Delegasi COP 25: Potensi lahan gambut untuk Komitmen Kontribusi Nasional belum tergali
Sejauh ini, hanya kurang dari selusin negara telah memasukkan lahan gambut dalam Komitmen Kontribusi Nasional (NDC)-nya. Padahal ekosistem kaya karbon ini terdapat di 180 negara. Hal ini diutarakan seorang pakar internasional yang berbicara pada acara paralel perundingan iklim PBB di Madrid.
Pemetaan dan pemantauan lahan gambut yang ada dapat membantu mengatasi berbagai hambatan aksi iklim.
“Tujuh dari 197 pihak telah menyebut lahan gambut sebagai sebuah strategi – baru 3 persen,” kata Martial Bernoux, pejabat sumber daya alam Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), pada sebuah acara yang diselenggarakan bersama dengan pemerintah Indonesia.
“Kita punya lebih dari tiga persen pihak yang memiliki lahan gambut; kita punya lahan gambut di mana-mana,” katanya.
Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk merestorasi 2,4 juta hektare lahan gambut kering. Indonesia, dipandang sebagai salah satu pemimpin dalam penelitian lahan gambut, menjadi bagian Inisiatif Lahan Gambut dan negara pendiri Pusat Penelitian Lahan Gambut Tropis Internasional (ITPC).
“Ini benar-benar jadi contoh bagi dunia,” kata Bernoux, yang memaparkan pendekatan sistematis agar berbagai negara bisa mengumpulkan data lahan gambut mereka untuk dimasukkan dalam NDC.
Beberapa negara lain adalah Afghanistan, Belarusia, Brunei, Burundi, Rwanda dan Uruguay.
NDC merupakan bagian kunci dari strategi Perjanjian Paris PBB untuk mencegah kenaikan rata-rata temperatur pasca-industrial sebesar 1,5 derajat Celsius atau lebih. Setiap negara harus menyiapkan data emisi dan reduksi gas rumah kaca untuk memenuhi target pasca-2020.
Kemajuan dan komitmen iklim dipantau dalam Dialog Talanoa. NDC diperiksa secara ketat, mengingat di bawah ikrar yang ada pun, laporan terpercaya Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan bahwa pemanasan global diperkirakan melampaui 1,5 derajat Celcius di atas level pra-industrial, bahkan, jika ditambah dengan peningkatan substansial dalam skala upaya dan ambisi mitigasi setelah 2030. Demikian menurut Laporan Khusus IPCC 2018 mengenai Pemanasan Global 1,5°C.
Meningkatkan kapasitas berbagai negara Selatan menjadi inti dalam membangun kolaborasi sukses agenda tiap negara untuk aksi lahan gambut. Bernoux menjelaskan, hambatan bagi manajemen lahan gambut mencakup faktor ekonomi, kelembagaan, teknologi dan legal.
Dilabeli sebagai rawa, lumpur, tegalan dan paya, lahan gambut merupakan serapan karbon yang vital. Lahan gambut mencakup lebih dari separuh total lahan basah dunia, setara dengan 3 persen dari total permukaan lahan dan air.
Terbentuk selama ribuan tahun dari pembusukan vegetasi tergenang, laporan Wetland Internasional menyebutkan bahwa 15 persen lahan gambut telah dikeringkan untuk pertanian, perhutanan komersial dan ekstraksi bahan bakar.
Ketika dikeringkan, lahan gambut beroksidasi dan melepas karbon ke atmosfer. Proses ini memicu pemanasan global.
Menurut International Mire Conservation Group dan International Peat Society, sepertiga lapisan karbon dunia dan 10 persen sumber air bersih dunia terkandung dalam lahan gambut ini.
Peta Titik Panas Lahan Gambut Global yang dipublikasikan pada 2015 oleh Konvensi Keragaman Hayati, Lahan Gambut (Ramsar) dan Desertifikasi (UNCCD) menunjukkan bahwa 25 negara bertanggung jawab atas 95 persen emisi global dari pengeringan lahan gambut, di luar kebakaran.
Panduan terbaru dari IPCC telah memisahkan ekosistem lahan gambut dan mangrove. Ekosistem lahan basah ini sebelumnya ditumpuk bersama dengan Panduan AFOLU (Pertanian, Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Lain). Hal tersebut dinyatakan oleh Daniel Murdiyarso, ilmuwan utama Pusat Penelitian Kehutanan Internasional, yang menjadi moderator acara, berjudul “Bersiap mewujudkan NDC lahan gambut kaya-C dalam agenda.”