Bisakah minyak kelapa sawit masuk ekonomi sirkular?
Minyak kelapa sawit sangat multi guna. Membuat kue kering lebih renyah, sampo lebih berbusa dan pensil bibir lebih lembut. Semua itu, untuk harga yang lebih murah dibanding minyak lain. Namun, pemberitaan media mengangkat sisi gelap industri ini. Teras berita mengangkat deforestasi masif atas nama produksi minyak kelapa sawit, seiring isu buruk sosial dan lingkungan yang mendampinginya.
Persoalan bertambah panas, dua eksportir kelapa sawit terbesar – Malaysia dan Indonesia, tengah berjuang melawan aturan UE yang menghapus minya kelapa sawit sebagai sumber bioenergi pada 2030. Blok Eropa mengambil keputusan itu setelah minyak kelapa sawit melampaui batas ambang lingkungan sebesar 10 persen, bahkan menurut sebuah laporan, telah mencapai 35 persen. Apakah aturan UE ini terlalu dini?
Dalam adu cepat untuk membuat produksi kelapa sawit lebih berkeadilan dan ramah lingkungan, Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) mengeksplorasi pemanfaatan limbahnya untuk bioenergi.
Pada 2017, Indonesia memproduksi 38 juta ton minyak kelapa sawit mentah (CPO). Meski CPO telah menjadi stok biodiesel yang penting bagi pasar domestik dan ekspor, limbah produknya – limbah cair kelapa sawit (POME) – gagal menarik perhatian sektor energi. Tahun lalu, hanya delapan persen potensi kelistrikan POME di Indonesia yang termanfaatkan. Angka ini tidak mengejutkan. Kurang dari10 persen pabrik pengolahan minyak sawit memiliki instalasi pengolahan biomassa di lokasi.
Hanya dengan memanfaatkan produk yang biasanya dianggap sampah, kita bisa mencegah meluasnya deforestasi dan turut mengentaskan kemiskinan desa-desa di Indonesia
“Kami melihat mengapa, di balik peluang bisnis yang jelas, serta manfaat lingkungan dan sosial, hanya sedikit bisnis yang tertarik mengembangkan limbah kelapa sawit (POME) untuk energi,” kata ilmuwan CIFOR, Ahmad Dermawan.
Di Indonesia, tiga puluh juga orang hidup tanpa listrik, dan jutaan lainnya mengalami pemadaman dan jaringan yang tak stabil. Hal ini membawa kita pada sisi temaram debat minyak kelapa sawit: jebakan kemiskinan-energi. Dalam lingkaran ini, rakyat miskin tidak mampu mengakses listrik, dan tanpa listrik rakyat cenderung terus berada dalam kemiskinan. Menurut Dermawan, potensi ekonomi sirkular kelapa sawit jadi gamblang: “Hanya dengan memanfaatkan produk yang biasanya dianggap sampah, kita bisa mencegah meluasnya deforestasi dan turut mengentaskan kemiskinan di desa-desa Indonesia,” katanya.
Berita baiknya, sudah ada kebijakan dalam negeri untuk mengakselerasi produksi. Presiden Indonesia, Joko Widodo telah menetapkan target energi terbarukan sebesar 23 persen dari total penggunaan energi pada 2025. Menurut Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), bioenergi harus mengisi 10 persen dari target ini. Sejak 2016, regulasi telah mensyaratkan seluruh bahan bakar cair terbuat dari sedikitnya 20 persen biodiesel, dan sebagiannya akan digunakan untuk pembangkit listrik.