UNFCCC COP21 Paris tahun ini memberikan perhatian lebih besar akan isu tata guna lahan dan mata pencaharian – hal ini membuat para simpatisan dari pemanfaatan tata guna lahan terpadu mendapatkan dukungan.
Namun, sebagian panelis yang hadir dalam Forum Bentang Alam Global 2015 menyuarakan akan perlunya kehati-hatian, bahwa mencapai manajemen tata kelola lahan berkelanjutan akan memerlukan sejumlah besar investasi.
Kenyataannya dana yang diperlukan tersebut memang belum tersedia, kata Ngozi Okonjo-Iweala, seorang ekonom dan mantan menteri keuangan Nigeria, dalam sesi pembukaan acara.
Forum, yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) bersama dengan konsorsium mitra itu, dihadiri kurang lebih 2000 partisipan – dalam acara pembukaan mengeksplorasi isu peran pemanfaatan lahan dalam kerangka perubahan iklim dan pencapaian pembangunan berkelanjutan.
Okonjo-Iweala memaparkan fakta, sebagian besar negara-negara di Afrika telah memasukkan intervensi pemanfaatan lahan ke dalam Kontribusi Nasional Yang Ditentukan (INDCs), sebagai bagian dari negosiasi perubahan iklim, terutama atas rujukan FAO yaitu sepertiga bentang alam pertanian yang terdegrasi ada di di negara-negara berkembang.
Ia mengutip laporan terbaru dari Proyek Baru Ekonomi Perubahan Iklim yang memperlihatkan bahwa diperlukan 250 miliar dolar AS setiap tahunnya untuk pembiayaan konservasi bentang alam dan restorasi, termasuk kegiatan-kegiatan yang digambarkan oleh Okonjo-Iweala sebagai “hal penting untuk mencapai tiga kemenangan vital bagi pembangunan dan perubahan iklim: meningkatkan produktivitas pedesaan, ketahanan dan mitigasi secara bersamaan”.
Sayangnya, menurut laporan tersebut, pengeluaran saat ini hanya tersedia $25 miliar AS, dan 60% dana berasal dari anggaran dalam negeri.
“Bukankah seharusnya dana itu berasal dari negara-negara donor kaya? Ya. Namun apakah mungkin? Belum tentu, “katanya.
“Kabar baiknya yaitu ada lebih dari 100 triliun dolar AS modal investasi kapital swasta, dengan tingkat suku bunga yang sangat rendah,” tambahnya. “Tetapi kabar buruknya yaitu investasi bentang alam di negara-negara berkembang secara inheren adalah berisiko.”
MELAWAN PENDANAAN
Beberapa pembicara lain di Forum Bentang Alam Global bergabung dengan para ekonom terkenal menyerukan perlunya pemerintah dan pendanaan dari para donor untuk berfokus pada penurunan resiko dan pembukaan bidang investasi baru yang bisa mengajak sektor swasta untuk bekerja sama.
Kita semua lupa bahwa bahan pangan berawal dari tanah. Kita telah memutuskan rantai pangan. Emmanuel Faber
Salah satunya adalah Baroness Ariane de Rothschild, Ketua Komite Eksekutif dari kelompok perbankan Perancis Edmond de Rothschild.
“Berkurangnya subsidi pemerintah atau dana filantropi tidak cukup untuk membiayai peperangan melawan deforestasi yang sangat penting untuk menahan laju perubahan iklim, yaitu sumbangan sekitar 20 persen,” katanya.
Ia menyebutkan tantangan lain yaitu durasi investasi yang diperlukan – mulai 10 sampai 20 tahun.
Baroness Ariane de Rothschild juga memaparkan bahwa lembaganya telah mengelola dana investasi, seperti dana Gingko Advisor sebesar 300.000.000 Euro yang didedikasikan bagi pemulihan tanah tercemar di Eropa atau dana pengembangan Moringa sebesar € 80.000.000 Euro yang difokuskan pada agroforestri lestari.
Namun, meskipun ada potensi jelas dalam kasus tersebut, investasi belum terjadi pada skala yang cocok dengan kebutuhan.
Bukankah seharusnya dana itu berasal dari negara-negara donor kaya? Ya. Namun apakah mungkin? Belum tentu, Ngozi Okonjo-Iweala
Berbicara pada sesi pembukaan Forum, Direktur Jenderal CIFOR Peter Holmgren menambahkan pernyataan bahwa dana ratusan juta dolar mengalir melalui tangan-tangan mereka yang mendiami dan mengelola bentang alam pedesaan di seluruh dunia, mulai dari pertanian hingga pengiriman.
“Ekonomi bentang alam sangat besar sehingga investasi bentang alam harus ditingkatkan. Sangat krusial untuk melakukan investasi yang dapat menghasilkan keuntungan nyata,” katanya.
MENGHUBUNGKAN KEMBALI RANTAI PANGAN
Salah satu upaya menanggapi investasi bentang alam berkelanjutan yaitu dengan cara meneliti rantai pasokan perusahaan, menurut Emmanuel Faber, CEO Danone.
Faber mengatakan bahwa ia mulai menyadari industri makanan telah membangun rantai nilai yang kompleks di seluruh dunia, sementara di sisi lain “kita semua lupa bahwa bahan pangan berawal dari tanah. Kita telah memutuskan rantai makanan. ”
Karbon, menurutnya merupakan “ukuran seberapa tidak terkoneksinya kita”.
Berkurangnya dana subsidi pemerintah atau dari filantropi tidak dapat membiayai perang melawan deforestasi. Baroness Ariane de Rothschild
Menurut Faber, meski Danone telah menstabilkan emisi gas rumah kaca dalam beberapa tahun terakhir, hal ini tidak cukup dan saat ini target mulai maksimal dan mulai mengurangi emisi dalam waktu 10 tahun.
Faber menambahkan bahwa usaha Danone akan melampaui operasi perusahaan – dimulai dari pertanian hingga konsumen.
“Alih-alih melihat bagian dari siklus yang kami kontrol, sekarang kami akan bertanggung jawab atas emisi karbon, siklus penuh proses perusahaan,” katanya.
Hal ini akan menjadi tantangan, mengingat bahwa sektor pertanian – yang memasok bahan baku Danone – mengemisi tiga kali lebih banyak gas rumah kaca dibandingkan emisi perusahaan.
Lebih lanjut, perubahan berimbas pada biaya, namun kepentingan rantai pasokan lestari perusahaan lebih penting. Ia memberi contoh daur ulang wadah produk PET, yang mungkin tidak menguntungkan di titik-ini “Tapi saat biaya minyak akan sebesar 150 dolar AS atau 200 dolar AS, hal itu akan terlambat.”
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org