Untuk mengantisipasi kelangkaan energi yang telah diproyeksikan karena pengurangan sumber energi berbasis fosil, Pemerintah Indonesia bergerak cepat untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi produksi biomassa untuk energi.
Setelah penyusunan Rencana Umum Energi Nasional, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menetapkan Kebijakan Energi Nasional yang bertujuan agar energi terbarukan memenuhi setidaknya 23 persen dari bauran energi nasional pada tahun 2025, dan setidaknya 31 persen pada tahun 2050.
Selanjutnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengeluarkan keputusan untuk mempercepat penggunaan energi terbarukan dengan melakukan co-firing pembangkit listrik tenaga batu bara dengan biomassa; perusahaan listrik negara, PLN, mengamanatkan penyediaan bahan baku biomassa; dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan kategori yang disebut sebagai “Hutan Energi” dan program perkebunan energi rotasi pendek untuk sejumlah spesies pohon, termasuk Calliandra calothyrsus (Meissn.).
Beberapa pendekatan manajemen digunakan di seluruh dunia untuk jenis perkebunan ini, seperti “perkebunan rotasi pendek” untuk pemanenan dan penanaman kembali, “rotasi semak belukar” untuk pemanenan dan produksi semak belukar*, dan “penanaman pohon rotasi pendek.” Yang terakhir ini didasarkan pada siklus tebang habis, berkisar 1 hingga 15 tahun, menampilkan pohon-pohon yang tumbuh cepat dengan ukuran seragam dengan jarak kepadatan tinggi antara masing-masing pohon. Metode ini dianggap sebagai sistem yang ideal untuk pengelolaan biomassa karena tidak hanya menyediakan bahan baku yang teratur dan terbarukan, tetapi juga sejumlah besar layanan ekologis, termasuk penyerapan karbon.
Untuk memastikan produktivitas maksimum, kepadatan jarak tanam yang optimal, waktu panen dan kualitas biomassa yang dihasilkan, perlu dipahami dengan baik karakteristik setiap jenis pohon. Informasi tentang faktor-faktor ini yang masih kurang dipahami untuk jenis kaliandra.
Untuk mengisi kesenjangan pengetahuan tersebut, para peneliti bersama Puslitbang Kehutanan menanam kaliandra di lokasi penelitian seluas 1 hektar di Provinsi Jawa Barat. Pusat Penelitian Kehutanan Internasional dan World Agroforestry (CIFOR-ICRAF) dan Program Penelitian CGIAR tentang Hutan, Pohon, dan Agroforestri mendukung pengembangan artikel yang diterbitkan.
Lokasi penelitian dibagi menjadi empat plot dengan jarak tanam yang bervariasi antar individu pohon: 1 × 1,5 m; 1,5 × 1,5 m; 2 × 1,5 m; dan 2 × 2 m.
Tim peneliti memantau pertumbuhan pada umur 12, 18, dan 24 bulan di setiap plot. Tiga puluh pohon dibiarkan tumbuh untuk mengamati tingkat pertumbuhannya, dan 10 pohon lainnya ditebang pada masing-masing umur setelah ditanam. Pohon-pohon ditebang pada ketinggian 50 cm dari tanah dan tunggul dibiarkan tumbuh kembali. Setahun setelah penebangan, semak belukar yang dihasilkan diukur kemudian dipotong.
Sebagai perbandingan, tim peneliti mengukur pertumbuhan, produktivitas, dan nilai kalori, yang terakhir menjadi faktor penting dalam menentukan kesesuaian untuk digunakan oleh pembangkit listrik.
“Kami menemukan bahwa persaingan antar pohon sangat menentukan pertumbuhan dan produktivitas kayu primer,” kata Enny Widyati, Peneliti Senior di Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, sekaligus Penulis Utama laporan tim yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah, Forest Science and Technology, pada Februari 2022.
Secara khusus, mereka menemukan bahwa plot dengan jarak terpadat memiliki kandungan terendah untuk hampir semua jenis nutrisi, yang menyebabkan batang berdiameter lebih lebih kecil dan produktivitas biomassa lebih rendah.
Mereka juga menemukan bahwa produktivitas meningkat hingga 15 persen dengan dilakukan coppicing. Produktivitas kayu yang optimal berasal dari tegakan yang ditebang dengan jarak tanam 2 × 2 m, dan dipanen pada umur 18 bulan.
Ini menghasilkan jumlah rata-rata biomassa per pohon sebesar 7,2 kg kayu primer dan 8,22 kg kayu semak belukar.
Kandungan lignin sekitar 22 persen dan nilai kalor sekitar 18.807 kJ, yang sesuai dengan kebutuhan bahan baku untuk pembangkit listrik.
Panen pada umur 24 bulan tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan pada produktivitas, kandungan lignin, maupun nilai kalori.
Tim merekomendasikan bahwa untuk perkebunan energi kaliandra di masa depan, kepadatan 2.500 pohon per hektar dengan panen awal dilakukan pada 18 bulan adalah optimal. Pemanenan semak belukar berikutnya dapat dilakukan setiap 12 bulan, yaitu saat kualitas kayu paling mirip dengan kayu primer. Mereka juga merekomendasikan bahwa daun, cabang, dan batang yang dipotong harus dibiarkan di lokasi untuk mendukung pengembangan bahan organik tanah, yang memberikan nutrisi dan manfaat lain untuk pertumbuhan.
“Implikasinya menarik,” kata Himlal Baral, Ilmuwan Senior CIFOR-ICRAF dan Penulis Studi ini, “Terutama jika pohon kaliandra ditanam di lahan terdegradasi dan marginal.”
Sementara komitmen nasional dan global untuk restorasi lanskap hutan meningkat, keberhasilan sejauh ini dibatasi oleh kurangnya kasus bisnis yang solid atau kelayakan finansial.
“Perkebunan energi yang dikelola secara berkelanjutan bisa menjadi solusinya,” kata Baral.
* “Coppcing” adalah praktik menebang batang pohon muda hingga mendekati permukaan tanah. Pohon kemudian menumbuhkan beberapa batang baru yang dapat dipanen, dan kemudian bertunas, suatu siklus yang dapat berlanjut selama masa hidup pohon tersebut. Hanya spesies tertentu yang cocok untuk metode ini.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org