Bagikan
0

Bacaan terkait

Salah satu program pemerintah yang tengah berlangsung yaitu memberikan akses 12,7 juta hektar bagi masyarakat yang penghidupannya bergantung pada hutan melalui izin perhutanan sosial. Program ini dimulai tahun 2014 dan dijadwalkan selesai tahun 2019 di bawah arahan pemerintahan Presiden Joko Widodo diharapkan membawa lebih banyak keadilan dalam pemanfaatan sumber daya hutan.

Namun program ini berkembang lebih lambat dari yang direncanakan. Ada lima jenis hutan yang masuk dalam program yaitu hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan desa, kemitraan kehutanan dan hutan adat. 20 Juli 2018 lalu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) baru mengeluarkan izin untuk 1,75 juta hektar dan melibatkan partisipasi dari sekitar 395.000 rumah tangga – sekitar 15 persen dari target keseluruhan – pendapat dari Bambang Supriyanto, direktur jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL).

Perhutanan sosial merupakan salah satu cara pemerintah menangani konflik tenurial. “Program ini adalah jawaban atas ketidakadilan dalam bidang kehutanan, sebagaimana dinyatakan dalam Nawacita,” kata Supriyanto, mengacu pada agenda pembangunan sembilan prioritas pemerintah untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia.

Selain isu angka distribusi izin yang tertinggal, isu lain yang menjadi perhatian para peneliti terfokus pada kemajuan program seperti perorangan dan komunitas yang telah menerima izin namun belum memperoleh manfaat seperti yang diharapkan. Banyak petani pemegang izin tidak melaporkan peningkatan penghidupan signifikan dan keuntungan ekonomi –  seperti janji awal yang menarik masyarakat untuk berpartisipasi dalam program.

Guna mengatasi tantangan dan kendala yang saat ini menghambat pelaksanaan reformasi penguasaan hutan pasca-lisensi termasuk guna memberi arahan rekomendasi di masa depan, Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) baru-baru ini menyelenggarakan Lokakarya Nasional bertajuk Reformasi Penguasaan Hutan di Jakarta 24 Juli lalu sebagai bagian Studi Komparatif Global Reformasi Kepemilikan Hutan (GCS-Tenure). Proyek riset ini mengkaji pelaksanaan reformasi penguasaan hutan dan pencapaian untuk penguasaan lahan di Peru dan Uganda termasuk di tiga provinsi di Indonesia yaitu Kalimantan, Maluku dan Lampung.

BERBAGI PEMBELAJARAN DARI LAMPUNG

Provinsi Lampung sejauh ini telah menjadi contoh kesuksesan dalam hal peningkatan pengelolaan hutan dan penghidupan bagi masyarakat lokal. Provinsi ini sejak awal telah terlibat dalam gerakan perhutanan sosial nasional.

Kepala kantor kehutanan propinsi Lampung, Syaiful Bachri – saat ini amat percaya bahwa kehutanan sosial adalah solusi bagi konflik tenurial – merujuk hasil lokakarya tentang bagaimana tingginya laju pertumbuhan penduduk di provinsi Lampung berimbas pada peningkatan permintaan lahan untuk tempat tinggal dan budidaya tanaman.

“Hal ini mengarah pada kepemilikan ilegal atas kawasan hutan negara, jadi kami harus mencari solusi terbaik,” katanya. “Sehingga  di tahun 1995, kami mencoba mengeluarkan izin perhutanan sosial sementara.”

Ketika hasil positif terlihat, perhutanan sosial di provinsi ini diperluas. Pada tahun 1998, menteri kehutanan mengeluarkan dekrit pertama tentang pemberian hak bagi masyarakat di propinsi Lampung untuk mengelola hingga 29.000 hektar hutan provinsi bagi pengelolaan agroforestri Damar (Kawasan Dengan Tujuan Istimewa [KDTI]). Dari ini tercipta peluang penghasilan pendapatan yang signifikan kepada masyarakat. Saat ini luas total lahan yang ditetapkan untuk berbagai peruntukan perhutanan sosial adalah 198.000 hektar, dan lebih dari 83.000 masyarakat berpartisipasi (tidak ada hutan adat/ hutan tradisional di Lampung). “Kami memelopori kemitraan konservasi,” kata Bachri.

Provinsi Lampung telah merasakan banyak dampak positif program termasuk peningkatan tutupan hutan, ketahanan pangan, dan peningkatan pendapatan. Terima kasih atas dukungan yang diberikan oleh para pemangku kepentingan seperti pemerintah provinsi Lampung, Kelompok Kerja Perhutanan Sosial, Badan Layanan Umum KLHK dan organisasi non-pemerintah (LSM). Selanjutnya provinsi ini tetap fokus memastikan bahwa petani yang telah menerima izin dapat berhasil, dan menghilangkan prasangka bahwa perhutanan sosial hanyalah cara untuk mendistribusikan tanah. “Kenyataannya adalah banyak petani berhenti bekerja setelah mereka memperoleh izin, padahal sebenarnya itu hanya sebuah permulaan,” kata Bachri.

Pelajaran penting ini berguna untuk dibagikan dan dikerjakan di provinsi lain-lain. Dede Purwansyah, direktur LSM Sampan – saat ini kami membantu 50 desa di provinsi Kalimantan Barat, setuju bahwa mengkomunikasikan tujuan kehutanan sosial kepada masyarakat lokal adalah vital.

“Mempersiapkan masyarakat untuk bergabung dengan program ini amat penting,” katanya. “Ketika kami mendorong (usaha) perlebahan, kami mengatakan lebah membutuhkan bunga untuk diberi makan, dan bunga akan membuat desa itu indah. Dan orang-orang memahami itu. ”

Bekerja di desa-desa yang ia bantu menunjukkan kesuksesan. Setelah satu tahun, pendapatan tahunan rata-rata setiap desa meningkat dari Rp. 2,5 juta ($ 170) menjadi lebih dari Rp. 40 juta ($ 2.730), dari pengembangan dan produksi kepiting, madu, dan arang tempurung kelapa.

DUKUNGAN SOSIAL

Bagi masyarakat lokal, hak kepemilikan penuh dan, di beberapa daerah, pengakuan atas lembaga adat mereka adalah kuncinya.

“Ketika kami mulai menjelaskan perhutanan sosial di Maluku, pada awalnya banyak orang menolaknya karena mereka pikir pemerintah akan mengambil tanah mereka,” kata Nining Liswanti, peneliti CIFOR dan penyelenggara lokakarya.

Perbedaan kendala dapat ditemukan di Kalimantan di mana perkebunan kelapa sawit di provinsi ini semakin mendominasi bentang alam. “Dari riset kami, pada tahun 2015, sejumlah petani yang telah menerima izin tidak tahu apa yang harus dilakukan sesudahnya, sehingga mereka menjual tanah mereka ke perkebunan kelapa sawit setelah beberapa tahun.”

Tatanan mekanisme pendukung mengelilingi program perhutanan sosial untuk mengatasi tantangan dan membantu memastikan program mencapai dampak yang diinginkan.

“Dalam beberapa kasus, tantangan ini disebabkan oleh kurangnya fasilitasi bagi masyarakat untuk melaksanakan perhutanan sosial setelah penerbitan izin,” kata Liswanti. “Banyak masalah dalam penerapan perhutanan sosial dapat diselesaikan dengan meningkatkan anggaran dan meningkatkan bantuan masyarakat.”

KLHK menyediakan akses kepada petani-pemegang izin terhadap fasilitas keuangan, dan didanai oleh anggaran negara. “Sebagian besar klien yang kami layani tidak paham soal perbankan,” kata Kepala Divisi Analisis Pendanaan, Djoko Purnomo. “Kami tidak melakukan pemeriksaan latar belakang bagi para utang luar biasa,” katanya. “ Kami lebih mementingkan apakah mereka memiliki izin dan ingin menanam.”

Menurut Amad Erfan dari kelompok petani Wadah Rembug Petani Hutan, yang membantu petani Lampung memperoleh izin selama hari-hari merintis program, persyaratan rumit dalam proses izin sering menjadi batu sandungan.

“Jika Anda memberi tahu para petani untuk membuat undang-undang dan anggaran rumah tangga organisasi,” katanya, “maka mereka akan menyerah sebelum mulai menanam. Maka tidak ada yang dilakukan. ”

KLHK telah mengembangkan suatu lembaga  untuk membantu para wiraswasta perhutanan sosial melalui manajemen pembangunan bisnis dan sumber daya manusia. Namun, sistem pendukung itu sendiri menghadapi tantangan internal. “Dalam dua tahun terakhir, antara tahun 2016 dan 2018, jumlah pendamping menurun,” kata Mariana Lubis dari Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia KLHK. “Saat ini hanya 15 persen dari jumlah total pendamping yang kami butuhkan. Ini disebabkan oleh peraturan perekrutan. ”

Guna mengawasi program nasional ini, KLHK mengembangkan sistem navigasi dan pemantauan SIMPING berbasis Android, yang akan segera tersedia bagi 33.000 kelompok petani hutan. Bagian dari SiNav, sistem informasi dan navigasi kehutanan sosial yang lebih luas, SIMPING memungkinkan pengguna untuk melihat di mana pendamping yang terdaftar berada dan ditempatkan dengan informasi dimana pemegang izin berada, sehingga menunjukkan distribusi pendamping.

Lokakarya ini akhirnya mengidentifikasi tiga kunci keberhasilan program perhutanan sosial: pengaturan kelembagaan dan organisasi yang lebih selaras antara negara, masyarakat dan perusahaan; peningkatan partisipasi masyarakat lokal melalui pemberian insentif yang lebih baik.

“Setelah menerima izin perhutanan sosial, fokusnya harus pada pengembangan bisnis yang akan berkontribusi pada keberhasilan perhutanan sosial,” kata Herudoyo, direktur Perhutanan Sosial dan Pengembangan Usaha Hutan Adat yang menetapkan bahwa ini memerlukan upaya untuk meningkatkan kapasitas bisnis dan kewirausahaan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS).

Pertama dan paling utama, hal ini termasuk melibatkan penduduk setempat – terutama perempuan, karena mereka bagian integral untuk menghubungkan tujuan perhutanan sosial kembali ke kebutuhan rumah tangga – dalam proses pengambilan keputusan. Efran mengatakan ia telah menyaksikan usaha-usaha penghijauan gagal berkali-kali karena penduduk setempat tidak terlibat dalam proses perencanaan dan pemilihan jenis-jenis pohon yang mempengaruhi hasil panen.

“Petani memahami cara terbaik menanam biji kopi,” katanya. “Ketika kopi tidak merugikan, maka pohon-pohon juga aman.”

Penelitian ini merupakan bagian dari Studi Komparatif Global tentang Penguasaan Lahan Hutan (GCS-Tenure) yang didukung oleh Dana Internasional untuk Pembangunan Pertanian, Uni Eropa, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB dan Fasilitas Lingkungan Global.

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Nining Liswanti di n.liswanti@cgiar.org.
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org