Catatan Editor: Krisis kabut asap merupakan salah satu tema kunci diskusi dalam Pertemuan Puncak Forests Asia, 5-6 Mei di Jakarta, Indonesia. Diskusi membahas penelitian penyebab yang mendasari dan dampak dari kebakaran lahan gambut, berfokus pada peran konflik kepemilikan lahan antara masyarakat dan perusahaan; berbagai dampaknya terhadap kesehatan manusia; dan undang-undang lintas-batas yang diusulkan oleh pemerintah Singapura. Baca lebih jauh di sini.
Versi asli artikel ini telah diterbitkan di harian Jakarta Globe tanggal 10 April.
Asap yang membubung di atas Sumatra telah mulai pada awal tahun ini, dengan kebakaran lahan gambut di Riau, Sumatra, menciptakan kabut yang sedemikian tebal sehingga pada bulan Maret membuat penerbangan terganggu dan sekolah-sekolah ditutup; sedikitnya dua korban meninggal disebabkan oleh asap yang mencekik itu. Kejadian tersebut merupakan ulangan peristiwa muram di bulan Juni 2013, ketika kabut asap yang tertiup angin dari kebakaran lahan hutan di Riau menutupi Malaysia dan Singapura, yang menyebabkan terekamnya ukuran pencemaran udara tertinggi di Singapura.
Sekarang, suatu usaha multilateral besar untuk menghentikan kabut asap tersebut sedang mendapat semakin banyak daya tarik, berusaha untuk mendorong lebih banyak penelitian ke sejumlah kecil area kunci. Kebakaran yang menimbulkan kabut asap Riau bukanlah kecelakaan-api ini dengan sengaja dinyalakan oleh manusia untuk membuka lahan untuk pertanian.
Peristiwa itu juga bukan “kebakaran hutan,” sebagaimana yang semula dilaporkan pada bulan Juni-peristiwa itu adalah kebakaran di wilayah yang sudah mengalami deforestasi, terutama lahan gambut, di wilayah di mana perkebunan kelapa sawit dan pulp kertas mendominasi lanskap, di mana penyalaan api dikontribusi oleh masyarakat setempat dan perusahaan.
Sebuah lokakarya yang diselenggarakan pada bulan Januari di Jakarta merupakan langkah besar pertama dalam mencoba untuk memahami lebih baik mengenai pendorong kebakaran tersebut, untuk mendorong kerja sama lebih besar di antara orang Indonesia dan pemangku kepentingan regional di semua tingkatan, dan untuk menganalisis berbagai peraturan yang mengatur masalah ini di Indonesia.
Lokakarya tersebut, yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), menarik di antaranya para peneliti, pejabat pemerintah, dan pemimpin dari berbagai komunitas, masyarakat sipil, dan sektor swasta. Di lokakarya tersebut, para pemangku kepentingan-banyak yang sebelumnya belum pernah berjumpa-berkumpul untuk mendiskuskan apa yang mereka ketahui, apa yang mereka anggap mereka ketahui, dan apa yang perlu mereka ketahui mengenai kebakaran tersebut.
Ada lebih banyak pertanyaan daripada jawaban, tetapi satu masalah menjadi jelas dalam diskusi di lokakarya tersebut: Sudah ada banyak peraturan dan kebijakan yang mengatur tata guna lahan dan kebakaran di Indonesia, di antaranya moratorium mengenai pemberian lisensi konsesi untuk penebangan kayu dan konversi hutan dan lahan gambut. Dengan adanya undang-undang ini dan lainnya, mengapa kebakaran tetap terjadi? Pertanyaan ini menjadi inti dari masalahnya, dan diperumit oleh faktor-faktor lain yang didiskusikan di lokakarya tersebut-terutama, klaim lahan yang tumpang-tindih dan kurangnya kerja sama antara para pelaku dan pemerintah di semua tingkatan. Untuk menjawab pertanyaan yang menyeluruh ini, kita harus menguraikan tata kelola yang rumit dan konteks sosioekonomi dan umpan balik klimaks di balik kebakaran di lahan gambut.
Empat pertanyaan tambahan mengenai kebakaran tersebut diidentifikasi sebagai hasil lokakarya. Pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab melalui lebih banyak penelitian bila kemajuan nyata ingin diwujudkan untuk memadamkan kabut asap tersebut.
- Apakah kebakaran akan terjadi lebih sering dan lebih ekstrem? Pada titik ini, jawabannya mengarah pada ya. Data menunjukkan lebih banyak kebakaran–dan kebakaran yang lebih ekstrem-dalam dua dekade terakhir di Riau. Kebakaran tersebut memang dimungkinkan oleh kondisi kering, tetapi berbagai kondisi di Riau menunjukkan adanya berbagai variabel lain yang menimbulkan efek lebih besar: Arus masuk penduduk ke wilayah tersebut telah mengakibatkan meingkatnya deforestasi, yang karena musnahnya vegetasi menyebabkan wilayah tersebut lebih rentan terhadap api. Ditambah dengan desakan untuk mengonversi wilayah berhutan menjadi perkebunan kelapa sawit dan juga kurangnya tata kelola penggunaan lahan, hal ini menciptakan skenario di mana kebakaran menjadi masalah yang lebih buruk dan lebih sering terulang.
- Bagaimanakah emisi yang sebenarnya dari kebakaran tersebut? Kebenarannnya, kami tidak benar-benar mengetahuinya. Banyak studi telah dilakukan dalam kaitan dengan emisi dari kebakaran lahan, tetapi tidak dari Riau. Mengetahui kandungan aerosol dan karbon dari kebakaran tersebut memamapukan kita untuk menetapkan garis dasar yang menjadi acuan pengukuran kita.
- Sampai sejauh mana klaim terhadap lahan yang tumpang tindih mendorong kebakaran tersebut? Kita tahu bahwa ada kasus-kasus ini, tetapi sampai sejauh mana konflik-konflik ini mengarah pada kebakaran masih perlu dikonfirmasi sebelum kita dapat membuat usaha yang berarti untuk menangani akar permasalahan dari kebakaran tersebut.
- Apakah pasaran untuk minyak kelapa sawit mendorong terjadinya kebakaran lahan di lahan gambut? Kami pikir memang demikian kasusnya; pemerintah Indonesia bertujuan untuk memperluas produksi minyak kelapa sawit pada tahun 2020. Kebakaran tahun 2013 mencerminkan konversi yang terus berlangsung dari lahan gambut yang baru dideforestasi menjadi kebun kelapa sawit. Tetapi hal ini perlu dibuktikan.
Paling sedikit satu yang kami pikir memang kami ketahui: Kebakaran ini akan terus bertahan dan memburuk kecuali bila kita melakukan sesuatu segera. Kita harus bertindak sekarang.
Sebagaimana ada berbagai kesenjangan dalam peneltian tersebut, ada juga kesenjangan di antara banyak pemangku kepentingan dalam drama ini.
Perusahaan perkebunan pulp kertas dengan skala lebih besar mengatakan bahwa mereka adalah “korban” dalam krisis kabut asap ini dan mengeluh karena dijadikan kambing hitam. Kelompok-kelompok komunitas berskala kecil mengatakan hal yang sama, dan mengeluh karena dijadikan kambing hitam dan disingkirkan.
Banyak lembaga berbeda dalam pemerintahan menunjukkan ketidaksepakatan mengenai tanggung jawab terhadap kebakaran tersebut. Masyarakat setempat mengatakan mereka lebih banyak tidak dilibatkan dalam diskusi dan solusi. Dan ada keluhan tentang ketidakseimbangan kekuasaan di antara masyarakat setempat, pemerintah dan perusahaan komersial.
Untungnya, ada dorongan kuat untuk kita untuk menangani masalah ini sekarang. Hal tersebut dimulai dengan penelitian–diperlukan lebih banyak penelitian untuk menangani berbagai kesenjangan dalam pengetahuan, menyatukan bukti-bukti, dan menerapkannya dalam pembuatan kebijakan dan berbagai tindakan di lapangan. Krisis tahun lalu menghasilkan tanggapan cepat dari berbagai pemerintah: Pembicaraan regional tingkat tinggi pada bulan September membawa pada usulan sistem pemantauan kabut asap lintas-batas, dan pada awal tahun 2014, Singapura membuat rancangan peraturan yang akan memungkinkannya mengenakan denda pada perusahaan atas kebakaran yang terjadi di perkebunan Sumatra. Tetapi berbagai tindakan ini saja tidak akan menyelesaikan masalahnya.
Indonesia sendiri tidak dapat mengatasi krisis kabut asap, dan itulah sebabnya melanjutkan diskusi tersebut-dan mendesak dilakukannya lebih banyak penelitian-adalah sedemikian penting. Tidak boleh ada waktu yang terbuang.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org