Wawancara

Mengukir jejak: Bagaimana pergerakan manusia membentuk bentang alam

Ilmuwan Houria Djoudi mengupas pentingnya mobilitas dan migrasi
Bagikan
0

Saat populasi bergerak, kita cenderung berasumsi mengenai hal yang buruk. Perang, kemiskinan atau degradasi lingkungan menjadi kambing hitam pertama. Namun, penelitian di Sahel menunjukkan bahwa pola mobilitas lebih kompleks, sekaligus pula mengungkap contoh positif, populasi yang secara aktif memilih bergerak, karena dibentuk sekaligus membentuk bentang alam menjadi lebih baik.

Fenomena mobilitas dan migrasi bukan hal baru, dan telah lama menjadi hal biasa di wilayah seperti hutan lahan kering Sahel, kata Houria Djoudi, ilmuwan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional  (CIFOR).

“Di banyak tempat mobilitas selalu ada. Masyarakat telah mengelola bentang alam mereka, sekaligus pula penghidupan mereka dengan melakukan mobilitas,” kata Djoudi.

“Hubungan antara bentang alam dan migrasi saling memengaruhi – bukan sesuatu yang searah. Masyarakat bermigrasi juga disebabkan oleh alasan-alasan yang terjadi di dalam bentang alamnya. Mereka juga mengubah bentang alam menggunakan kemampuan dan uang yang mereka dapat melalui migrasi,” tambahnya.

Menjelang Forum Bentang Alam Global di Bonn, Jerman, pekan ini, Kabar Hutan berkesempatan mendengar pandangan Djoudi mengenai pentingnya mobilitas dan migrasi, serta apa yang didapat dari penelitian yang tengah dilakukan terkait hubungan keduanya pada bentang alam.

Apakah mobilitas ini fenomena baru, atau sudah berlangsung lama?

Di banyak wilayah dan budaya, sebenarnya mobilitas itu hal yang biasa – bagaimana masyarakat mengelola penghidupan dan juga bentang alamnya. Jika kita lihat Sahel, misalnya, para penggembala selalu bergerak dengan hewan ternaknya. Di bentang alam ini, terjadi variabilitas besar sebaran sumber daya pada sebagian besar waktunya, terutama hujan. Ini merupakan strategi adaptif terhadap variabilitas iklim itu, selain juga strategi penghidupan masyarakat dalam mendiversifikasi penghidupannya.

Apa hubungannya dengan Bentang Alam?

Jika kita melihat penelitian mengenai migrasi yang telah dilakukan, sebagian besar berkaitan dengan isu dari sudut pandang ekonomi. Hanya sedikit penelitian, atau proyek, yang mengaitkan migrasi dengan perubahan lingkungan, migrasi dengan perubahan sosial dan dengan perubahan lingkungan yang terjadi dalam bentang alam. Ini yang kita coba lakukan di CIFOR, mengangkat mobilitas dan migrasi ke tengah perdebatan mengenai perubahan dalam bentang alam. Kita ingin berkontribusi untuk lebih mengintegrasikan mobilitas manusia sebagai proses inheren dalam dinamika bentang alam lebih luas.

Kita mendapati, misalnya, di Burkina Faso masyarakat berpindah dari utara ke selatan untuk mencari peluang bertani karena kesuburan tanah di utara tidak sebaik di selatan. Bentang alam membentuk pergerakan ini. Namun pada saat yang sama, kita mendapati masyarakat mengirimkan remitansi, mengirim uang dan berinvestasi dalam strategi atau aktivitas berbasis lahan. Mereka membentuk bentang alam di desa asal.

Jika kita memandang migrasi sebagai proses pasif, reaktif dan konfliktual, bahwa masyarakat seperti terpaksa untuk bergerak, khususnya di Sahel, alasan itu tidak terbukti. Masyarakat tidak hanya bereaksi terhadap sesuatu untuk bermigrasi. Migrasi merupakan bentuk diversifikasi penghidupan, sebentuk strategi. Masyarakat melakukannya secara aktif dan sebagai sebuah pilihan, yang terjadi di level rumah tangga atau bahkan sering kali di level komunitas.

Dapatkah diberikan contoh dari penelitian Anda?

Salah satu kisah di Burkina Faso, kita mendapati perempuan-perempuan penggembala migran yang pindah ke sebuah desa di selatan Burkina Faso. Penggembala perempuan biasanya tidak memiliki akses pada jenis pohon sumber makanan tertentu, seperti Nere. Namun melalui survei, kita mendapati mereka menjual produk dari pepohonan ini. Ketika memeriksa data lebih dalam, kita temukan, karena para penggembala perempuan ini lebih cekatan memanjat pohon dibanding perempuan asli, mereka membantu memetik buah-buahan di atas pohon. Hal yang tidak dilakukan perempuan penduduk asli. Di sini, kita dapati pola umum, bagaimana kapabilitas, pengetahuan dan kemampuan menjadi penting alam konteks migrasi.

Cerita seperti ini penting karena menunjukkan pada kita bagaimana migrasi tidak selalu soal konflik. Seringkali, migrasi juga mengenai penguasaan kemampuan – memiliki kemampuan baru dan berbeda – dan memanfaatkan kemampuan tersebut untuk mengelola bentang alam dengan lebih baik.

Apa yang akan Anda sampaikan pada Forum Bentang Alam Global?

Pada GLF, saya akan berbicara mengenai proyek yang sedang kita lakukan di Burkina Faso dan mengangkat wacana migrasi jenis ini, atau mendorong isu migrasi ke tengah perdebatan. Sebenarnya, migrasi sudah ada di posisi itu, namun tampaknya, seperti yang saya katakan sebelumnya, hanya sebagai sebuah kekecualian, bukan kebiasaan. Dan harapan kami dalam proyek ini adalah untuk lebih memahami: Bagaimana migrasi berkontribusi pada perubahan dalam bentang alam?

Terdapat pula dimensi gender, mengingat migrasi adalah juga perubahan demografi. Kita mendapati desa, yang misalnya, seluruh lelaki muda pergi, dan meninggalkan perempuan dan anak-anak di desa tersebut. Kita ingin memahami: Apa artinya ini dalam pengelolaan sumber daya, dalam hal peran gender dan relasi gender? Kemudian, secara khusus, apa yang terjadi ketika para perantau kembali dengan pengalaman dan kemampuan berbeda. Inilah isu-isu yang ingin saya sampaikan pada GLF.

Apa yang diharapkan ingin dicapai melalui penelitian Anda, dan melalui paparan Anda di GLF?

Proyek ini masih berlangsung, namun satu hal yang kita coba lakukan adalah menciptakan debat di tingkat nasional. Seperti, mengaitkan realitas lokal migrasi dan remitansi, serta mengangkat temuan ini ke tingkat nasional, untuk kemudian membangun debat mengenai bagaimana kebijakan – khususnya kebijakan yang terkait pada lingkungan, perencanaan lahan, pemanfaatan lahan. Bagaimana agar temuan ini dapat benar-benar menyempurnakan atau meningkatkan pengambilan keputusan di seputar bentang alam secara umum.

Fokusnya adalah benar-benar untuk lebih membawa para pengambil kebijakan di level nasional mengintegrasikan, bukan hanya migrasi tetapi juga mobilitas secara umum dalam pengambilan keputusan mereka dalam hal bentang alam.

Saya berharap pada GLF nanti tercipta hubungan dengan orang-orang yang juga bekerja di topik ini, selain juga karena audiens-nya beragam – para pengambil kebijakan, pemangku kepentingan, dan donor – saya ingin membangun debat di seputar peran migrasi dan mobilitas dalam mengelola bentang alam. Dan inilah tujuannya.

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Houria Djoudi di h.djoudi@cgiar.org.
Riset ini didukung oleh Penelitian ini didukung oleh bantuan Inggris dari pemerintah Inggris.
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org