hide menu   
FORESTS NEWS
 
Liputan Khusus   /   29 Februari 2024

Kebangkitan Rotan

Mengelola perdagangan rotan dalam negeri untuk perlindungan hutan dan peningkatan ekonomi

Scroll

Di Sulawesi Tenggara, sesosok tubuh kecil muncul dari dalam hutan dan membawa seikat rotan seberat 100 kilogram dengan tali pancing melingkari kepalanya. Ia telah menghabiskan tiga minggu di semak-semak, memanjat dan melonggarkan cengkeraman pohon palem di antara di pohon-pohon tua, mengupas duri-durinya, dan memulai proses pembuatan rotan menjadi furnitur.

Indonesia merupakan salah satu produsen rotan terbesar di dunia, menyumbang 70 persen dari total produksi global dan habitat bagi lebih dari 300 spesies rotan, meskipun hanya sedikit yang mempunyai nilai komersial. Hingga tahun 2022, para pemanen rotan, pengepul, dan pengolah tebu di Sulawesi dan Kalimantan mempunyai penghasilan dari pasar internasional. Namun, permintaan global terhadap produk-produk tersebut terus menurun, sehingga seluruh rantai pasokan lokal menjadi lesu.

Para pemanen menunjukkan keuletan luar biasa. Mereka beralih ke pembuatan furnitur untuk pasar domestik, yang berfungsi sebagai penyangga serta sumber pendapatan alternatif.

Ahmad Dermawan, mantan peneliti di Center for International Forestry Research dan World Agroforestry (CIFOR-ICRAF)

“Para pemanen telah menunjukkan ketahanan yang luar biasa dengan beralih ke pembuatan furnitur untuk pasar domestik, yang berfungsi sebagai penyangga serta menyediakan sumber pendapatan alternatif bagi mereka,” jelas Ahmad Dermawan, Eks Ilmuwan di Center for International Forestry Research dan World Agroforestry (CIFOR-ICRAF) yang meneliti rantai pasokan rotan di Sulawesi Tengah dan Tenggara serta di Kalimantan Tengah.

Dalam rangka mewujudkan potensi ekonomi pasar domestik dan memastikan pasar akan menguntungkan dan berkelanjutan, pemerintah daerah perlu mendukung sektor ini melalui dua cara: meningkatkan kapasitas petani skala kecil sebagai pengrajin dan pengusaha, dan dengan secara sistematis memantau arus perdagangan lokal ke pasar domestik, memahami siapa, memproduksi apa, dan di mana.

Untuk memahami rantai nilai rotan yang ada saat ini dan manfaatnya bagi penghidupan, peneliti melakukan survei, wawancara serta diskusi kelompok terfokus di 14 desa dan 7 kecamatan, yang mewakili beragam perspektif dalam produksi dan perdagangan— di Kalimantan, sebagian besar rotan berasal dari perkebunan, sedangkan di Sulawesi sebagian besar rotan dipanen dari hutan alam.

Peneliti juga mewawancarai perwakilan pemerintah daerah untuk menjelaskan kebijakan di tingkat provinsi dan kabupaten. Temuan menunjukkan implikasi terhadap penghidupan masyarakat setempat dan masa depan hasil rotan di seluruh pulau.

 

Perlunya pemantauan perdagangan 

Penjelasan mengenai status rotan sebagai produk hutan non-kayu dan bukan komoditas pertanian menunjukkan tidak adanya data secara sistematis mengenai rantai pasok rotan di Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah.

Banyak pihak yang memandang bahwa rotan sebagai hasil hutan yang harus diawasi oleh dinas kehutanan di tingkat provinsi, sementara dinas kehutanan provinsi mengatakan bahwa rotan dibudidayakan di lahan masyarakat dan harus berada di bawah dinas terkait di tingkat kabupaten.

 
 

“Artinya, tidak ada catatan mengenai jumlah rotan yang dipanen di kabupaten tersebut dan di mana tepatnya rotan tersebut dikumpulkan, sehingga tidak ada penelusuran yang tepat,” kata Dermawan. Beberapa desa memang mencatat penjualan rotan atas permintaan kabupaten, namun basis data tersebut belum sistematis dan belum terdigitalisasi.

 
 

Rotan berkaitan erat pada nilai-nilai budaya leluhur, tahan terhadap guncangan lingkungan dan ekonomi, serta memiliki waktu panen yang fleksibel, menjadikannya sumber ekonomi darurat bagi masyarakat. Rotan juga mudah diperoleh, tumbuh dengan cepat, dan merupakan alternatif pengganti produk kayu.

 
 

Meskipun masyarakat memperoleh penghasilan dari berbagai komoditas, rotan cenderung menjadi satu-satunya sumber pendapatan bagi pengumpul dan pengolah, individu yang mengumpulkan tebu dari berbagai pemanen dan mengolahnya agar lebih tahan dan cocok untuk menghasilkan rotan berkualitas tinggi dan furniture yang tahan lama. Selain itu, ketika rotan ditanam di kebun keluarga, baik laki-laki maupun perempuan terlibat penuh di semua tahap rantai pasokan.

 
 

“Pemerintah daerah sebaiknya mempertimbangkan untuk memperhatikan rotan, karena rotan merupakan sumber pendapatan penting dan jaring pengaman bagi banyak orang,” kata Dermawan. “Dan benar, hal ini memerlukan koordinasi yang cukup banyak, namun kita perlu memulainya dan sekaranglah waktunya.”

 
 
Rattan furniture production in Lelekaa Village. Photo by Khairul Abdi/CIFOR-ICRAF
Farmers harvest rattan near Anduna Village. Photo by Khairul Abdi/CIFOR-ICRAF
Thick mist rises from the canopy after heavy rains on virgin rainforest in South Konave, Southeast Sulawesi, Indonesia. Photo by Khairul Abdi/CIFOR-ICRAF

Pasar rotan berkelanjutan

Penurunan permintaan rotan di wilayah yang diteliti sangat tajam, dan hal ini disebabkan oleh krisis ekonomi seperti di Eropa. Di Sulawesi Tengah, seorang pedagang mengatakan pengirimannya turun sebesar 75 persen; di Sulawesi Tenggara, tidak terdapat pengiriman rotan sejak awal tahun 2022.

Sebagai responnya, para pemanen di Sulawesi beralih untuk memproduksi perabot atau kerajinan tangan sederhana di desa mereka, kemudian menjualnya di sepanjang jalan utama yang menghubungkan berbagai pulau.

Sebagai opsi, mereka menjual hasil panen ke pengrajin furnitur lokal, dan menghasilkan Rp 4.000 (USD 0,25) per buah, dibandingkan dengan harga Rp 9.000 (USD 0,60) yang biasa mereka peroleh dari pengepul. Pendapatan memang menyusut, tetapi kemampuan untuk cepat beradaptasi dengan situasi baru membuat ekonomi terus berjalan.

 

Namun, tren yang muncul sebagai reaksi terhadap menurunnya permintaan rotan di pasar global mungkin akan tetap ada—dan hal ini mempunyai implikasi terhadap mata pencaharian dan ketersediaan sumber daya di masa depan.

 
 

Menurut Dermawan, para pemanen yang beralih menjadi pengrajin dapat memperoleh manfaat dari program pelatihan pembuatan furnitur dan perencanaan usaha yang disponsori pemerintah daerah, yang akan membantu mereka meningkatkan kualitas produk dan memperluas pasar di dalam negeri.

 
 

Secara paralel, kebangkitan ekonomi saat ini memberikan peluang bagi pihak berwenang untuk merencanakan kemungkinan kembalinya tatanan internasional, yang akan meningkatkan tekanan terhadap sumber daya alam ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Peningkatan informasi dan pemantauan kebijakan perdagangan komoditas rotan, kata Dermawan, akan menjadi langkah awal menuju masa depan yang lebih berketahanan dan berkelanjutan.

 
 
Lapadi carries rattan in the forest to bring home and turn into products that can se sold. Photo by Khairul Abdi/CIFOR-ICRAF
Potrait of farmers are carrying rattan from the forest to bring home and for sale. Photo by Khairul Abdi/CIFOR-ICRAF
A potrait of the artisans crafting rattan handicrafts in Lelekaa Village, South Konawe, Southeast Sulawesi. They produce a variety of items for sale, including chairs, tables, basket and beds. Photo by Khairul Abdi/CIFOR-ICRAF

Pengembangan cerita: Gloria Pallares | Produksi video: Aris Sanjaya | Desain Web: Gusdiyanto | Koordinasi Publikasi: Budhy Kristanty

(Visited 1 times, 1 visits today)
Copyright policy:
We want you to share Forests News content, which is licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). This means you are free to redistribute our material for non-commercial purposes. All we ask is that you give Forests News appropriate credit and link to the original Forests News content, indicate if changes were made, and distribute your contributions under the same Creative Commons license. You must notify Forests News if you repost, reprint or reuse our materials by contacting forestsnews@cifor-icraf.org.