Bagaimana dampaknya FLEGT untuk usaha menengah di Indonesia?
Saat ini kompetisi saya di pricing untuk produk, itu lebih baik lagi. Kenapa? Itu tadi. Karena voluntary itu lebih sulit diterapkan dan biayanya juga mahal. Terus harga jual juga menambah harga jual saya. Jadi ketika kita pakai FLEGT (Forest Law Enforcement Governance and Trade), kita pakai SVLK (Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu), itu cost production (ongkos produksi) saya sebenarnya turun.
Intinya dari situ, karena supply (pasokan) bahan tidak terkendala, kemudian banyak sekali policy (kebijakan) yang membuat biaya-biaya yang tidak diperlukan, tidak perlu keluar.
Manfaatnya sudah terasa?
Sudah terasa. Sekarang setiap permintaan saya, permintaan ke kami, dari customer-customer kami di Eropa, itu mereka sudah merujuk bahkan di dalam LC (Letter of Credit-red) pun. Itu sudah ditulis: FLEGT compliance. Jadi memang mereka sudah tahu bahwa dengan SVLK, dengan FLEGT, mereka akan mendapatkan produk yang lebih bisa dijual.
Bagaimana proses mendapatkan FLEGT?
Jadi kami memulai sertifikasi itu dari tahun 2006. Saat pertama itu belum ada skema yang pas waktu itu, saya masih menggunakan skema VLO – Verified Legal Origin. Yang diterbitkan oleh TFF (Tropical Forest Foundation-red) kalau tidak salah. Terus kemudian saya tahu ada LEI, kemudian saya ambil sertifikasi LEI (Lembaga Ekolabel Indonesia-red), terus kemudian saya pelajari tentang FSC (Forest Stewardship Council-red) karena permintaan customer di negara pembeli, mereka lebih prefer ke FSC, makanya kita ambil FSC, dari situ baru kemudian ke SVLK. Karena sudah aware dengan semua sistem chain of custody, makanya untuk menerapkan sistem SVLK tidak ada kendala, karena memang kita sudah punya tim sertifikasi di dalam perusahaan.
Ada perspektif atau pelajaran apa yang Anda ingin membawah ke dialog ini?
Proses sertifikasi ini sudah cukup lama. Tapi perlu memberikan dampak yang bisa dilihat secara visual, secara baik. Kritik saya yang pertama adalah sosialisasi mengenai FLEGT kepada pembeli di negara-negara tujuan ekspor juga harus dilakukan. Yang kedua adalah membangun aturan-aturan yang menekan mereka untuk melaksanakan FLEGT compliance dengan benar. Itu kritik yang untuk negara pembeli.
Untuk internal, ke dalam negeri, jangan ada tumpang tindih aturan lagi. Karena itu yang salah satu penyebab yang membuat mereka bingung. Yang akibatnya mereka malas untuk mensertifikasi perusahaan mereka.
Anda sebutkan bahwa pola pikir para pengusaha UKM yang perlu dirubah. Bisa dijelaskan lebih mendalam?
Sebenarnya mereka sudah mengakui bahwa ini diperlukan. Kenapa mereka dikatakan mengakui? Karena mereka mau melakukan sertifikasi. Dan kemudian mereka juga mau menginformasikan kepada customer mereka bahwa, “saya punya V-Legal (dokumen yang menyatakan bahwa produk kayu tujuan ekspor memenuhi standar verifikasi legalitas kayu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan-red)”.
Harusnya pola pikir mereka yang dirubah. Bahwa ini sudah bukan menjadi barrier (hambatan) lagi, tapi sudah menjadi opportunity (kesempatan).
Video ini merupakan bagian dari seri wawancara dengan nara sumber dialog kebijakan nasional perizinan FLEGT (Pemberantasan Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan) dan mendukung usaha kecil dan menengah, 13 Juli 2017 lalu di Jakarta.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org