Perempuan desa memainkan peran mendasar dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam di hutan dan bentang alam berpohon di seluruh dunia – setidaknya seharusnya begitu.
Saat perempuan bisa berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan secara setara berbagi sumber daya dan manfaat, kebijakan dan proyek di sektor kehutanan menunjukkan peningkatan pembelian dan perbaikan penghasilan. Sebaliknya, inisiatif yang mengabaikan perbedaan gender atau tidak melibatkan perempuan cenderung memperkuat atau bahkan memperburuk ketidaksetaraan. Demikian menurut sebuah laporan ringkas Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) 2017.
Meskipun demikian, sejarah sektor kehutanan mencatat minimnya perhatian pada dinamika gender, kata Markus Ihalainen, pejabat penelitian senior CIFOR. Meski ada perubahan, banyak upaya masih belum secara tepat mengatasi struktur sosial dan relasi kuasa yang memproduksi atau menguatkan ketidaksetaraan.
Meskipun kesetaraan gender adalah hak asasi dan kondisi fundamental untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, perempuan masih kurang diuntungkan, dengan peran kuasa lebih rendah dibanding lelaki.
Pengambilan keputusan, akses manfaat dari hutan dan sumber daya pohon, serta kapasitas untuk secara efektif merespon perubahan seperti deforestasi atau degradasi hutan dan bentang alam berpohon merupakan bagian area di mana haknya terbatas, katanya pada wawancara terkait Hari Perempuan Pedesaan Internasional.
“Krisis seperti pandemi COVID-19 makin menyulitkan semua orang, misalnya, kita tahu bahwa tantangan seperti ini seringkali diperparah dengan ketidaksetaraan yang secara disproporsional meningkatkan kerentanan atau menurunkan kapasitas adaptif kelompok tertentu,” papar Ihalainen, yang telah terlibat dalam riset gender di CIFOR sejak 2014.
Untuk mengatasi tantangan ini, Ihalainen dan para peneliti sektor kehutanan lain mencoba memahami bagaimana pembagian peran, hak dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan, terutama terkait pemanfaatan lahan.
Kebijakan yang muncul dari rekomendasi riset seharusnya mempertimbangkan bagaimana pembagian manfaat, seraya juga menghitung berbagai risiko lain terkait gender, katanya.
Kontribusi perempuan desa terhadap pembangunan dan konservasi perlu didukung dengan remunerasi adil bagi kerja dan aksesnya pada sumber daya; perempuan seharusnya diakui sebagai pemangku kepentingan kritis dalam tata kelola sumber alam berkelanjutan.
Ihalainen berbagi pengalaman berharga bersama Kabar Hutan:
T: Apa yang membuat Anda tertarik bidang ini?
J: Ada beberapa hal yang membuat riset gender dan lingkungan menarik. Pertama, bagi siapapun yang ingin melihat dunia berkeadilan, sulit abai terhadap ketidaksetaraan gender yang tampak jelas di seluruh dunia. Di pedesaan, kita saksikan cepatnya transformasi yang terbentuk dari perubahan politik, sosial-ekonomi dan lingkungan – terutama perubahan iklim. Penelitian kami menunjukkan, jika dibiarkan, tren ini berisiko memperkuat atau bahkan memperburuk ketidaksetaraan gender.
Sektor kehutanan khususnya memiliki catatan minimnya perhatian pada gender, tapi saya pikir ini perlahan mulai berubah. Masyarakat makin tertarik mengetahui apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesetaraan dalam kerja mereka. Menjadi bagian dan bisa mendukung proses ini dengan menyediakan bukti relevan dan rekomendasi merupakan motivasi besar bagi saya.
Q: Sebagai peneliti laki-laki, apa tantangan yang dihadapi dalam meneliti perempuan desa?
A: Saya pikir ini sama pentingnya bagi laki-laki maupun perempuan.
Ini bukan semata meneliti perempuan desa, tetapi memahami bagaimana perbedaan struktur sosial dan relasi kuasa pada beragam tingkat memproduksi atau memperkuat ketidaksetaraan; ketidaksetaraan ini secara disproporsional mempengaruhi perempuan desa. Mau tidak mau, kita semua bagian dari struktur itu. Kita semua membentuk struktur sosial melalui tindakan ataupun berdiam saja.
Salah satu kontribusi terpenting teori feminis adalah kritiknya terhadap apa yang disebut obyektivitas ilmiah – gagasan bahwa peneliti hanyalah pengamat netral dari realitas. Gagasan kita tidak hampa dari bias; dipengaruhi oleh latar belakang dan status sosial, dan sebagian besar orang, yang melakukan riset lapangan dalam suasana lintas-kultur, saya harap, satu saat bisa merenungkan ketika mereka merasa situasi riset dipengaruhi oleh dinamika sosial antara responden dan peneliti. Sebagai seorang lelaki kulit putih meneliti gender terutama di Afrika, hal ini juga berlaku bagi saya, jadi saya benar-benar belajar bekerja dengan tim yang beragam secara sosial. Keberagaman tim peneliti menjadi penting bukan hanya untuk mengatasi kendala dinamika kuasa saat wawancara, tetapi juga karena kekayaan itu memberi perbedaan perspektif saat analisis.
T: Menurut Anda, apa isu terbesar yang dihadapi perepuan desa saat ini?
J: Banyak tren lebih besar yang menjadi atau membentuk tantangan yang dihadapi perempuan desa merupakan isu yang mempengaruhi kita semua, meski dstribusi hasilnya terbentuk dari berbagai irisan dinamika kuasa, termasuk gender. Pandemi COVID-19 salah satu contohnya. Misalnya, riset menyatakan bahwa sebagai konsekuensi pandemi, banyak perempuan desa mendapat beban kerja tambahan mengurus rumah. Pembatasan gerak dan disrupsi rantai nilai bisa secara disproporsional mempengaruhi pekerjaan yang didominasi perempuan, seperti pemasaran dan buruh tani harian.
Apalagi, petani perempuan sering tidak memiliki akses informasi teknologi yang setara dibanding petani laki-laki. Hal ini mempersulit perempuan terhubung dengan aktor rantai nilai lain, khususnya ketika mobilitas fisik terbatas.
Perubahan iklim, tentu saja, menjadi isu penting. Atas hasil upaya jangka panjang para peneliti dan kelompok advokasi, akhirnya relatif ada pengakuan umum mengenai fakta bahwa dinamika gender dan ketidaksetaraan mempengaruhi bagaimana perempuan dan laki-laki desa mengalami dan berhadapan dengan perubahan iklim – meskipun jalan masih panjang untuk memastikan pengakuan tersebut mengarah pada aksi efektif di lapangan.
Jadi, masih banyak tantangan dihadapi perempuan desa yang memerlukan tindakan segera, seperti memperkuat akses perempuan desa pada sumber daya dan pasar, atau meningkatkan keamanan pekerjaan mereka, serta memperluas perlindungan sosial. Akan tetapi, tantangan-tantangan tersebut juga merupakan gejala dari ketidaksetaraan fundamental struktur sosial.
Akibat berbagai ketidaksetaraan, banyak perempuan desa lebih terdampak akibat berbagai peristiwa, termasuk pandemi COVID-19, perubahan iklim dan ancaman lainnya. Meski terdapat kebutuhan mendesak untuk mengatasi dampak tersebut, pandangan kita tidak boleh terkelabui dari struktur dan sistem lebih luas yang memposisikan perempuan desa tetap lebih rentan. Jika tidak, berbagai pendekatan baru hanya seperti solusi plester – apapun upaya terkait restorasi, pembaruan atau strategi lain – yang hanya akan mereproduksi ketidaksetaraan.
Saat kita memikirkan kembali sistem produksi dan nilai agar menjaga masyakarakat tetap berada dalam donat Kate Raworth — batas-batas sosial dan lingkungan bagi kemanusiaan untuk hidup pada abad 21 – kita perlu memastikan kesetaraan gender menjadi inti upaya ini.
T: Inspirasi apa yang diperoleh dari perempuan desa selama penelitian?
J: Banyak sekali perempuan yang saya temui menunjukkan resiliensi dan inovasi luar biasa – meski banyak yang berada dalam kondisi yang buruk. Jadi meski penting untuk menyoroti struktur yang membentuk kondisi sulit yang dihadapi perempuan desa, cara media mengangkat perempuan desa sebagai korban pasif tidak lantas memberi mereka keadilan. Dengan kata lain, fokus pada marjinalisasi, cenderung mengabadikan pandangan perempuan adalah pasif – bukan sebagai penentu aktif nasib sendiri. Mereka seharusnya didukung melalui penciptaan struktur dan proses pendukung untuk mendorong kemampuan mengekspresikan peran dan mengubah struktur yang membatasinya. Namun, upaya mengakui peran perempuan harus melangkah melampaui cerita kemanusiaan dan menerjemahkannya menjadi pelibatan nyata dan bermakna bagi perempuan desa dan aspirasi mereka.
T: Bagaimana perempuan desa bisa berkontribusi pada transisi menuju masyarakat resilien rendah karbon?
J: Penting untuk mengakui kontribusi perempuan dan laki-laki desa dalam pengelolaan sumber daya alam. Misalnya, sebuah penelitian yang dipimpin oleh Inisiatif Hak dan Sumber Daya menemukan bahwa masyarakat adat mengelola hampir 300 miliar metrik ton karbon di permukaan dan di dalam tanah mereka. Penelitian CIFOR dan berbagai lembaga lain menunjukkan bahwa kelompok pengguna sumber daya inklusif gender lebih baik dalam tata kelola dan hasil konservasi.
Bagaimanapun, sama pentingnya untuk mengakui bahwa desa miskin di negara berpenghasilan rendah bukan kambing hitam darurat iklim dunia, mereka malah pihak yang menerima dampak terburuk dan, seperti dikatakan sebelumnya, dampak tersebut seringkali berbeda dalam hal gender dan faktor sosial lain. Inilah mengapa kami menekankan perlunya transisi berkeadilan, dengan kesetaraan gender sebagai tujuan utama.
Transisi berkeadilan perlu menjamin agar perempuan desa memiliki pilihan dan cara untuk menghadapi dampak perubahan iklim, selain memastikan mereka memiliki hak, sumber daya dan dukungan yang diperlukan untuk secara efektif berpartisipasi dalam masyarakat rendah karbon selaras kontribusi mereka pada pemberdayaan dan kesejahteraan.
T: Pesan apa yang Anda harapkan didapat masyarakat dari Hari Perempuan Pedesaan Internasional?
J: Hari ini disepakati untuk mengakui peran perempuan desa dalam memajukan pembangunan desa. Namun, meski memiliki peran krusial dalam produksi pertanian dan menjamin keamanan pangan, ketidaksetaraan gender – yang sering dipengaruhi faktor sosial-ekonomi – terus melemahkan perempuan desa. Meski ada sejumlah komitmen dan agenda global untuk mengedepankan kesetaraan gender, kemajuannya lamban. Transisi terdekat menuju masyarakat dan sistem produksi resilien rendah karbon juga memberi peluang untuk melakukan lompatan dalam kesetaraan gender, meskipun hal tersebut memerlukan kesetaraan dan keadilan sebagai inti strategi kita. Sudah banyak dan bukti tersedia; kini saatnya kita bertindak!
T: Proyek apa yang secara khusus membuat Anda bersemangat dan apa yang bisa kita dapat pelajari?
J: Ada sejumlah proyek yang akan menarik. Tertunda akibat COVID, kami mulai pekerjaan lapangan di Ghana, untuk meneliti dinamika gender pada beragam sistem produksi kelapa sawit. Saya juga mulai meneliti rantai nilai arang di sejumlah negara Afrika, dan menarik untuk dipelajari bagaimana sejatinya perempuan berpartisipasi lebih dari apa yang diatur kebiasaan konvensional. Kita juga tengah menyelesaikan analisis longitudinal partisipasi buruh pertanian perempuan di Indonesia. Banyak temuan menarik – tunggu laporan penelitian yang akan terbit. Terakhir, bermitra dengan EnGen Collaborative dan sejumlah organisasi konstituen gender GLF, kami tengah mengembangkan modul belajar daring mengenai restorasi hutan dan bentang alam responsif gender. Ini terasa tepat waktunya bersamaan dengan era kerja jarak jauh, dan kami pikir ini akan menjadi alat yang sangat berguna dan menarik bagi berbagai pemangku kepentingan restorasi untuk meningkatkan kapasitas mereka terkait pengarusutamaan gender bahkan pasca-COVID.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org