Ketika publik berbicara tentang deforestasi di Indonesia dan Malaysia, kelapa sawit sering menjadi kambing hitam. Tingkat permintaan minyak nabati serbaguna cukup tinggi di seluruh dunia yaitu menghasilkan produksi 87% dari pasokan global.
Perkebunan kelapa sawit skala industri telah berkembang di Indonesia dan Malaysia dalam beberapa dekade terakhir, seperti halnya perkebunan kayu pulp, terutama spesies akasia yang tumbuh cepat.
Timbul pertanyaan, apakah hutan-hutan tua benar-benar diratakan untuk membuka jalan bagi perkebunan kelapa sawit dan kayu pulp, atau apakah hutan tanaman dibudidayakan di lahan yang ditebangi di masa lalu untuk keperluan lain-lain?
Untuk menjawab pertanyaan itu, para ilmuwan di Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) menggunakan serangkaian gambar satelit untuk memetakan perluasan perkebunan kelapa sawit dan kayu pulp. Sebuah koleksi yang terbentang selama dua dekade, gambar tersebut memperlihatkan hilangnya hutan tua Kalimantan/Borneo, pulau hampir setengah dari perkebunan kelapa sawit skala industri dunia berada.
“Setiap tahun dari tahun 2000 hingga 2017, kami mengukur total kehilangan hutan, berapa banyak area perkebunan yang ditambahkan, dan berapa banyak hutan yang ditebangi dan dikonversi menjadi perkebunan di tahun yang sama,” kata David Gaveau, peneliti dan penulis utama. “Ini memungkinkan kami untuk menentukan jumlah hutan yang dibuka oleh perusahaan perkebunan.”
Hasilnya adalah gambaran terperinci tentang ekspansi perkebunan dan hubungan antara ekspansi perkebunan dan hilangnya hutan.
Timelapse deforestasi Kalimantan 2000-2017. Hijau menjadi putih = hilangnya hutan, hijau menjadi hitam = hutan ditebang dan dikonversi menjadi perkebunan pada tahun yang sama, hijau menjadi biru = hutan dirubah permanen menjadi bendungan PLTA.
Menurut riset, antara tahun 2000 dan 2017 ditemukan 6,04 juta hektar hutan tua telah hilang di Kalimantan, turun 14%. Sekitar setengah dari daerah itu akhirnya dikonversi menjadi perkebunan industri, dan 92% dari hutan yang dikonversi diganti dengan perkebunan dalam jangka waktu satu tahun setelah ditebangi.
Di periode yang sama, perkebunan industri meningkat secara keseluruhan sebesar 170%, atau 6,20 juta hektar, dimana 88% untuk kelapa sawit dan 12% untuk kayu pulp.
Indonesia memiliki 73% dari luas wilayah pulau Kalimantan dan 3,74 hektar lahan hutannya telah hilang. Indonesia juga memiliki perkebunan terbanyak dengan total 4,35 juta hektar. Wilayah pulau Kalimantan milik Malaysia jumlah hutan hilangnya lebih kecil yaitu sebesar 2,29 juta hektar hutan dan 1,85 juta hektar digunakan untuk perkebunan.
Namun, tidak semua pengembangan perkebunan mengakibatkan deforestasi.
“Banyak pengembangan perkebunan, terutama di Indonesia, telah terjadi di daerah yang dibuka sebelum tahun 2000, jauh sebelum perkebunan beroperasi,” kata Douglas Sheil, salah satu peneliti dari Universitas Ilmu Pengetahuan Norwegia. “Jadi jelas, tidak semua perkembangan perkebunan menyebabkan konversi hutan menjadi perkebunan.”
Indonesia dan Malaysia telah menetapkan standar keberlanjutan dalam beberapa tahun terakhir – Standar Indonesia untuk Minyak Sawit Berkelanjutan (ISPO) dan Standar Minyak Sawit Berkelanjutan Malaysia (MSPO) – serta telah menerbitkan Kebijakan-kebijakan untuk menekan laju konversi hutan menjadi perkebunan.
Di tahun 2011 Indonesia meluncurkan moratorium nasional bagi perkebunan kelapa sawit dan kayu pulp baru di hutan primer, yang telah diperpanjang beberapa kali sejak itu. Dan pada tahun 2016 Indonesia menerapkan moratorium emiter karbon terbesar yaitu lahan gambut.
Penguatan kebijakan hukum bagi legalitas lahan masyarakat di Indonesia juga dapat mempersulit perusahaan mendapatkan lahan untuk perkebunan, penulis studi menyarankan.
Penyebaran perkebunan menunjukkan dua puncak, satu di tahun 2009 dan satu lagi di tahun 2012. Para peneliti menemukan bahwa sejak 2012, terjadi penurunan terus-menerus dalam ekspansi perkebunan ke hutan tua.
Studi ini mengungkapkan beberapa detail yang bisa menjelaskan dinamika di balik naik turunnya tingkat ekspansi.
Setiap puncak ekspansi mengikuti satu tahun di mana ada puncak harga minyak sawit mentah. Harga itu telah turun sejak 2011, bertepatan dengan penurunan ekspansi perkebunan.
“Penurunan ekspansi perkebunan mungkin salah satunya karena upaya pemerintah mengatur ekspansi perkebunan ke daerah berhutan,” kata Gaveau. “Tetapi korelasi yang sangat kuat antara harga dan ekspansi menunjukkan bahwa kekuatan pasar adalah kekuatan pendorong utama yang mempengaruhi ekspansi.”
Kehilangan hutan juga mencerminkan faktor-faktor selain ekspansi perkebunan, seperti kebakaran hutan dan perluasan pertanian rakyat.
Tahun 2017, tren penurunan ekspansi perkebunan, serta pembukaan hutan untuk perkebunan, mencapai tingkat terendah sejak 2003. Harga minyak sawit yang rendah, peningkatan pencegahan kebakaran di Indonesia dan kondisi cuaca yang lebih basah semuanya mungkin berkontribusi pada rendahnya laju deforestasi tahun 2017.
“Tanah dan tenaga kerja juga menjadi semakin sulit untuk didapatkan dan dipertahankan di Kalimantan,” kata Gaveau. “Lebih jauh lagi, perhatian dari organisasi non-pemerintah dan jurnalis, tekanan dari konsumen dan negara konsumen, dan pergeseran ekspansi ke wilayah lain di dunia, seperti Papua, Afrika dan Amerika Selatan, mungkin semua faktor ini telah menghambat ekspansi perkebunan.”
Studi ini menunjukkan bahwa dimungkinkan untuk menggunakan citra satelit untuk menentukan bagaimana perubahan tutupan hutan dan perkebunan berkembang setiap tahun di konsesi tertentu, kata Sheil. Data-data tersebut dimasukkan dalam atlas daring, yang akan diterbitkan bulan depan, yang dapat menunjukkan hubungan antara tutupan hutan dan ekspansi konsesi serupa mungkin dengan yang ada di lapangan.
“Data ini dapat digunakan untuk meminta pertanggungjawaban perusahaan atas praktik industri mereka,” katanya. “Tantangannya adalah bahwa untuk sebagian kecil dari konsesi, kepemilikan tidak jelas.”
Memastikan data akurat tentang batas kepemilikan dan konsesi akan membuat pemantauan menjadi lebih mudah, tambahnya.
“Perusahaan yang baik,” kata Sheil, “tidak ada ruginya dan pasti ada banyak keuntungan dengan memastikan transparansi.”
Secara keseluruhan, kata para penulis, studi ini menunjukkan dasar untuk “optimisme yang berhati-hati” tentang kemajuan dalam memperlambat deforestasi di Kalimantan, tetapi “masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memastikan masa depan hutan di pulau Kalimantan.”
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org