“Dari 15-16 persen deforestasi di Kalimantan yang termasuk kategori konversi cepat, sebanyak 11-13 persennya menjadi sawit. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas perkebunan sawit dikembangkan di lahan terdegradasi, yaitu hutan terkonversi menjadi paku-pakuan, rumput dan semak akibat kekeringan dan kebakaran berulang, terutama selama tahun El Nino,” kata Gaveau saat presentasi di Pertemuan Tahunan Asosiasi Biologi dan Konservasi Tropis 2016.
Bahwa banyak perkebunan sawit di Kalimantan dibangun di atas hutan terbakar, memang menjadi pemicu perdebatan apakah sawit merupakan penyebab utama deforestasi di wilayah ini.
“Banyak orang berpendapat bahwa perkebunan seharusnya dikembangkan di atas lahan terdegradasi, dan dengan susah payah – kami temukan – bahwa di Kalimantan, inilah yang mayoritas terjadi,” kata Sheil. Di Malaysia, penelitian menyatakan bahwa perkebunan industri adalah penyebab utama hilangnya hutan karena cepatnya tingkat konversi.
Lahan kritis dapat membentuk banyak tipe, tertutupi dengan tanaman pakis, rumput dan semak
Lahan kritis di Tebo, Kalimantan Timur berubah bentuk menjadi tanah kupas dan tungul-tunggul pohon
Dilihat dari perspektif itu, Indonesia terlihat jauh lebih baik daripada yang banyak diasumsikan.
Tetapi, ilmuwan menemukan terjadinya perubahan pada tahun 2005.
“Sejak tahun 2005, Kalimantan mengalami ledakan pembangunan perkebunan. Lebih dari separuh perkebunan yang ada saat ini berdiri mulai di tahun tersebut, dan ada peningkatan tajam konversi cepat hutan menjadi perkebunan. Kalimantan menjadi kontributor utama konversi cepat hutan berdasarkan area. Meskipun penanaman dilakukan di lahan terdegradasi, deforestasi tetap sangat tinggi di Indonesia dan Malaysia. Tanda-tanda perlambatan belum terlihat,” kata Gaveau.
“Masih diperlukan banyak upaya untuk melindungi hutan Kalimantan,” tambahnya.
Topik Hangat
Fokus terhadap kompleksitas proses deforestasi menjadi penting, khususnya di tengah meningkatnya seruan boikot produk sawit.
“Ekspansi sawit meningkat sepanjang waktu, dan berkembang dalam konteks lokal yang berbeda. Dengan demikian, ekspansi ini terjadi pada beragam jenis pemanfaatan lahan, mulai dari hutan, sistem agroforestri dan lahan terdegradasi. Penelitian ini menegaskan bahwa beragam dinamika pemanfaatan lahan terkait dengan ekspansi sawit,” kata Pablo Pacheco, ilmuwan utama CIFOR dan penulis pendamping dalam riset ini.
Sudah tidak mungkin lagi melakukan generalisasi terhadap lintasan perkembangan sawit dan dugaan dampaknya.
“Sawit tidak selalu menjadi hal buruk,” kata Sheil. “Sawit memberi pemasukkan berarti bagi masyarakat dan sangat efisien dari segi hasil untuk lahan yang terbatas. Saya khawatir kita menstigmatisasi seluruh tanaman – padahal bukan tanamannya yang menjadi masalah, tetapi di mana kita menanamnya.”
Pendamping penulis penelitian yang lain, Erik Meijaard dari Borneo Futures Project menyatakan, fakta hasil penelitian ini diperlukan dalam debat terkait industri ekstraktif.
“Debat sawit sangat terpolarisasi antara kubu pecinta dan pembenci dengan bumbu dendam. Masih banyak yang belum bisa dikuantifikasi terkait pengembangan dan hubungan sebab-akibat sawit,” katanya.