Bagikan
0

Sebuah perjalanan berliku ditempuh dari Bogor, Jawa Barat ke Honitetu di bagian timur laut jauh Provinsi Maluku, Indonesia. Tak ada yang mengenal daerah ini sebaik Nining Liswanti, seorang peneliti yang telah melakukan banyak perjalanan dari kantor pusat Pusat Kehutanan Internasional (CIFOR) ke desa terpencil di Laut Banda yang menjadi salah satu lokasi utama pekerjaan lapangannya.

Liswanti adalah Koordinator Indonesia untuk Studi Komparatif Global tentang Reformasi Tenurial Hutan yang tengah melakukan pengumpulan data dari Indonesia, Peru dan Uganda terkait hubungannya antara hak atas lahan, konservasi dan penghidupan.

Hasil riset menghasilkan dalam bentuk aspirasi masyarakat bagi reformasi tenurial untuk pengakuan tanah adat beserta hak untuk mengelolanya berdasar tradisi kuno.

Kabar Hutan mewawancarai Liswanti dalam sebuah perjalanan belum lama ini ke Maluku untuk mendengar pengalamannya melakukan penelitian di pinggiran kepulauan Indonesia yang menakjubkan itu.

   Pemandangan dari udara desa Honitetu. Kabupaten Seram Barat, Maluku, Aris Sanjaya/CIFOR

Nining Liswanti, peneliti

Bagi saya ada banyak pengalaman menarik selama pekerjaan lapangan saya di Honitetu. Pertama karena lokasi penelitian yang sangat terpencil, dan aksesnya sangat sulit. Setelah kami berkendara dari Bogor dan terbang dari Jakarta, kami harus naik ferry dari Ambon ke Pulau Seram, lalu naik mobil dan dilanjutkan dengan sepeda motor.

Bagian sulitnya adalah ketika kami harus naik motor, karena kami tidak tahu seperti apa jalan yang bakal dilalui. Dari jalanan utama ke Desa Honitetu, ada banyak jalan terjal yang harus dilewati, dan saat musim hujan ada banyak lubang di jalan. Jadi saat kami mengendarai motor, saya hanya bisa berdoa semoga segera sampai tujuan secepat mungkin! Ketika jalan benar-benar sangat jelek, kami bahkan tidak bisa melewati jembatan dan harus berjalan kaki memutar sejauh beberapa kilometer sambil membawa seluruh perlengkapan kami.

Lalu saat kami hendak pergi ke cagar alam atau hutan di mana penelitian dilakukan, penduduk setempat mengatakan ‘Dekat saja, hanya 10 menit’. Faktanya ketika sudah berjalan, sepertinya kami tidak akan pernah sampai tujuan! Agaknya 10 menit bagi penduduk Honitetu mungkin berarti sejam atau bahkan dua jam. Jadi jika mereka mengatakan butuh waktu sejam, kami menduga setidaknya waktu sebenarnya mungkin sekitar tiga jam!

   Penumpang turun dari kapal feri di pelabuhan Waipirit, Kabupaten Seram Barat, provinsi Maluku Ulet Ifansasti/CIFOR

Namun yang paling mengesankan tentang Maluku adalah karakter orang-orangnya. Mereka terkenal ekspresif saat berbicara dan sangat antusias. Ketika mereka bicara, kadang terdengar seperti sedang marah, namun kenyataannya mereka adalah orang-orang yang sangat baik hati.

Mereka adalah tuan rumah yang hebat, dan sangat memperhatikan orang-orang yang datang dari manapun. Ketika kami datang ke desa mereka, sebelumnya mereka mengadakan pertemuan internal. Mereka berusaha sebaik mungkin memberikan yang terbaik dalam segala hal, akomodasi terbaik, makanan terbaik – dan makanan di Maluku selalu lezat. Makanan di sana segar karena langsung didapat dari laut, hutan atau kebun.

   Seorang wanita menjual kenari di pelabuhan Waipirit, Kabupaten Seram Barat Ulet Ifansasti/CIFOR
   Seorang pria membawa babi hutan dengan motornya di desa Honitetu Ulet Ifansasti/CIFOR

Makanan di sana segar karena langsung didapat dari laut, hutan atau kebun.

Nining Liswanti, peneliti CIFOR

Pengalaman lucu yang saya alami di sana adalah ketika kami melakukan sebuah aktivitas, mereka berebut untuk terlibat dalam penelitian kami. Misalnya, jika kami membatasi untuk mewawancarai 55 keluarga saja, ternyata ada 100 keluarga yang bersedia turut serta. Kemudian mereka yang belum diwawancarai mendatangi kami dan bertanya, ‘Mengapa kalian tidak melibatkan kami? Apakah kami berbuat kesalahan? Kami juga ingin terlibat di dalamnya.’

Mengingat ini adalah proses penelitian partisipatoris, dan karena kami berusaha terbuka dengan siapapun, kami berusaha sebisa mungkin mengakomodirnya. Jadi ketika ada penduduk yang belum terlibat dan ingin ambil bagian dalam aktivitas, kami memastikan untuk melibatkan mereka dalam aktivitas kami berikutnya.

   Nining Liswanti, saat pertemuan GCS-Tenure dengan masyarakat di desa Honitetu, Kabupaten Seram Barat, Maluku Ulet Ifansasti/CIFOR

Diproduksi secara kolaboratif dengan Ulet Ifansasti (fotografi), Indrawan Suryadi  (kartografi), Aini Naimmah (transkripsi), Budhy Kristanty (produksi) dan masyarakat Desa Honitetu, Maluku.

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Esther Mwangi di E.Mwangi@cgiar.org atau Nining Liswanti di N.Liswanti@cgiar.org.
Riset ini didukung oleh Komisi Eropa, Global Environment Facility (GEF), International Fund for Agricultural Development (IFAD), dan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO).
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Topik :   Restorasi Tenurial

Lebih lanjut Restorasi or Tenurial

Lihat semua