Tradisi Leluhur
Bagi masyarakat Olin-fobia, panen madu hutan adalah kegiatan sakral yang melibatkan kombinasi dari ritual adat dan agama.
Masyakarat Olin-fobia sebagai penjaga tradisi menjalani dua hari perjalanan menuju hutan, tempat mereka mengumpulkan madu. Ketika bunga dari alba Eucalyptus mulai bermekaran, persiapan dimulai untuk berkemah selama dua-tiga minggu. Makanan dan tempat tinggal harus siap selama dalam perjalanan, dan setiap konflik pribadi diharapkan diselesaikan sebelum keberangkatan, memastikan harmoni sosial dan kerukunan antar anggota masyarakat.
Seluruh masyarakat bergabung melakukan perjalanan menuju lokasi panen, yang hasilnya dibagi rata antar sesama kelompok. Nanang Sujana/CIFOR
Yohanes Palo, anggota masyakarat menunggu hasil panenan. Nanang Sujana/CIFOR
Isak Fobia, tetua suku Olin- Fobia. Ia bertanggung jawab memimpin ritual panen madu dari awal hingga akhir, termasuk membagi hasil panen bagi masyarakat. Nanang Sujana/CIFOR
Perkemahan didirikan di suatu tempat yang dianggap sebagai ‘gerbang’ ke area lokasi panen untuk melakukan upacara doa. Setelah doa dipanjatkan, ritual adat dimulai dengan melantunkan tutur merdu pujaan, bersamaan dengan prosesi penyembelihan seekor babi hutan untuk dimakan bersama seluruh anggota keluarga suku masyarakat.
Saat malam tiba, sekelompok orang pemanen berangkat ke lokasi panen. Dipimpin oleh seorang Amaf – pemimpin adat, kelompok ini beranggotakan orang-orang yang memiliki ketrampilan teknis dan spiritual untuk melakukan panen madu hutan dengan aman.
Para pemanen madu hutan menghadapi tugas yang tidak mudah, karena banyak bahaya yang mengancam, antara lain ketika mereka harus memanjat batang dan cabang pohon dengan tinggi mencapai 80 meter. Di ketinggian puncak pohon-pohon eukaliptus, sarang-sarang lebah bergantung. Di satu pohon tua, bias terdapat hingga 120 sarang lebah yang menghasilkan madu hutan.
Salah satu anggota kelompok, Meo One, bertugas sebagai pemanjat pohon. Sementara anggota kelompok lain, Meo Menesat, bernyanyi di bawah pohon, melantunkan pujian untuk ratu lebah dan lebah-lebah penghasil madu lainnya, sebagai ‘putri rimba nan cantik’, seraya memohon ijin untuk mengambil madunya.
“Dalam proses memanen, masyarakat menganggap para lebah sebagai mitra,” kata Ani.
Pemanen madu hutan menggunakan api dan asap untuk menjauhkan para lebah. Pemanen mengambil sarang madu dan membawanya turun. Amaf mengalokasikan pohon-pohon penghasil madu dan produksinya secara adil untuk semua keluarga anggota suku masyarakat.
Satu pohon inang madu dapat menampung kurang lebih 100 lebah. Nanang Sujana/CIFOR
Masyarakat Olin-Fobia menganggap lebah sebagai teman
Produk Alam Berkelanjutan
Madu Gunung Mutis sendiri adalah salah satu bentuk hasil hutan hutan bukan kayu, yang mampu memberikan tambahan penghasilan bagi penghidupan masyarakat di salah satu provinsi di Indonesia timur ini.
Diperoleh cukup madu hasil panen untuk anggota suku masyarakat dan juga untuk dijual keluar wilayah. Sebanyak 30 ton madu hutan diproduksi dan dipanen setiap tahun dari Gunung Mutis. Jumlah ini merupakan 25 persen dari total produksi madu hutan di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
WWF Indonesia bekerjasama dengan kelompok masyakarat Jaringan Masyarakat Mutis (JMM), dalam mengemas dan memberikan merek dagang agar madu hutan bias dipasarkan dengan dampak lebih baik. Inisiatif ini merupakan bagian dari kampanye Produk Hijau dan Berkeadilan WWF-Indonesia. Sebuah kampanye untuk mempromosikan pengembangan produk berkelanjutan yang dipasarkan dengan harga yang wajar.