Ilmuwan dan masyarakat di Indonesia bergabung dalam upaya restorasi dan pencegahan kebakaran
Para perempuan di Desa Dompas, provinsi Riau Indonesia bekerja keras menanam 10.000 bibit nenas hanya dalam lima hari. Aktivitas ini dilakukan untuk merestorasi kawasan lahan gambut terdegradasi sebagai bagian dari inisiatif wanatani dan pencegahan kebakaran.
Langkah yang dipimpin oleh Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) ini mendorong pelibatan masyarakat dalam penelitian lapangan dan mengajak masyarakat menikmati langsung hasil usahanya.
Temuan dari proyek ini dipublikasikan dalam sebuah buku berjudul “Pembelajaran dari Pencegahan Kebakaran dan Restorasi Lahan Gambut Berbasis Masyarakat,”. Buku ini merinci sembilan pembelajaran, antara lain adopsi model bisnis berkelanjutan dan memperkuat sistem pemantauan berbasis restorasi.
Penelitian mengungkap bahwa petani perlu memahami bahwa ekosistem pertanian yang sehat menghasilkan tanaman sehat, meski tradisi membuka lahan dengan cara membakar sudah dilarang. Proses ini mengarah pada kebakaran hutan dan lahan gambut, terutama pada periode musim kering panjang.
Metode ini tidak lagi menjadi opsi sejak pemerintah mulai melarang diterapkan setelah kebakaran hutan dan lahan 2015. Membuka lahan dengan membakar dipercaya meningkatkan nutrisi tanah, dan secara tradisi menjadi metode yang murah dan cepat dalam mempersiapkan lahan. Sejak 2015, masyarakat berjuang mencari alternatif. Oleh karena itu, memfasilitasi eksplorasi dan implementasi metode penyiapan lahan alternatif tanpa membakar makin dibutuhkan.
“Masyarakat sudah dilarang membakar, namun tidak ada contoh di lapangan, bagaimana menerapkan wanatani secara berbeda,” kata Herry Purnomo, ilmuwan CIFOR dan kepala proyek Riset Aksi Partisipatoris (PAR). “Inilah uniknya penelitian ini, masyarakat terlibat untuk membuktikan sendiri.”
Alih-alih membakar biomassa lahan gambut sebelum menanam, petani dapat menerapkan teknik manual tradisional tebang imas.
Petani lokal belajar metode tebang imas dalam membuka lahan, yaitu mencacah biomassa tersisa di lahan dan menabur herbisida dalam pengawasan. Meski lebih mahal dan menyita waktu, para petani mendapati teknik ini lebih ramah lingkungan.
“Kami mendiskusikan perbedaan dua metode membuka lahan ini dengan komunitas petani,” kata Nurul Qomar, profesor Pusat Kajian Kebencanaan Universitas Negeri Riau (UNRI). Nurul menjelaskan, meski sebagian orang membukan lahan secara manual dengan parang, sebagian lain menggunakan mesin berat, seperti yang sering digunakan oleh perusahaan besar.
Walaupun begitu, mesin besar tidak cocok dalam mengakibatkan penurunan tanah dan mengikis lapisan biomasa organik dari permukaan lahan gambut. Akibatnya, terjadi kehilangan signifikan biomassa organik yang diperlukan tanaman untuk tumbuh.
Selain di Desa Dompas Kabupaten Bengkalis, penelitian juga dilakukan di Kabupaten Siak dan Pelalawan, bekerja sama dengan Masyarakat Peduli Api (MPA), pemerintah desa dan kelompok komunitas lain.
Kerjasama internasional
Antara 2018 dan 2019, selama setahun setengah Riset Aksi Partisipatoris (PAR) dilakukan bersama CIFOR, UNRI, Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization (CSIRO) dan Universitas Gadjah Mada. Program ini didukung oleh Temasek Foundation dan dikelola oleh Singapore Cooperation Enterprise.
Kebakaran hutan dan lahan besar terjadi di Indonesia pada 2015 memicu krisis pencemaran udara di Asia Tenggara. Kondisi kering dan mundurnya musim hujan berkontribusi pada kebakaran bentang alam dan asap yang menurunkan kualitas udara dan kesehatan jutaan orang. Peneliti CIFOR menemukan, peristiwa tersebut menghasilkan emisi karbon sedikitnya 289 juta ton, dan emisi karbon dioksida ekuivalen sedikitnya 1,2 miliar ton.
Sejalan dengan beragam jenis bencana yang dihadapi secara regional, komunitas di Asia perlu lebih bersiap, kata Direktur Senior Temasek Foundation (TF) Joanne Ng. Ia menambahkan, memperkuat pertukaran internasional dan meningkatkan kapabilitas regional di area siap-bencana menjadi salah satu fokus kunci bagi Temasek Foundation.
“Kami berharap temuan penelitian dan model berbasis-masyarakat dari program ini memberi manfaat bagi masyarakat di wilayah Domas dan juga menjadi rujukan bermanfaat bagi komunitas lain yang menghadapi isu serupa,” katanya.
Selain mempelajari metode baru membuka lahan, masyarakat juga meningkatkan konstruksi pembendungan kanal yang menjaga tinggi air di lahan gambut agar tetap lembah atau basah. Dalam membantu restorasi, mereka menanam spesies kayu keras seperti meranti-rawa (Shorea spp.), dan gaharu (agarwood; Aquilaria spp).
Mereka juga terlibat dalam aktivitas ekonomi lain seperti budi daya ikan, tumpang sari kopi dan karet, menanam kelapa hibrida di kebun warga dan memperkuat kelembagaan komunitas dan kelompok petani.
Kata kuncinya adalah partisipasi
Tim peneliti menemukan bahwa masyarakat akan memetik manfaat dan pengembangan pengetahuan dan perubahan perilaku secara simultan melalui rangkain proses saling belajar dengan komunitas yang bertindak sebagai mitra penelitian.
Danie Mendham, kepala proyek CSIRO dalam tim penelitian menyatakan, “Larangan presiden untuk membakar merupakan faktor utama menurunnya kebakaran oleh masyarakat hingga saat ini, namun ini saja belum berkelanjutan. Perlu dukungan perubahan perilaku, agar masyarakat memiliki preferensi menerapkan praktik non-api.”