Berita

LAPORAN KHUSUS COP22: Meninjau kembali kebakaran lahan dan hutan di Marrakesh

Penelitian baru CIFOR menunjukkan, peta dan satelit tidak cukup untuk mengidentifikasi tanggungjawab dalam masalah kebakaran hutan dan lahan.
Bagikan
0

Bacaan terkait

Ketika para pemimpin dunia berkumpul untuk mendiskusikan prioritas aksi Perjanjian Paris pada COP22 Marrakesh, Indonesia menandai satu tahun krisis lingkungan yang menimbulkan akibat buruk bagi perubahan iklim dunia.

Pada 2015,  api konversi lahan mengamuk di lahan gambut padat-karbon di beberapa provinsi di Indonesia, dan memicu krisis polusi udara lintas wilayah. Peneliti CIFOR menyimpulkan bahwa 884 juta ton karbon dioksida dilepaskan ke wilayah tersebut tahun lalu – 97% berasal dari kebakaran di Indonesia. Emisi karbon terkait sebesar 289 juta ton, dan emisi karbon dioksida ekuivalen sebesar 1,2 miliar ton.

Meski telah hampir setahun berlalu sejak krisis tersebut, kebakaran tetap berulang setiap tahun, kembali muncul bersama musim kering seperti putaran jam. Ada tahun-tahun yang lebih buruk, bergantung pada kondisi cuaca, ekonomi dan politik. Tahun 2016 bukan kekecualian. Api dan asap menyapu  Sumatera dan Kalimantan – meski tidak sebesar tahun lalu.

Kebakaran 2015 mendorong Presiden Indonesia, Joko Widodo berjanji merestorasi dua juta hektare lahan gambut terdegradasi pada 2020 untuk mencegah kebakaran di masa depan. Sumber daya pemantauan dan pemadaman kebakaran kini digunakan secara lebih efektif memerangi api. Kelompok pemantau dan lembaga nirlaba juga mengawasi ketat pola kebakaran dan menuntut perusahaan-persuhaan melakukan praktik tata kelola lebih berkelanjutan.

Ini semua berita baik –  namun menghadapi luasnya wilayah, seringkali terpencil, dan merasakan betapa sensitifnya masalah ini – bagaimana kita benar-benar tahu siapa yang mulai membakar?

Seperti menguliti bawang

Para ilmuwan dari Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) menyusun peta untuk menjawab pertanyaan itu dengan menganalisis lebih dari 160 konsesi sawit dan bubur kertas di Provinsi Riau, Sumatera, lokasi kebakaran parah hutan dan lahan gambut berulang. Mereka menemukan bahwa masalahnya tidak seperti garis lurus, dan menyadari bahwa praktik biasa menggabungkan peta konsesi dan titip api tidak menjelaskan seluruh cerita.

“Kita punya asumsi bahwa perusahaan bertanggungjawab atas seluruh aktivitas dalam konsesinya, dan petani bertanggungjawab atas aktivitas di luarnya,” kata Dr. David Gaveau, ilmuwan CIFOR. “Namun faktanya, kebakaran lahan gambut bisa bermula dari luar dan menyebar ke dalam konsesi. Kebalikannya juga bisa terjadi.”

Lahan siapa yang terbakar?

Penelitian  menemukan bahwa terkait sawit, hutan industri terdeteksi berada di luar batas konsesi. Di wilayah utara Riau, lebih dari 28 persen dari total lahan yang dikuasai perkebunan sawit oleh perusahaan terdaftar ditemukan berada di luar batas konsesi legal. Padahal menurut ilmuwan CIFOR, Romain Pirard, perusahaan tidak boleh beroperasi di luar batas legalnya.

“Ini estimasi konservatif, karena tidak memasukkan lahan tak tercatat yang dikuasai perkebunan skala menengah yang beroperasi seperti perusahaan, namun tanpa status perusahaan formal,” tambahnya.

Menganalisa data 2013 dan 2014, ilmuwan juga menemukan bahwa sebagian besar kebakaran, yaitu mencapai 75 persen – tidak terjadi di hutan. Gumpalan api mengincar lahan terlantar – lahan gambut kosong yang ditutupi semak rentan api, paku-pakuan dan batang pohon mati. Sepuluh persen kebakaran terjadi di lahan tanam, seperti perkebunan akasia, dan 15 persen di hutan gambut terdegradasi akibat penebangan.

Perkebunan yang berada dekat dengan lahan kosong berisiko terkena sambaran api, khususnya pada gambut kering di mana api mudah sekali menyebar tak terkendali di luar area pembakaran.

“Penelitian ini menunjukkan bahwa api yang keluar dari pembersihan lahan gambut menyebabkan kerugian finansial besar bagi investor perkebunan di dalam dan di luar konsesi,” kata Gaveau.

Gambar bawah: Wilayah penelitian 4,1 juta hektare di provinsi Riau Sumatera (lokasi lihat foto inset). (a) 404.713 ha wilayah terbakar pada 2013 dan 2014 (merah) di lahan gambut (biru muda), di dalam (hitam) dan di luar konsesi bubur kertas dan sawit. (b) Lahan yang dikuasai konsesi bubur kertas (akasia). Gambar inset yang merupakan pembesaran citra LANDSAT (03 Nov 2014) menungkap kelompok lahan dengan bentuk tak-beraturan, berbagai ukuran, dan mengarah pada konsesi akasia. Pola spasial ini menunjukkan lahan yang dikuasai petani mandiri (baik yang telah ditanami atau masih dikembangkan). (c) Lahan yang dikuasai konsesi sawit. Dalam foto inset terlihat petak lahan mirip barisan di luar konsesi. Pola spasial ini menunjukkan lahan yang dikuasai perusahaan (baik telah ditanami atau tengah dibangun).

figure1_300dpi_revised1
“Kami tidak memicu kebakaran”

Pertanyaan siapa yang memicu kebakaran berubah menjadi saling lempar kesalahan, pemilik konsesi menuduh petani mandiri dan begitu pula kebalikannya.

Penelitan menunjukkan, sekitar separuh kebakaran terjadi dalam konsesi milik perusahaan. Perusahaan mungkin melakukan pembakaran sebagai pencegahan – dengan membakar lahan yang sudah ditanami petani mandiri dalam upaya menguasai kembali wilayah sengketa.

Para peneliti juga menemukan bahwa petani mandiri membakar dan menguasai lahan dalam area konsesi atau sepanjang batas konsesi di hampir seluruh wilayah penelitian. Meski penelitian tambahan diperlukan, hasil awal ini menunjukkan bahwa petani mandiri mungkin bertanggungjawab atas sebagian kebakaran yang terdeteksi dalam konsesi.

Namun, tidak sepenuhnya jelas apa motivasi petani melakukan pembakaran – apakah mereka membakar lahan untuk kepentingan sendiri, disewa pemilik konsesi untuk membersihkan lahan, atau membakar untuk menyelesaikan sengketa.

Faktor penting dalam kompleksitas ini adalah biofisik. Lebih dari 80 persen konsesi bubur kertas berlokasi di kubah gambut dan hampir 60 persen wilayah terbakar di luar konsesi terjadi di lima kilometer wilayah penyangga perbatasan konsesi ini. Hal ini menunjukkan gambut dalam yang mengering dalam konsesi bubur kertas meningkatkan potensi kebakaran yang dipicu di dekatnya

David Gaveau, Ilmuwan CIFOR

“Perdebatan seputar siapa yang salah seringkali terjadi antara petani dan perusahaan besar,” kata Rachel Carmenta, mitra postdoktoral CIFOR. “Melalui penelitian kami, diketahui bahwa kita perlu lebih mengungkap keluasan tipologi tersebut. Para petani tidak lantas seragam.”

Penelitian juga menunjukkan kaitan antara lokasi kubah gambut di dalam konsesi dengan lokasi kejadian kebakaran di wilayah luarnya.

“Faktor penting lain dalam kompleksitas ini adalah biofisik – lebih dari 80 persen konsesi bubur kertas berlokasi dalam kubah gambut dan hampir 60 persen wilayah terbakar di luar konsesi terjadi dalam wilayah penyangga lima kilometer dekat perbatasan konsesi bubur kertas tersebut,” kata Gaveau. “Hal ini menunjukkan gambut dalam yang mengering di konsesi bubur kertas meningkatkan peluang kebakaran yang dipicu di dekatnya.”

Secara bersama, hasil ini menunjukkan bahwa sebagian perusahaan, baik itu langsung atau tidak, bertanggungjawab atas kebakaran di luar konsesi. Seringkali, mereka tidak memiliki izin konsesi formal dari ibukota Jakarta, dan hanya mendapat lampu hijau dari pejabat lokal untuk beroperasi di lahan yang tidak diperuntukkan untuk pertanian.

Di Indonesia, lebih penting mengetahui siapa yang menguasai lahan daripada siapa pemiliknya, untuk tahu pihak yang bertanggung jawab. Ini bukan sekadar masalah pencatatan tenurial lahan, tetapi juga penegakkan hukum. Jadi masalahnya akan  panjang.

Romain Pirard, ilmuwan CIFOR

“Di Indonesia, lebih penting mengetahui siapa yang menguasai lahan daripada siapa pemiliknya untuk mengetahui siapa yang bertanggungjawab,” kata Pirard. “Ini bukan sekadar masalah pencatatan tenurial lahan, tetapi juga penegakkan hukum. Jadi masalahnya akan panjang.”

Lihat sendiri

Indonesia kini berupaya keras mengurangi kebakaran dan deforestasi, namun gambaran lebih jelas kepemilikan dan kontrol atas petak lahan diperlukan agar upaya ini bisa efektif.

Untuk saat ini satelit menjadi sumber informasi utama. Satelit menyediakan data hampir real-time yang dapat memantau komitmen pemilik konsesi untuk tidak membakar lahan. Tetapi, apakah ini cukup?

“Kami menemukan bahwa pemetaan terinci dari data satelit saja tidak mengungkap seluruh cerita. Kita perlu mengkombinasikan data satelit beresolusi tinggi dengan investigasi lapangan untuk memetakan kepemilikan de-fakto (legal dan ilegal), klaim dan sengketa lahan di dalam dan di luar konsesi,” kata Gaveau.

Ini pekerjaan besar. Jutaan petak lahan yang terlihat di satelit perlu diperiksa di lapangan untuk mengidentifikasi kepemilikannya, potensi klaim dan sengketa di wilayah-wilayah terpencil di garis depan yang terdampak kebakaran di Indonesia.

Lebih dari itu, penyelidik di lapangan seringkali menghadapi risiko. Pada September, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melaporkan bahwa tujuh penyelidik mereka diculik dan diancam oleh ratusan orang yang diduga bagian asosiasi petani yang terkait dengan perusahaan sawit yang beroperasi di luar konsesi di provinsi Riau.

pt_andika-permata-sawit

Location of the unregistered concession of PT. Andika Permata Sawit Lestari, where the kidnapping incident occurred.

Gaveau menyatakan aktivitas tersebut seharusnya berada di bawah ‘Kebijakan Satu Peta’ yang bertujuan menyatukan data pemanfaatan lahan, tenurial lahan dan data spasial lain ke dalam satu basis data yang akan mendasari kepemilikan legal lahan, tenurial lahan dan hak lahan.

Indonesia meningkatkan upaya untuk dapat membawa perusahaan dan petani pemicu kebakaran ke pengadilan. Ratusan orang sudah ditahan karena memicu kebakaran, termasuk sejumlah orang yang terkait langsung dengan perusahaan. Tetapi sampai kita tahu siapa pemilik lahan tempat api dipicu, akan sangat sulit menunjuk secara tepat siapa yang bertanggungjawab atas seluruh kerusakan lingkungan, kesehatan masyarakat dan perubahan iklim global.

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi David Gaveau di d.gaveau@cgiar.org atau Rachel Carmenta di r.carmenta@cgiar.org.
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org