Sejalan dengan upaya berbagai negara dunia memenuhi target iklim dan keanekaragaman hayati, lensa bergeser dari proyek tradisional – atau strategi konservasi berbasis program – yang bisa berujung hanya mengganti praktik tak berkelanjutan ke lokasi berbeda – menuju pendekatan lebih holistik yang menerapkan dan membuka ruang bagi pemanfaatan lahan berkelanjutan dalam yurisdiksi tertentu.
Dalam konteks ini, pendekatan yurisdiksi (JA) – yang mensyaratkan manajemen bentang alam terintegrasi berbasis pada batas kebijakan relevan dan dirancang untuk mendorong keterlibatan tingkat tinggi pemerintahan – makin menjadi strategi populer dalam memenuhi janji iklim.
Pada 12 Oktober 2023, pada Konferensi Hybrid GLF Nairobi 2023: Visi Baru untuk Bumi, para pembicara dari Pusat Penelitian Kehutanan Internasional dan Pusat Agroforestri Dunia (CIFOR-ICRAF) berbagi temuan dari sejulah proyek JA pada sektor minyak sawit dan pertanian di Indonesia dan negara lain, serta pembelajaran yang dapat membantu memperkuat dan mengeskalasi inisiatif JA yang ada.
Sonya Dewi, Direktur Asia CIFOR-ICRAF, mengawali sesi dengan menyampaikan konteks eskalasi JA pada minyak sawit dan pertanian berkelanjutan. Ia mengkategorikan JA menjadi tiga tipe: terdorong oleh proposisi nilai eksternal, kerja sama multi pihak termotivasi secara internal, dan kombinasi dua hal tersebut. Ia menjelaskan bahwa upaya CIFOR-ICRAF pada arena ini terfokus pada tipe kedua, dan dalam memberikan analisis teknis dan data untuk mendorong keberlanjutan.
Dewi juga berbagai sejumlah studi kasus, termasuk rencana pembangunan hijau di Sumatera Selatan yang melibatkan berbagai pihak, indikator performa terkait dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), dan aplikasi perangkat lunak Lumens untuk pemetaan intervensi.
“Kendala utama JA dapat diatasi dengan data, kapasitas teknis dan forum multi pihak,” katanya. “Dan sementara sebagian dampaknya belum terlihat, saya pikir kita menuju ke sana sepanjang proses ini.”
Ilmuwan CIFOR-ICRAF, Beria Leimona menggali isu motivasi dan kepemimpinan, selain pentingnya mengkombinasikan insentif eksternal dengan pemangku kepentingan internal termotivasi. Ia berbagi pembelajaran dari program Pertanian Berkelanjutan pada Bentang Alam Tropis Asia (SFITAL), dari percontohan JA untuk pertanian kakao berkelanjutan di Sulawesi Selatan.
Ilmuwan senior CIFOR-ICRAF Herry Purnomo menekankan langkah dalam JA yang dapat membantu sejumlah pemangku kepentingan untuk bekerja bersama, mengungkap perspektif mereka, dan menemukan pijakan bersama – termasuk distribusi biaya jangka pendek transformasi berkelanjutan di antara para pihak, membuat keberlanjutan lebih feasibel.
“Keberlanjutan bukan pekerjaan mudah- ia kompleks dan mahal, dan kita tidak bisa berharap pemangku kepentingan melakukannya sendiri,” katanya. Ia menambahkan pendekatan ini memerlukan fleksibilitas dan kemampuan mendengar secara seksama. “Meski kita punya pemahaman global keberlanjutan, kita juga perlu mengadaptasikannya untuk memenuhi kebutuhan lokal.”
Leony Aurora, adalah seorang tokoh bentang alam dan kemitraan Aliansi Hutan Tropis (TFA) – wahana multi pihak berusia satu dekade yang bertujuan memfasilitasi kolaborasi dan dialog publik-swasta dalam mengatasi tantangan deforestasi terkait dengan produksi komoditas. Ia berbagi temuan dari kajian yang dilakukannya bersama organisasi nirlaba global CDP dalam memahami mengapa dan bagaimana perusahaan industrial hilir berkehendak menerjemahkan komitmen mereka menjadi aksi di wilayah yang jauh dari lokasi operasi.
Dalam sektor kelapa sawit, menurut Aurora 62 perusahaan industrial hilir telah beraksi pada skala bentang alam dan mendukung 37 inisiatif – dan terus bertambah.
Untuk lebih mengeskalasi, “hasilnya harus jelas pada tingkat bentang alam dan yurisdiksi,” katanya. “Kita ingin melihat bagaimana perusahaan dapat memainkan peran lebih besar dalam mendukung aksi dan tujuan yang telah ditetapkan para pemangku kepentingan, khususnya lokal.”
Melissa Thomas, Direktur Senior minyak sawit berkelanjutan Konservasi Internasional, berbagi sejumlah upaya organisasinya, termasuk satu proyek di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Proyek ini bertujuan mendukung petani mandiri melalui pelatihan untuk meningkatkan manajemen dan produktivitas pertanian; sertifikasi melalui standar Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO); selain aktivitas konservasi dan restorasi. Proyek ini juga bekerja sama dengan wahana forum tingkat-kabupaten dalam memperkuat kolaborasi lintas pemangku kepentingan sektor minyak sawit.
“Rantai pasok minyak sawit ini dinamis, produsen menyuplai pabrik, pabrik memasok pedagang, dan perusahaan hilir mengakui bahwa ada kebutuhan penting mengatasi hal itu pada skala and langkah yang lebih terkoordinasi, bukan sekadar melakukan pelibatan dari pemasok ke pemasok,” kata Thomas. “Dinamika ini dapat membantu membangun kondisi bagi perusahaan berinvestasi dalam pendekatan yurisdiksi.”
Ilmuwan CIFOR-ICRAF Emily Gallagher kemudian menggeser diskusi pada minyak sawit berkelanjutan di Ghana, komoditas yang dibudidayakan secara tradisional. Meski masih pada tahap awal mengembangkan kerangka nasional minyak sawit, Ghana membuat kemajuan signifikan dalam mengorganisasi kerangka tata kelola multi pihak untuk komoditas nol-deforestasi pada level bentang alam dan yurisdiksi, katanya.
Gallagher mencatat, meski sektor formal memimpin jalan keberlanjutan, terdapat pula sektor informal substansial yang perlu diakui dan dilibatkan.
“Banyak perempuan yang telah mengolah minyak sawit selama beberapa generasi, dan menjadi tulang punggung sektor minyak sawit artisanal – meski banyak pabrik dimiliki laki-laki,” katanya. “Ada beragam pendekatan yang dapat menjaga peran peran perempuan dalam ekonomi minyak sawit, yang diapresiasi oleh kabupaten dan menentukan kemauan mereka dalam mendukung kehadiran perusahaan serta efek berantai ekonomi yang mereka miliki.”
Marcello De Maria, peneliti pasca-doktoral Universitas Reading, berbagi wawasan dari kerjanya pada produksi kedelai berkelanjutan di Brasil – produsen kedelai terbesar di dunia. Dalam dua dekade terakhir, sektor ini mengalami laju multiplikasi pendekatan dan standar yang sangat memerlukan harmonisasi, katanya.
“Kami menemukan apa yang disebut ‘paradoks menara gelembung’: Jika setiap orang mengembangkan standarnya sendiri, maka tidak diperlukan lagi sebuah standar karena setiap orang menjalani aturannya sendiri – dan ini jadi masalah,” kata De Maria. “Kita perlu lebih sedikit standar, dan sementara itu kita juga perlu menutupi produksi lebih tinggi dibanding apa yang saat ini dilakukan demi keberlanjutan.”
JA menawarkan jalan yang jelas untuk membuat hal ini terjadi, kata De Maria.
Hendrik Segah, asisten profesor Universitas Palangka Raya Indonesia, merangkum diskusi dengan menekankan potensi JA dalam mendorong keberlanjutan sektor minyak sawit dan pertanian sambil menselaraskan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan prinsip pembangunan hijau. Ia juga menyoroti elemen seperti “mengamankan tenurial lahan, mekanisme pengambilan keputusan yang kuat, inklusivitas, dan penegakkan kewajiban memiliki peran kunci dalam meneruskan keberhasilan JA di berbagai sektor di dunia.”
Ucapan terima kasih
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org