selatan, seraya memberi manfaat bagi masyarakat lokal, meliputi pembangunan pembibitan, restorasi lokasi, dan kanvas model bisnis dalam mendukung usaha kecil lingkungan. Melalui pelibatan masyarakat dan kolaborasi pemangku kepentingan, proyek ini mencoba meningkatkan kapasitas lokal dan mendorong praktik restorasi mangrove berkelanjutan.

Hyungkyun Kim, manajer proyek Pusat Kerja Sama Hutan Korea-Indonesia, menjelaskan proyek restorasi lahan gambut yang didukung lembaganya di Jambi, Indonesia pada dua tahun terakhir, berkolaborasi dengan universitas dan lembaga riset setempat. Ia menekankan pentingnya analisis ilmiah, pelibatan masyarakat, dan kolaborasi dengan pemangku kepentingan dalam mewujudkan hasil restorasi.

Kondisi biofisik, meliputi tingkat kelembapan, menurut peneliti CIFOR-ICRAF Citra Gilang dan Agus Maulana, juga berdampak besar pada sekuestrasi karbon dan akumulasi biomassa dalam ekosistem mangrove. Keduanya menekankan pentingnya memilih beragam spesies yang sesuai dengan program restorasi, berdasar pada adaptabilitas lingkungan dan potensi sekuestrasi karbon.

Tentu saja, hutan bukan semata mesin sekuestrasi karbon. Mihyun Seol, ilmuwan yang diperbantukan di CIFOR-ICRAF, berbicara mengenai nilai estetis, dan peluang bagi aktivitas rekreasional bermakna, seperti memantau burung, bermain kayak, dan ekowisata. “Jika servis kita diperluas pada wisata rekreasional, maka akan memungkinkan masyarakat mendapatkan kesenangan dari ekosistem itu – dan ini penting bagi konservasinya,” paparnya.

Merangkum diskusi yang diwarnai pertanyaan-pertanyaan tajam dari peserta, ilmuwan utama CIFOR-ICRAF Daniel Murdiyarso memaparkan inovasi terbaru yaitu Blue Carbon Deck, sebuah platform pelibatan dan dialog publik mengenai perlindungan, pemantauan dan restorasi ekosistem ‘karbon biru’ meliputi mangrove, padang lamun dan rawa asin.

Murdiyarso juga menekankan perlunya menjawab pertimbangan adaptasi sebelum mitigasi (fokus pada kebutuhan pertama ekosistem dan masyarakat garis depan kenaikan permukaan laut), dan terutama melindungi hutan yang ada. “Mari melakukan konservasi sebelum restorasi,” katanya. “Dan ketika merestorasi, kita harus melibatkan penduduk lokal, agar kita dapat memanfaatkan restorasi untuk meningkatkan penghidupan mereka dan juga mengamankan kepemilikan lahan.”

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi:

  • Bora Lee, Warm-Temperate and Subtropical Forest Research Center, NIFoS Jeju, Republik Korea (boralee7208@korea.kr)
  • Himlal Baral, Ilmuwan Senior CIFOR-ICRAF (h.baral@cifor-icraf.org) 
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org