Bagaimana melestarikan ekosistem kritis ini dapat meningkatkan ketahanan pangan dan nutrisi
Mangrove akhirnya memiliki momen. Pengakuan global tumbuh, setelah masyarakat menyadari peran mangrove sebagai penyerap karbon utama dan kemampuannya untuk melindungi garis pantai dari banjir dan gelombang badai. Mangrove juga merupakan rumah dari berbagai macam spesies laut yang dapat menjadi sumber makanan dan mendukung mata pencaharian masyarakat pesisir.
Namun di Indonesia, keanekaragaman hayati asli ini terancam karena mangrove dikonversi, dan ironisnya, untuk budidaya perikanan. Faktanya, masyarakat di Teluk Pangpang di Pulau Jawa, yang mengonversi hutan mangrove untuk membangun tambak ikan pada 1980-an kini memutuskan untuk menanamnya kembali, satu dekade kemudian, ketika tanggul terkikis oleh pasang surut dan stok ikan menurun.
“Ketika mangrove tumbuh, jumlah dan keanekaragaman kepiting, ikan, dan biota laut lainnya meningkat,” kata aktivis mangrove lokal Hendro Supeno dalam sebuah video yang direkam di Teluk Pangpang. “Tanpa mangrove, stok pangan dan pendapatan masyarakat berkurang.”
Untuk mendukung upaya melestarikan dan menanam kembali mangrove yang terdegradasi, para peneliti dari Center for International Forestry Research and World Agroforestry (CIFOR-ICRAF) bersama beberapa rekan dari Indonesia, termasuk Universitas Diponegoro, Yayasan Blue Forests, Universitas 17 Agustus, dan Universitas Brawijaya, mengumpulkan berbagai bukti kontribusi mangrove sebagai sumber makanan dan mata pencaharian.
Dengan dukungan dari Yayasan David and Lucile Packard serta Lembaga Pembangunan Internasional Amerika Serikat (United States Agency for International Development) Proyek Restoring Coastal Landscape for Adaptation Integrated Mitigation (ReCLAIM) berlangsung selama dua tahun untuk meningkatkan pengakuan ekosistem karbon biru dan mempromosikan restorasi mangrove berbasis bukti.
Proyek ini berfokus pada tiga lokasi di sepanjang pantai Jawa: hutan mangrove yang dilindungi di Kota dan Kabupaten Serang, Banten; mangrove yang direstorasi di Kabupaten Demak, Jawa Tengah; dan mangrove sehat di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Di semua lokasi, tim-tim yang berbeda melakukan penelitian biofisik untuk mempelajari lebih dalam bagaimana ekosistem mangrove terdegradasi memengaruhi kerentanan pesisir dan mengidentifikasi potensi restorasi.
Tim nutrisi dan mata pencaharian yang dipimpin oleh peneliti CIFOR-ICRAF, Amy Ickowitz dan Mulia Nurhasan, memfokuskan penelitiannya di Demak dan Banyuwangi. Melalui survei sosial ekonomi dan pola makan serta diskusi focus group, mereka mencari tahu bagaimana mangrove mendukung mata pencaharian lokal, serta ketahanan pangan dan gizi.
“Mangrove memberikan keuntungan langsung kepada komunitas setempat,” jelas Ickowitz yang juga telah melakukan penelitian mengenai hubungan antara pohon dan nutrisi serta ketahanan pangan dalam 10 tahun terakhir. “Khususnya untuk masyarakat miskin, kontribusi nutrisi dari ikan ini bisa menjadi santapan masyarakat sekitar dan kunci penting untuk menghindari kekurangan gizi.”
Ikan dan spesies laut lainnya mengandung nilai mikronutrien dan asam lemak tak jenuh yang tinggi, yang sangat penting untuk perkembangan fisik dan kognitif anak-anak. Masyarakat juga mengonsumsi daun dan buah pohon mangrove yang dapat diolah menjadi tepung dan produk lainnya.
Mangrove memberikan manfaat langsung bagi kehidupan sehari-hari masyarakat setempat – Amy Ickowitz, Ilmuwan CIFOR-ICRAF
Masyarakat setempat berinisiatif untuk menanam kembali mangrove untuk budidaya ikan
Nurhasan juga menekankan pentingnya mangrove untuk keragaman pangan, terutama bagi wanita usia subur dan anak-anak, yang cenderung lebih rentan gizinya jika dibandingkan anggota keluarga lainnya. “Terlepas dari faktor sosial ekonomi, keragaman pangan berkaitan erat dengan status gizi anak, Anak-anak yang mengonsumsi lebih banyak protein hewani cenderung lebih tinggi, lebih berat, dan memiliki kemampuan kognitif yang lebih baik, ”katanya. “Konsumsi ikan terbukti berhubungan dengan status gizi yang lebih baik, dan merupakan sumber protein hewani terpenting di Indonesia. Tapi, sayangnya, anak-anak Indonesia masih kurang mengonsumsi ikan.”
Penelitian ini juga mendukung Gemarikan, program Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan ketertarikan masyarakat akan produk perikanan dan asupan gizi masyarakat dari ikan. Pemerintah juga telah melakukan beberapa tindakan untuk menurunkan angka stunting di Indonesia. Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2021 mengatur bahwa hal ini harus dilakukan secara holistik dan integratif, dengan koordinasi lintas instansi pemerintah dari tingkat nasional hingga tingkat desa. ReCLAIM menganut pendekatan holistik seperti itu, karena temuan dari bagian ketahanan pangan dan gizi dari penelitian ini digunakan untuk mendukung konservasi dan restorasi mangrove, dan juga sebaliknya.
Hasil penelitian awal ReCLAIM menunjukkan bahwa sebagian besar makanan ibu dan anak berasal dari ikan dan spesies air lainnya. Penelitian diet dari Demak dan Banyuwangi menunjukkan bahwa rata-rata 56,5% ibu dan 42% anak telah mengkonsumsi ikan dalam waktu 24 jam sebelum survei.
“Ketika saya memasak ikan, anak-anak saya biasanya semangat untuk menyantapnya,” ujar Ibu Ririn, istri dari salah satu nelayan di Teluk Pangpang. “Kalau tidak ada ikan, saya jadi kesulitan untuk memberi mereka makan.” Ibu Ririn tidak khawatir akan harga yang naik di pasar karena ia dan keluarga mengonsumsi ikan, kepiting atau udang yang mereka tangkap.
Lebih dari 35 persen dari nelayan tidak memiliki kapalnya sendiri, dan hanya 24 persen yang memiliki perahu kecil (lima horsepower atau kurang). “Para nelayan tidak perlu memiliki perahu untuk memancing di sekitar area mangrove, yang menunjukkan bahwa mangrove merupakan sumber mata pencaharian inklusif yang memberikan manfaat untuk mereka yang tidak mempunyai modal besar,” kata Nurhasan.
Terlepas dari faktor sosial ekonomi, keragaman pangan berkaitan erat dengan status gizi anak. Anak-anak yang mengonsumsi lebih banyak protein hewani cenderung lebih tinggi, lebih berat dan memiliki kemampuan kognitif yang lebih baik – Mulia Nurhasan, Ilmuwan CIFOR-ICRAF
Shellfish fisherman in the mangrove area of Pangpang Bay, Muncar District, Banyuwangi Regency. Photo by Rifky/CIFOR-ICRAF
Aerial photo of several fishing boats in Wringin Putih Village, Muncar District, Banyuwangi Regency. Photo by Rifky/CIFOR-ICRAF
Crabs caught by fishermen in Pangpang Bay, Muncar District, Banyuwangi Regency. Photo by Rifky/CIFOR-ICRAF
Mangrove dapat menjadi kunci dalam mencegah kekurangan gizi
Para peneliti memastikan survei mata pencaharian dan nutrisi dirancang dengan cara yang peka gender, untuk menilai manfaat pendapatan aktual dan potensial bagi anggota rumah tangga laki-laki dan perempuan. Mereka menemukan bahwa dinamika gender bervariasi menurut lokasi. Di Demak, laki-laki melakukan sebagian besar penangkapan ikan dan perempuan bekerja pada kegiatan pasca-tangkapan seperti memilah, menjual dan mengolah ikan. Namun di Banyuwangi, perempuan cenderung mengumpulkan kerang sendiri.
“Dari mengumpulkan tiram di sekitar mangrove, kami dapat menghasilkan sekitar Rp500.000 (USD 3.4) setiap hari,” jelas Bibit Rahayu dalam video yang diambil di Teluk Pangpang.
Eko Siswanto, nelayan kepiting setempat, menjelaskan dampak yang dirasakan dalam segi mata pencaharian setelah masyarakat setempat melakukan inisiatif untuk menanam kembali mangrove. “Sebelumnya, saat mangrove tidak cukup lebat, kami hanya bisa mendapatkan 50–60 ribu rupiah per hari,” katanya. Tetapi ketika mereka tumbuh lebih padat, mangrove mereka menarik kepiting – memungkinkan kami menghasilkan lebih banyak. “Sekarang pendapatan kami naik menjadi 90–100 ribu rupiah, kadang sampai 300–400 ribu.”
Kepiting hasil tangkapan nelayan di Teluk Pangpang, Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi. Foto oleh Rifky/CIFOR-ICRAF
Pak Siswanto menikmati profesinya sebagai pengusaha, yang memberinya kemampuan untuk memperoleh penghasilan yang nyaman tanpa harus bekerja berjam-jam.
Ibu Bibit membagikan hal yang sama: “Kami dapat bekerja di pabrik, tetapi bekerja di hutan mangrove lebih menguntungkan dan kami memiliki lebih banyak waktu dengan anak-anak kami.” Senyum di wajahnya juga mempertegas itu.
“Siswanto dan Ibu Bibit akan menjadi contoh yang baik untuk menjelaskan kepada masyarakat di seluruh Indonesia tentang bagaimana restorasi mangrove dapat bermanfaat bagi nelayan setempat, negara, dan planet ini,” kata Ickowitz.
Pengembangan cerita: Erin O’Connell | Produksi video: Aris Sanjaya | Desain web: Gusdiyanto | Koordinasi publikasi: Budhy Kristanty
Copyright policy: We want you to share Forests News content, which is licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). This means you are free to redistribute our material for non-commercial purposes. All we ask is that you give Forests News appropriate credit and link to the original Forests News content, indicate if changes were made, and distribute your contributions under the same Creative Commons license. You must notify Forests News if you repost, reprint or reuse our materials by contacting forestsnews@cifor-icraf.org.