Hadapi perubahan iklim, kita perlu ‘Membuktikan Janji’

Perubahan iklim tidak hanya semata mengelar diskusi dan berdebat soal hutan. Aksi nyata pencegahan menjadi lebih penting.
Bagikan
0
Truk pengangkut kayu di Gunung Lumut, Kalimantan Timur. perbincangan iklim umumnya dibicarakan agak terisolasi dari pembangunan secara luas. Jan van der Ploeg/CIFOR

Bacaan terkait

Menindaklanjuti hasil positif perundingan perubahan iklim Paris, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, Siti Nurbaya Bakar menyerukan untuk ‘membuktikan janji-janji’ mengatasi perubahan iklim di Indonesia.

“Jangan hanya bicara. Jangan hanya dokumen politik. Tetapi, mari kita melakukannya bersama. Ini tidak akan mudah jadi kita perlu mengawalnya. Karena kita tidak punya pilihan lain, dampak (perubahan iklim) ini nyata,” kata Nurbaya pada Festival Iklim 2016 di Jakarta, awal Februari 2016.

Ia menekankan bahwa perubahan iklim tidak hanya semata soal hutan, tetapi juga energi, industri, transporasi, tata kelola limbah dan lainnya.

“Seharusnya tidak ada persaingan (antar institusi), tidak ada lagi paradoks pembuatan kebijakan, ini harus dilakukan melalui keselarasan dan kerjasama,” katanya.

Jangan hanya bicara. Jangan hanya dokumen politik. Mari kita melakukannya bersama. Karena kita tidak punya pilihan lain. Dampak (perubahan iklim) ini nyata,

Siti Nurbaya

Selain persiapan di dalam negeri, Indonesia harus juga memenuhi komitmen internasional sebagai bagian dari kesepakatan Paris.

Langkah berikutnya dalah proses penandatanganan perjanjian yang harus disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan mendaftarkan komitmen kontribusi nasional (NDC).

“Kita masih punya waktu melakukan konsultasi persiapan NDC, sejalan dengan agenda lain pelibatan pemangku kepentingan non-partai dan partisipasi aktif,” kata Nur Masripatin, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian di sela-sela Festival Iklim.

Masripatin mengungkapkan rencana pemerintah menggelar diskusi terbuka dengan sektor-sektor utama, mengenai bagaimana menterjemahkan rencana pembangunan nasional 2020, dan melibatkan beragam pemangku kepentingan, termasuk organisasi masyarakat, sektor swasta, dan masyarakat ilmiah.

“Kita terlalu fokus pada diskusi antar lembaga pemerintah jadi kita perlu menjangkau kontribusi sektor swasta, LSM yang bekerja di lapangan tetapi kurang koordinasi, kemudian masyarakat akademisi dan ilmiah. Bagaimana mereka dapat terlibat lebih dari sebelumnya, karena bicara perubahan iklim harus berbasis ilmu pengetahuan,” katanya.

Dari perspektif ilmu pengetahuan, Peter Holmgren, direktur jenderal Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) menekankan tiga hal dalam merespon kesepakatan Paris, yaitu motivasi, kesabaran dan integrasi.

“Saya pikir sangat baik ada Festival (Iklim) ini untuk menjaga momentum. Tetapi, kita perlu melakukan aksi iklim lebih dari biasa. Kita perlu benar-benar bertindak tidak seperti sebelum Paris dan membuat pertimbangan iklim pada keputusan tiap hari. Perubahan iklim penting tetapi tidak lantas ekslusif atau mendominasi segala hal yang kita lakukan. Ini seperti menggosok gigi, kita lakukan tiap hari, kita mungkin tidak suka tetapi melakukannya saja,” kata Holmgren menjelaskan motivasi.

Lebih jauh, mengenai kesabaran, Holmgren menyatakan bahwa dalam menghadapi perubahan iklim, perlu ketergesaan dalam kesabaran dan kesabaran dalam ketergesaan.

Perubahan iklim penting. Tapi tidak lantas eksklusif atau mendominasi segala hal yang kita lakukan. Ini seperti menggosok gigi, kita lakukan tiap hari, kita mungkin tidak suka tetapi melakukannya saja.

Peter Holmgren

“Bagaimana melakukan itu pada saat yang sama, khususnya ketika memandang prosesnya? Ya, kita punya kesepakatan Paris tetapi ratifikasi hanya bisa dimulai 2019. Kita perlu sangat sabar melihatnya dimulai,” katanya. “Ya, kita semua punya masalah yang perlu dihadapi saat ini seperti kebakaran dan asap, deforestasi, degradasi lahan. Walaupun, pada perspektif lebih jauh bagi negara berkembang seperti Indonesia, emisi akan lebih soal produksi, transportasi. Kita perlu bersabar memeriksa emisi masa depan.

Sementara, mengenai integrasi, Holmgren menunjukkan bahwa perbincangan iklim umumnya digelar agak terisolasi dari pembangunan secara luas.

“(Bagaimanapun) Segala hal terhubung, kita perlu banyak diskusi mengenai masalah kebakaran hingga ya, ada emisi besar darinya tetapi itu bukan hanya satu-satunya masalah, bisa jadi bukan masalah terbesar. Terdapat banyak  masalah tata kelola sumber daya, kita perlu mengintegrasikan masalah iklim ke dalam masalah lebih besar lain,” tambahnya.

Ia menekankan peran penelitian yang makin penting dari pada sebelumnya.

“Kita perlu membangun kepercayaan diri, kita perlu memberi bukti, kita perlu tahu ketika argumen atas nama ilmu pengetahuan tetapi tidak berbasis bukti dan temuan obyektif,” katanya.

Di atas itu semua, tambahnya, ilmupan perlu lebih merangkul kompleksitas seperti dilakukan di CIFOR.

“CIFOR mencoba memperluas perspektif. Kami melihat agenda SDG lebih luas mencakup iklim dan kami ingin melihat hal-hal itu terintegrasi,” rangkumnya.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Topik :   Restorasi Deforestasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

Lebih lanjut Restorasi or Deforestasi or Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

Lihat semua