Dalam dua dekade terakhir, hak masyarakat di negara berkembang untuk mengelola hutan makin kuat, terbawa oleh harapan akan hasil yang lebih baik dalam hal tata kelola, konservasi dan penghidupan.
Memang, hasil penelitian menunjukkan hal yang menggembirakan. Program penelitian Keadilan, Gender dan Tenurial di Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) menemukan bukti signifikan dampak positif terhadap lingkungan, sosial dan ekonomi terkait penyerahan hak tenurial di berbagai negara.
Pekan lalu, Direktur Program Steven Lawry memberikan webinar mengenai contoh-contoh dari studi kasus manfaat reformasi tenurial hutan di Nepal, Meksiko dan Guatemala.
Selengkapnya tentang webinar di sini.
Pekan ini, Ia berada di Petén, Guatemala, untuk mengikuti lokakarya yang mengupas kemajuan program pelimpahan hak konsesi hutan jangka panjang pada masyarakat di Cagar Biosfer Mayan Guatemala. Ia memberikan waktu untuk berbagi pandangannya dengan Kabar Hutan, dan membicarakan keberhasilan dan tantangan bagi langkah maju reformasi tenurial.
Ada tren menuju reformasi tenurial di negara berkembang dalam dua dekade terakhir. Apa pemicu perubahan ini?
Pemerintah di negara berkembang, dan juga di negara-negara utara, cenderung menguasai hutan atas nama publik, dan terjun secara langsung mengelola hutan untuk berbagai tujuan publik, antara lain untuk konservasi, rekreasi, dan untuk mendapatkan pemasukan dengan menyewakan hutan pada perusahaan yang bergerak di berbagai tujuan komersial.
Reformasi mengangkat argumen bahwa masyarakat lokal bergantung-hutan, termasuk masyarakat adat, seharusnya bisa mendapatkan bagian signifikan dalam memanfaatkan dan mengelola hak yang saat ini dipegang negara. Mereka berpendapat, dari banyak sisi, hasil pengelolaan hutan akan lebih baik – yaitu, menurunnya laju deforestsi dan lebih terlindungnya keragaman hayati – dan dengan hak lebih jelas, masyarakat akan mengembangkan bentuk baru investasi untuk pengusahaan berbasis hutan yang mampu mengembangkan pemasukan lokal.
Reformasi bentuk apa yang diintroduksikan di Nepal, Meksiko dan Guatemala, berdasarkan penelitian Anda?
Masing-masing negara tersebut telah menjalankan reformasi tenurial hutan dalam beberapa dekade terakhir ini, dan setiap negara itu mengadopsi pendekatan berbeda, bagaimana hak diserahkan.
Nepal menyerahkan sejumlah hak hutan pada Kelompok Masyarakat Pengguna Hutan pada 1999. Hari ini, terdapat 20.000 kelompok terdaftar di Nepal, yang mengelola sekitar seperempat dari total luas lahan. Hasil dari reformasi ini, bukti menunjukkan bahwa tutupan hutan meningkat, dan ratusan perusahaan baru berbasis hutan bermunculan. Kelompok masyarakat yang lebih miskin diberikan persentase pemasukan dari pengusahaan hutan. Persentase ini merupakan bagian dari pengakuan atas karakter sosial kepemilikan bersama: seluruh penduduk berbagi kepemilikan lahan atau hutan, semuanya harus mendapat manfaat, melalui lapangan kerja atau dari dividen dari sewa atau pembayaran dari perusahaan.
Meksiko mengadopsi reformasi regulasi hutan pada 1986. Reformasi tersebut menempatkan hutan lokal di bawah kewenangan langsung ejidos, badan pengelola lokal, yang sebelumnya telah memiliki kewenangan dalam tata kelola lahan pertanian masyarakat. Mengkaitkan hak hutan dengan hak lahan menjadi inovasi kunci reformasi Meksiko. Otoritas hutan tetap memiliki peran signifikan sebagai regulator, namun peran ini berada di dalam batas baru intervensi negara yang ditetapkan oleh hak legal atas hutan yang dipegang ejidos.
Guatemala memilih pendekatan berbeda. Pada paruh-1990, Guatemala melimpahkan hak atas hutan pada masyarakat di wilayah Petén, di bagian utara negara itu. Mirip model konsesi kayu komersial, masyarakat diberikan hak guna atas lahan hutan dan diizinkan mengambil kayu bernilai tinggi selama 25 tahun. Syaratnya adalah bahwa penebangan dilakukan secara berkelanjutan dan konsisten dengan rencana tata kelola tersertifikat dari Dewan Penjaga Hutan (Forest Stewardship Council/FSC).
Petén di Guatemala dipandang sebagai kisah sukses masyarakat kehutanan. Dapatkah diceritakan alasannya?
Secara umum, hasil pendekatan konsesi masyarakat ini tampak baik. Laju deforestasi dalam wilayah konsesi menurun dibanding wilayah sekitar. Lapangan kerja meningkat, dan masyarakat menerima dividen penjualan kayu.
Sumber penghasilan juga makin beragam. Keluarga yang tinggal di area konsesi, atau siapa pun yang berkontribusi dalam konsesi, menerima penghasilan dari perburuan bergilir, panen hasil hutan bukan kayu, pertanian, pekerjaan hilir pertanian, dan tentu saja dividen dari penjualan kayu.
Keragaman sumber penghasilan berkontribusi pada stabilitas penghasilan dan keamanan pangan jangka panjang. Masyarakat hutan mengambil alih atau memperkaya beberapa peran yang biasanya dilakukan negara, termasuk memelihara jalan, pencegahan kebakaran, pelayanan kesehatan dan mendorong partisipasi kehadiran di sekolah.
Konsesi masyarakat di Petén akan diperbarui dalam beberapa tahun ke depan, dan Anda akan menjadi bagian sebuah lokakarya di Flores pada 7-8 September, untuk membahas pilihan kebijakan ke depan. Apa yang dinyatakan penelitian?
Temuan penelitian menggarisbawahi keberlangsungan sosioekonomi dan lingkungan dari model konsesi. Negara lain, antara lain Indonesia dan Kolumbia tengah mempertimbangkan bagaimana model tersebut diadopsi dalam konteks serupa di negara mereka.
Konsesi tetap menghadapi banyak tantangan. Spesies utama kayu bernilai tinggi, mahoni dan cedar, tumbuhnya lama, dan jeda periode panen berarti potensi bagi rendahnya penghasilan. Masyarakat bekerja sama dengan investor dan penasihat non-profit untuk mengembangkan produk baru berbasis hutan, seperti Zate, sawit hias, dan mengkaitkan produk tersebut pada rantai suplai regional dan global.
Langkah ini menunjukkan hasil yang menjanjikan, namun jelas, bahwa dana hibah jangka panjang diperlukan untuk membantu banyak perusahaan hutan mencapai kemapanan finansial. Tampak bahwa dukungan teknis dan advokasi dari asosiasi masyarakat hutan di Peten (Association of Community Forests of Petén/ACOFOP) memainkan peran kunci dalam menciptakan lingkungan kebijakan dan legal yang mendukung. Ini merupakan kontribusi penting.
Serupa pula, organisasi seperti Aliansi Hutan Hujan (Rainforest Alliance), Masyarakat Konservasi Alam Liar (Wildlife Conservation Society), dan kelompok internasional dan lokal telah memberikan investasi besar dalam peningkatan kapasitas. USAID memberikan dukungan finansial untuk beberapa inisiatif peningkatan kapasitas penting dan inisiatif pengembanan pasar dalam 20 tahun terakhir. Pembelajarannya adalah bahwa berbagai bentuk investasi modal sosial membutukan prakondisi untuk membangun arsitektur sosial, organisasional, pasar dan legal dalam perusahaan sosial agar berhasil seperti konsesi masyarakat Petén.
Memahami faktor keberhasilan konsesi dan tantangan yang masih ada tersebut akan dibahas dalam lokakarya. Rekan-rekan saya di CIFOR dan Bioversity International terkejut dengan tingginya minat untuk mengikuti lokakarya dari para pejabat pemerintah Guatemala (sekitar 20 pejabat akan hadir dari Kota Guatemala), dan dari LSM internasional, serta para peneliti lokal dan internasional.
Ini akan menjadi pengakuan atas berharganya hasil penelitian sebagai dasar dalam membentuk kebijakan masa datang untuk mewujudkan konsesi hutan masyarakat. Para mitra melihat model yang menjanjikan, dan ingin tahu bagaimana agar keberhasilan yang telah ada bisa lebih ditingkatkan. Tak kalah penting, ACOFOP menjadi ko-sponsor lokakarya ini.
Bagaimana Anda melihat perkembangan reformasi tenurial pada dekade mendatang, hasil apa yang bisa diharapkan?
Cukup menjanjikan, meski masa depan penyerahan hak hutan masih belum pasti. Ada perbedaan kecepatan dan pendekatan reformasi di berbagai wilayah.
Beberapa negara Amerika Latin melangkah maju ke arah devolusi hak pada awal 2000-an. Model favorit di Amerika Latin adalah pemberian status hutan rakyat, dengan persyaratan bahwa masyarakat menjaga tutupan hutan. Kuatnya gerakan sosial dalam advokasi hak hutan adat menjadi penyebab penting reformasi di Amerika Latin.
Di Asia, kita lihat beragam model, antara lain upaya Nepal menyerahkan hak pada kelompok masyarakat pengguna hutan, dan di India diterapkan model Pengelolaan Hutan Bersama (Joint Forest Management) atau JFM. JFM mengizinkan masyarakat memanfaatkan hasil hutan bukan kayu tertentu, namun hak paling substantif tetap dipegang otoritas hutan. Vietnam menunjukkan keberhasilan dengan model berbasis keluarga. Program Alokasi Lahan Hutan (Forest Land Allocation/FLA) mengalokasikan hingga 50 hekater lahan pada keluarga yang setuju untuk mengubahnya dari lahan pertanian menjadi hutan.
Afrika, di sisi lain, terlihat tidak banyak melakukan penyerahan hak hutan. Sebagian besar program hutan masyarakat di Afrika, terfokus pada program bagi-manfaat yang ditanggung dana hibah. Masyarakat dibayar untuk mengadopsi praktik konservasi hutan. Banyak LSM Afrika dan kelompok masyarakat mengadvokasi penyerahan hak hutan, dan pemerintah mulai mendengar, namun momentum untuk membawa perubahan signifikan dalam regulasi dan kebijakan belum muncul, setidaknya di sebagian besar negara.
Penelitian dan konsultasi CIFOR di Petén pada 7-8 September dan Webinar pada 29 didukung oleh Program penelitian CGIAR mengenai Kebijakan, Kelembagaan dan Pasar.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org