Analisis

Politik dalam REDD+, sulitnya mengatasi penyebab utama deforestasi

Meski berbagai negara mengembangkan konsep REDD+ secara independen, tantangan yang dihadapi umumnya serupa.
Konflik kepentingan dalam agenda para aktor yang terlibat dengan deforestasi tantangan terbesar REDD+ di Indonesia. Moses Ceaser/CIFOR

Bacaan terkait

Tantangan apa yang secara umum dihadapi berbagai negara dalam mengembangkan REDD+? Di mana letak perbedaannya? Dan bagaimana politik berperan dalam mengelola penyebab deforestasi?

Pada sebuah kesempatan langka untuk mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan tersebut, perwakilan lebih dari 12 negara dari tiga benua bertemu dalam acara knowledge sharing REDD+ yang digelar Akademi Kehutanan dan Sumber Daya Alam Wondo Genet di Universitas Hawassa, Addis Ababa, Ethiopia, 8 sampai 10 Juni.

Selama tiga hari, para pengambil kebijakan dan praktisi Ethiopia bersama dengan peneliti dari 15 negara REDD+ dari Afrika, Amerika Selatan dan Asia Tenggara mempresentasikan dan menganalisis kemajuan yang telah dilakukan.

Dalam diskusi terungkap, meski berbagai negara mengembangkan konsep REDD+ secara independen dengan mempertimbangkan kondisi nasional dalam rancangan kebijakan, tantangan yang dihadapi untuk menekan deforestasi umumnya serupa.

Waktu penting, tetapi bukan segalanya

Mudah sekali untuk berasumsi bahwa negara yang lebih dahulu menjalankan REDD+ telah melangkah ke tahapan ‘pembayaran atas kinerja’. Namun, beberapa negara seperti Indonesia, Vietnam, Mozambik dan Papua Nugini ternyata masih berkutat dengan perancangan dan implementasi kebijakan. Hal ini berarti bahwa negara –negara lain yang mengadopsi REDD+ kemudian, dapat menyusul.

Di beberapa negara, analisis menunjukkan bahwa pusaran politik dalam siklus pemilihan pemimpin berputar terlalu cepat untuk dapat menjaga momentum perubahan, atau rentang perhatian politikus terlalu singkat untuk menjalankan reformasi besar.

Penulis

Laos telah membentuk satuan tugas REDD+ pada 2008.  Negara itu menggagas REDD+ sebagai tanggungjawab bersama dua kementerian, meski masih ada masalah klasik konflik antar institusi yang muncul, dan menciptakan kebingungan. Secara umum, REDD+ di Laos dipandang sebagai proyek semata, dan bukan sebagai pengembangan kebijakan. Kondisi ini diharapkan berubah, setelah perdana menteri baru yang mulai bertugas pada 20 April, mengeluarkan aturan moratorium ekspor kayu.

Sedangkan di benua Afrika, Ethiopia baru saja menetapkan strategi nasional REDD+. Strategi nasional ini mencakup rancangan tujuan, tata kelola, pengukuran, pelaporan dan verifikasi (MRV), serta opsi pendanaan REDD+. Aktivitas REDD+ di negara ini akan dilakukan dengan dukungan pendanaan dari dalam dan luar negeri, termasuk melalui intensifikasi pertanian. Saat ini, proyek REDD+ di provinsi Oromia memasuki tahap akhir implementasi didukung perjanjian senilai 50 juta dolar AS dari Norwegia.

Republik Demokratik Kongo tengah sibuk membangun kebijakan dan pendekatan REDD+. Kongo memiliki proyek percontohan besar di Mai Ndombe untuk mempersiapkan mekanisme pembayaran berbasis hasil – yang merupakan tahap ketiga sekaligus tahap akhir proyek REDD+. Namun, negara ini masih belum memiliki koordinasi REDD+ tingkat nasional. Selain itu, penyebab deforestasi skala besar seperti pertambangan dan pertanian tidak dimasukkan dalam pengembangan kebijakan REDD+.

Walaupun menjadi salah satu negara pertama yang mengusulkan REDD+ pada 2005 lalu, Papua Nugini masih berada dalam tahap pertama kesiapan REDD+. Komitmen politik Papua Nugini dalam mengatasi deforestasi dan degradasi hutan masih dipertanyakan — misalnya, karena tetap menjadi eksportir kayu terbesar dunia, dan terus mendukung konversi skala besar dengan menunggangi paradigma ‘pembangunan hijau’.

Batu sandungan menuju ‘perubahan transformasional’

Business-as-usual merupakan pengaruh yang besar. Konflik kepentingan dalam agenda para aktor yang terlibat dengan deforestasi – di antara dan di dalam kementerian, serta berbagai tingkat pemerintah – menjadi tantangan besar untuk mewujudkan REDD+ yang efektif, efisien dan berkeadilan.

Tantangan yang secara umum ditemukan adalah kurangnya perencanaan pemanfaatan lahan, ketidakjelasan tenurial, lemahnya penegakkan hukum dan ketidakpastian pendanaan jangka panjang. Selain itu, kurang teguhnya komitmen para politisi menjadi kendala.

Kepemimpinan politik yang kuat dalam melakukan perubahan menjadi krusial untuk menggerakkan agenda REDD+. Meski sudah ada pemimpin kuat di beberapa negara REDD+, mereka belum mampu membangun perubahan yang berkelanjutan dan terlembaga dengan menghindari deforestasi dan degradasi hutan, pada masa jabatan mereka.

Politik peluang

Politik menjadi penting saat melanjutkan REDD+. Analisis dari Indonesia, Guyana, Burkina Faso, Nepal, Brasil dan banyak negara lain menunjukkan bahwa pusaran politik dalam siklus pemilihan pemimpin berputar terlalu cepat untuk dapat menjaga momentum perubahan, atau rentang perhatian politisi terlalu singkat untuk menjalankan reformasi besar.

Indonesia bisa menjadi contohnya. Hingga 2014, dengan cepat Indonesia mengembangkan mekanisme REDD+ di bawah kepemimpinan presiden yang memiliki komitmen kuat terhadap mitigasi perubahan iklim. Pada masa itu, strategi nasional REDD+ ditetapkan. Dibangun pula lembaga REDD+ dengan wewenang koordinasi lintas kementerian, mekanisme finansial REDD+ disusun, regulasi terkait implementasi REDD+, infrastruktur MRV dan lainnya. Berbagai kebijakan ditetapkan, termasuk kebijakan moratorium lahan gambut, dan kebijakan satu peta.

Segalanya seperti berubah dalam semalam, bersama dengan pergantian presiden pada 2014. Presiden baru, dengan fokus penguatan tata kelola dan pembangunan ekonomi, menggabungkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan. Presiden juga membubarkan Badan Pengelola REDD+, Dewan Nasional Perubahan Iklim, dan Unit Kerja Pengawasan Pembangunan (UKP4), yang pernah menjadi tempat bernaung satuan tugas REDD+. Presiden kemudian mendirikan Direktorat Jenderal Mitigasi Perubahan Iklim di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan baru, mengambil alih tugas Badan REDD+ dan DNPI.

Berbagai reaksi muncul dari peserta pertemuan Addis Ababa – sebagian mempertanyakan efektivitas pendekatan presiden dalam menghentikan deforestasi, karena pada 2014 Indonesia adalah negara yang memiliki tingkat deforestasi tertinggi di dunia. Namun terdapat argument bahwa perubahan yang dilakukan di bawah presiden baru membuka peluang lebih besarnya tanggungjawab dan peran serta pemerintah dalam proses REDD+. Sementara itu, sebagian lain menyatakan bahwa perubahan ini menunjukkan pelemahan itikad politik dan menghambat efektivitas penyusunan kebijakan REDD+. Namun, seluruh peserta sepakat bahwa perubahan konfigurasi politik berkontribusi pada ketidakjelasan masa depan REDD+ di Indonesia.

Optimis dan pesimis

REDD+ memberi ruang bagi optimisme yang penuh kehatihatian dan skeptisisme.

Beberapa negara menampilkan keberhasilan respon kebijakan terhadap masalah deforestasi, melalui command and control’ dan ‘pembayaran jasa lingkungan (PES)’ sebagai bagian penting pendekatan yang lebih efektif. Negara lain melaporkan beberapa inovasi kebijakan dengan mengadopsi REDD+ dalam kurikulum pendidikan, mengulas ijin eksploitasi sumber daya alam yang menyebabkan deforestasi dan degradasi hutan, peningkatan kapasitas dan transfer teknologi dalam melakukan inventarisasi hutan, dan MRV.

Salah satu topik yang memicu kontroversi dalam diskusi adalah strategi integrasi REDD+ dalam program ekonomi hijau, seperti yang dilakukan Guyana, Indonesia dan Vietnam.

Sebagian peserta menyatakan bahwa strategi seperti ini dapat menjamin peta jalan perubahan transformasional lebih komprehensif dalam menyasar penyebab utama deforestasi. Strategi ini juga dapat membantu menghilangkan kontra-insentif seperti subsidi atas perubahan pemanfaatan lahan yang menyebabkan deforestasi dan degradasi hutan.

Namun, sebagian peserta juga menyuarakan pesimismenya. Penggunaan istilah ‘ekonomi hijau’ atau ‘pertumbuhan hijau’, akan membuat perhatian teralihkan dari perhitungan yang nyata atas hasil berdasar karbon dan non-karbon menjadi konsep yang membingungkan dan tidak banyak mempertimbangkan tujuan-tujuan REDD+.

Salah satu kondisi kunci untuk menggerakkan REDD+ adalah investasi awal yang perlu dilakukan negara REDD+. Dalam jangka pendek, hal ini menjadi beban bagi beberapa negara. namun, dalam jangka panjang, investasi awal membangun rasa memiliki, seperti terlihat di Brasil dan Guyana. Selain itu, investasi awal memperkuat komitmen dalam melampaui tekanan siklus pemilihan dan business as usual.

Pada dasarnya, kemauan politik untuk keluar dari kebiasaan lama dan berbagai tekanan kepentingan menjadi faktor penentu keberhasilan. Dibutuhkan optimisme dan komitmen yang kuat bagi setiap negara untuk melepaskan diri dari berbagai kepentingan pemicu deforestasi,  mendapatkan kembali kendali dengan menegakkan keputusan dalam mengatur perilaku investor internasional dan domestik skala besar. Dan, dalam menjaga akuntabilitas komitmen dan terpenuhinya janji pemerintah dan sektor swasta diperlukan masyarakat sipil yang terberdayakan.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Topik :   Deforestasi Perubahan Iklim

Lebih lanjut Deforestasi or Perubahan Iklim

Lihat semua