Berita

Reforestasi dapat menghentikan sindrom kekeringan-banjir, kata pemenang Penghargaan Pangan Dunia Rattan Lal

“Jadikan pertanian sebagai solusi, bukan masalah”
Bagikan
0
Pemenang Penghargaan Pangan Dunia 2020, Rattan Lal. Foto oleh: Kenneth D. Chamberlain, Sekolah Tinggi Ilmu Pangan, Pertanian, dan Lingkungan, Universitas Negeri Ohio. Foto ini adalah milik Sekolah Tinggi Ilmu Pangan, Pertanian, dan Lingkungan.

Bacaan terkait

Dari Afghanistan ke Kamboja, seluruh dataran rendah Himalaya, kondisi cuaca ekstrem menjadi hal biasa. Seabad lalu, bukit-bukit ditutupi hutan. Kini sudah terbuka akibat pertumbuhan penduduk, ekspansi pertanian serta kebutuhan kayu bakar dan kayu.

Deforestasi dan degradasi bentang alam berarti bahwa monsoon membawa banjir besar dan kemarau yang diiringi kekeringan menjadi tantangan yang menghambat produksi pertanian, kata pakar tanah Rattan Lal, yang menerima Penghargaan Pangan Dunia 2020 pada upacara virtual yang dipancarkan dari Ibukota Negara Bagian Iowa di Des Moines, Kamis.

“Tentu saja tidak ada air, karena air terbuang percuma,” kata Lal pada wawancara telefon dengan Kabar Hutan. “Solusinya adalah reforestasi perbukitan seperti seratus atau 150 tahun lalu – dan ini memerlukan komitmen serta kerjasama lintas negara tempat daerah aliran sungai berada.”

Reforestasi di Himalaya tidak akan menghentikan sindrom kekeringan-banjir dalam semalam, tetapi 25 hingga 30 tahun mendatang, perlu satu generasi. “Ini bukan kemewahan, ini kebutuhan,” kata Lal, yang mulai melakukan inovasi teknik restorasi tanah, yang mengantarnya pada visi “tanah sentris”, pada 1990 di Ohio State University (OSU), kampus tempatnya mengabdi sebagai guru besar ilmu tanah.

Ia mengadvokasi reforestasi seluruh lahan yang memiliki lebih dari 5 hingga 7 persen kemiringan untuk membantu manajemen daerah aliran sungai, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

PENGGALIAN

Selama lima dekade, dan di seluruh empat benua, Lal mengasah kepakarannya dalam kebijakan dan ilmu tanah. Penghargaan Pangan Dunia mengakui karyanya “mengembangkan dan mengarusutamakan pendekatan tanah-sentris dalam meningkatkan produksi pangan yang merestorasi dan mengkonservasi sumber alam dan memitigasi perubahan iklim.”

Ia juga dipuji atas inovasi teknik pertanian konservasi yang diperkenalkannya, dan sejauh ini telah memberi manfaat pada penghidupan lebih dari 500 juta petani kecil, meningkatkan keamanan pangan dan nutrisi bagi lebih dari 2 miliar orang, serta menyelamatkan ratusan juga ekosistem tropis alami.

Dalam sebuah makalah penelitian penting yang dipubikasikan dalam Science pada 2004, Lal menunjukkan bahwa merestorasi tanah terdegradasi dengan meningkatkan karbon tanah dan materi organik dapat meningkatkan kesehatan tanah, menyerap karbon atmosfer dan emisi bahan bakar fosil.

Ia diakui atas berbagai temuan – yang diadopsi oleh Panel Perubahan Iklim Antar-pemerintah — ketika pada 2007  badan PBB menjadi penerima penghargaan Nobel Perdamaian bersama mantan Wakil Presiden AS, Al Gore. Senin lalu, Gore dan Lal berbicara pada sesi virtual berjudul “Menterjemahkan Sains menjadi Aksi” pada Dialog Borlaug, konferensi sepekan bersamaan dengan Penghargaan Pangan Dunia setiap tahun.

“Berada dalam program yang sama dengan Dr Rattan Lal adalah kehormatan,” kata Gore. “Ia teman lama dan mentor saya.”

REMUNERASI UNTUK PETANI

Lal menyatakan, petani seharusnya mendapat pembayaran untuk jasa lingkungan jika menggunakan teknik sekuestrasi karbon di pohon dan tanah.

“Mereka seharusnya dikompensasi jika kita ingin mereka mengadopsi praktik yang direkomendasikan – jika kita hanya sekadar berbicara ini baik bagi dunia dan kemanusiaan, tidak akan pernah terjadi,” kata Lal, yang tumbuh di lingkungan pertanian kecil di India dan belajar membajak tanah ditarik lembu, dan kemudian mengadvokasi praktik tanpa pengolahan tanah.

Lal percaya, kesehatan tanah, tumbuhan, hewan, manusia dan ekosistem saling berkelindan. “Ketika lahan dibiarkan sendiri, kesehatan dan kualitas tanah menurun,” katanya. “Tanah tidak bisa menyimpan nutrisi, menahan air, mengurai pestisida dan polutan. Mereka berakhir di air atau udara. Jika berakhir di air, kesehatan manusia akan terdampak, dan jika berakhir di udara, menyebabkan pemanasan global dan masalah lain.”

PENELITIAN TERKEMUKA

Selama bertugas di International Institute of Tropical Agriculture (IITA) di Nigeria 1970-an hingga 1980-an, Lal meneliti dampak deforestasi pada perubahan iklim dan hidrologi, dengan fokus pada limpasan permukaan dan erosi di sub-Sahara Afrika.

Ia memantau dampak deforestasi pada iklim dan keseimbangan air. Pada saat itu, penelitiannya tidak terfokus pada perubahan iklim, tetapi terutama pada manajemen sumber alam berkelanjutan — pengendalian erosi limpasan dan pencegahan degradasi lahan. Ia tidak hanya menunjukkan bahwa deforestasi tidak boleh terjadi, tetapi juga merekomendasikan restorasi lahan, jika terjadi.

Pada paruh 1980-an, ia mendapat kunjugan dari mendiang ilmuwan Roger Revelle, yang terkenal secara dini memprediksi pemanasan global. Revelle penasaran terkait observasi bahwa deforestasi mengubah iklim dan iklim mikro, dan bahwa tanah terdegradasi akibat kehilangan materi organik karena sebagian limpasannya masuk ke danau akibat erosi, sementara sebagiannya diserap ke atmosfer.

Revelle menanyakan apakah Lal bisa mengembalikannya. Dari situ muncullah gagasan mengenai restorasi dan secara khusus, Lal tertarik apakah karbon bisa dikembalikan ke tanah dari perspektif perubahan iklim.

“Saya masih mencoba melakukannya,” kata Lal. “Jawabannya belum didapat, tetapi saat itulah transformasi terjadi – dan restorasi menjadi komponen penting, mesipun tanah dimanapun, semua tanah pertanian, khususnya di negara berkembang, sudah sangat terkuras karena petani mengambil semuanya – lahan dibiarkan memulihkan dirinya sendiri dan konsekuensinya karbon terus terkuras, dan berkontribusi pada pemanasan global.

Men conducting soil research

Pemenang Penghargaan Pangan Dunia 2020 Rattan Lal (kanan) bekerja dengan seorang peneliti. Foto oleh: Kenneth D. Chamberlain, Sekolah Tinggi Ilmu Pangan, Pertanian, dan Lingkungan, Universitas Negeri Ohio. Foto ini adalah milik Sekolah Tinggi Ilmu Pangan, Pertanian, dan Lingkungan.

 

SOLUSI PERTANIAN

Mengurangi ekspansi pertanian pada hutan membutuhkan investasi kesehatan tanah agar produksi bisa meningkat pada lahan yang ada. Di sub-Sahara Afrika produktivitas pada lahan yang ada bisa ditingkatkan dua atau tiga kali lipat, kata Lal.

“Bagi sebagian besar konservasionis, pertanian adalah masalah,” katanya. “Saya pikir ini agak kurang adik karena kita semua suka makan, dan makanan datang dari pertanian, jadi saya pikir ini kewajiban kita membuat pertanian jadi solusi, bukannya masalah.”

Lahan dapat menjadi lebih produktif dengan menangkap karbon melalui peningkatan materi organik, meningkatkan kapasitas air, memutar siklus nutrisi, efisiensi pupuk dan realisasi penuh potensi plasma nutfah – maka pertanian menjadi solusi.

Lahan gambut tidak boleh dikeringkan dan digunduli untuk pertanian atau hutan tanaman karena merupakan simpanan karbon – ketika dikeringkan, lahan tersebut menjadi sumber metana dan nitrogen oksida, kata Lal.

“Menggunduli lahan gambut, mengeringkan dan menanam kelapa sawit atau karet seharusnya diredam,” tambahnya. “Kita punya banyak lahan lain, yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan – ini titik kebijakan sangat penting – kepentingan kebijakan, tidak boleh membangun perkebunan di lahan gambut – jika lahan gambut telah gundul, solusi terbaiknya adalah merestorasi kembali.

PENGHARGAAN

Dalam era pra-pandemi, Penghargaan Pangan Dunia, yang pada sektor pertanian setara dengan penghargaan Nobel, diberikan tiap tahun di tengah berbagai kondisi, dan ditutup dengan makan malam pemberian penghargaan.

Tahun ini agak berbeda.

Lal disambut secara daring oleh Barbara Stinson, presiden Yayasan Penghargaan Pangan Dunia, diiringi penampilan spektakuler komposer dan musisi India, A.R. Rahman, yang kontribusi musiknya pada Slumdog Millionaire pada 2009 meraih dua Academy Awards.

“Apa yang membuat saya bahagia, mereka mengakui tanah,” kata Lal. Ia akan  menginvestasikan hadiah 250.000 dolar AS untuk dana hibah Pusat Penelitian Manajemen dan Sekuestrasi Karbon  OSU — yang baru disematkan namanya oleh pihak universitas pada Jumat – untuk membiayai penelitian dan pendidikan. Ia juga sudah menyumbangkan 450.000 dolar AS dari Penghargaan Jepang yang ia peroleh tahun lalu, selain beberapa penghargaan lain.

Ia berharap pihak lain akan menambah dana hibah tersebut, yang kini telah mencapai sekitar 1 juta dolar AS.

“Saya menargetkan 5 juta dolar AS – yang akan cukup untuk membiayai empat atau lima mahasiswa pasca-sarjana setiap tahun untuk penelitian terkait selamanya,” katanya. “Ini cita-cita, dan ini yang saya lakukan, semoga ada seseorang mendengar dan berkata, hey, kami akan menandingimu.”

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org