Indonesia menyimpan sejarah panjang konflik penguasaan hutan tropis yang tersebar di ribuan pulau di negara kepulauan ini. Deklarasi bahwa seluruh hutan dimiliki negara oleh penguasa kolonial Belanda tidak begitu saja diterima oleh jutaan orang yang selama berabad-abad tinggal dan mengelola hutan secara lestari.
Pelimpahan formal status hutan yang dilakukan Presiden Jokowi merupakan langkah simbolik penting dalam perjuangan panjang masyarakat adat. Sejak kemerdekaan pada 1945, hak adat tetap ditentang, meskipun hal tersebut diamanatkan dalam undang-undang dasar. Sebelum dikenal sebagai Indonesia, pulau-pulau yang ada merupakan rumah bagi ribuan kelompok etnis dengan bahasa, budaya dan identitas berbeda.
“Pengakuan pengelolaan hutan adat tidak terpisahkan dari hak masyarakat seperti dinyatakan Undang Undang Dasar 1945. Pengakuan ini juga berarti apresiasi terhadap nilai dasar dan identitas Indonesia sebagai sebuah negara,” kata Presiden Jokowi, dalam pidato pembuka Deklarasi Pengakuan Hutan Adat di istana kepresidenan Jakarta, Indonesia, 30 Desember 2016.
Acara ini dihadiri oleh para tokoh internasional dan nasional, termasuk perwakilan sembilan masyarakat adat yang menerima status hutan adat. Salah satunya adalah tokoh masyarakat Kajang, Sulawesi Selatan, Andi Buyung Saputra. Abdullah Mojaddedi, mewakili Pemerintah Kanada, merupakan salah seorang tamu istimewa bersama dengan James M. Roshetko, ilmuwan agroforestri senior Pusat Penelitian Agroforestry Dunia (ICRAF) dan pimpinan proyek Agroforestri dan Kehutanan di Sulawesi (AgFor). Didukung Pemerintah Kanada, AgFor membantu masyarakat Kajang dalam perjuangan mendapatkan pengakuan legal pengelolaan hutan keramat mereka.
CONTOH SUKSES
Sebagai salah satu dari sembilan penerima, Kajang dinyatakan oleh Jokowi merupakan teladan nasional yang dapat menjadi sumber pembelajaran. Jalan menuju pengakuan memang tidak mudah. Konflik penguasaan hutan terjadi antara Kajang, pemerintah pusat dan daerah serta sektor swasta.
Konflik dimulai ketika pemerintahan di era sebelumnya mengubah status pengelolaan hutan Kajang, dari ‘adat’ menjadi ‘hutan produksi terbatas’. Hutan ditempatkan di bawah pengelolaan pemerintah untuk beberapa tujuan, termasuk alokasi untuk sektor swasta membangun perkebunan karet.
Roshetko menjelaskan, “Koordinasi yang baik antar organisasi mitra AgFor, masyarakat Kajang dan pemerintah lokal menjadi kunci dalam proses penyusunan Peraturan Kabupaten Bulukumba, Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Ammatoa Kajang. Peraturan ini mengarah pada proses pencapaian pengakuan pengelolaan hutan adat, keluarnya peraturan presiden, dan akhirnya pelimpahan status.
Andi Adriardi, anggota Balang, sebuah LSM yang bekerja sama dalam proyek AgFor, turut membantu Kajang mencapai kepemilikan status. Ia menyatakan, “Pemerintah nasional Indonesia mengidentifikasi kasus hutan adat Kajang sebagai pembelajaran yang baik. Hutan dikelola dengan baik, dan Kajang mengembangkan aturan lokal yang menguatkan, mengakui dan melindungi hutan berdasar pengelolaan tradisional, yang didukung oleh pemetaan spasial modern.”
Meski hutan Kajang relatif kecil dan terisolasi, perjuangan menjaganya berdampak sangat besar terhadap kebijakan Pemerintah Indonesia. Hutan Kajang merupakan rumah bagi beragam spesies endemik yang memiliki peran penting dalam fungsi kultural masyarakat. Deforestasi drastis beberapa dekade terakhir meningkatkan emisi karbon, dan mengakibatkan pemanfaatan pertanian kesulitan menjaga kesuburan tanah dan produktivitas akibat meningkatnya erosi dan degradasi lebih besar lahan menyusul hilangnya hutan.
Dalam pidato penerimaan status lahan dari Presiden, Saputra menyatakan, “Kearifan tradisi telah memainkan peran penting dalam mengelola dan menjaga hutan kami. Hal ini berkontribusi menjaga Bumi lebih hijau dan mengurangi dampak negatif perubahan iklim.”
Proses penyelesaian konflk dan kembalinya status adat dimulai beberapa tahun lalu. Pada 2008, Kantor Kehutanan Kabupaten Bulukumba, dibantu Universitas Hasanuddin, mengambil inisiatif untuk merancang peraturan mengenai hutan Kajang. Inisiatif pertama ini menghadapi banyak tantangan dan dengan berbagai alasan tidak bisak bisa diimplementasikan.
MENGAWINKAN PENELITIAN DENGAN PEMBUATAN KEBIJAKAN
Pada 2012, proyek AgFor dimulai di Sulawesi Selatan. Salah satu tujuannya adalah meningkatkan kesadaran, pemahaman dan kapasitas teknis tata kelola partisipatoris lahan pertanian dan hutan. Berangkat dari keinginan pemerintah dan masyarakat Kajang untuk menyelesaikan konflik, pakar tata kelola dari Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) memberikan pelatihan proses kolaboratif dalam menangani maslah kompleks, teknik resolusi konflik, pemetaan partisipatoris, pengembangan dan analisis basis data.
Upaya kolaborasi kami membangun terbentuknya Peraturan Bupati Bulukumba No. 760/VII/2013 mengenai Tim Formulasi Rancangan Peraturan Bupati untuk Pengakuan Masyarakat Adat di Bulukumba
Para peserta mencakup perwakilan dari tokoh masyarakat Kajang dan anggota masyarakat lain, pegawai desa dan kecamatan, pegawai Kantor Kehutanan, pegawai Badan Pariwisata dan Kebudayaan, Biro Hukum Bulukumba, dan beberapa LSM, seperti Aliansi Masyarakat Adat Sulawesi Selatan dan Balang.
“Dengan bekerja bersama pemerintah Kabupaten Bulukumba, kami mampu mengubah proses penyusunan peraturan dari ekslusif menjadi inklusif, kata Agus Mulyana, peneliti senior tata kelola di CIFOR. “Kami membuka pintu bagi pemahaman dan penyusunan peraturan yang lebih kuat. Upaya kolaborasi kami membangun terbentuknya Peraturan Bupati Bulukumba No. 760/VII/2013 mengenai Tim Formulasi Rancangan Peraturan Bupati untuk Pengakuan Masyarakat Adat di Bulukumba.”
Proses tersebut diawali dengan membentuk tim konsultatif yang berisi perwakilan seluruh kelompok kepentingan, dalam merancang peraturan yang mengakomodasi kebutuhan seluruh pihak. Balang, sebagai mitra AgFor, melakukan berbagai penelitian, antara lain analisis pemangku kepentingan, kategorisasi tenurial dan klasifikasi hak akses formal dan informal. Penelitian ini membari informasi penting bagi banyak orang yang perlu dimasukkan dalam apa yang dipaparkan oleh mereka yang terlibat sebagai pendekatan partisipatif ‘kuat’ dalam menyusun rancangan peraturan yang kompleks.
Moira Moeliono, ilmuwan senior CIFOR yang bekerja dalam proyek tersebut menambahkan, “Peraturan bupati bukan akhir pekerjaan, namun lebih menjadi awal perjalanan panjang menyempurnakan pengelolaan hutan dan hak adat. Setelah penetapan peraturan bupati dan pengakuan melalui peraturan presiden, semua orang perlu melangkah maju menyelesaikan masalah lain. Peraturan perlu disusun untuk mengkaitkan pengelolaan hutan adat pada pengelolaan daerah aliran sungai dan penguatan kelembagaan adat.”
Pengakuan pemerintah Indonesia terhadap hak masyakarat adat untuk mengelola hutan merupakan satu langkah penting reformasi agraria yang merupakan bagian dari Nawa Cita, program Presiden Jokowi yang terdiri dari sembilan strategi besar dalam mengatasi masalah yang dialami masyarakat desa, seperti kemiskinan, ketidakadilan dan rendahnya pengupahan. Widodo menyatakan bahwa pelimpahan pengelolaan hutan adat pada masyarakat adat merupakan bagian dari program kehutanan sosial Indonesia. Program ini menargetkan untuk menyerahkan 12,7 juta hektare hutan untuk dikelola masyarakat.
*Artikel ini diadaptasi dari bentuk asli yang dipublikasikan oleh ICRAF di Agroforestry World.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org