Konsep “bentang alam”, terkait upaya mencapai pemanfaatan lahan lebih berkelanjutan serta pemanfaatan keamanan pangan, perubahan iklim, konservasi keragaman hayati, pengurangan kemiskinan dan sejenisnya, mendorong percepatan agenda pembangunan global di tahun-tahun terakhir.
Tahun 2015, tentu saja, agenda pembangunan masih didominasi oleh adopsi formal Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) – dan sekarang kerja untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut harus segera dimulai.
Pada pelaksanaan Forum Bentang Alam Global di Paris, tampaknya tepat untuk mulai berpikir bagaimana kedua hal ini bisa saling melengkapi, dan bagaimana pendekatan bentang alam sebagai prinsip pengorganisasian dilakukan dan bagaimana kerangka implementasi terkait dengan SDGs diberlakukan.
Kabar baiknya adalah bahwa “berpikir bentang alam” menawarkan sejumlah potensi mencapai SDG. Kabar buruknya? Sebenarnya tidak ada semacam kabar buruk, kecuali kita harus mengakui bahwa ini tidak akan mudah.
Walaupun gagasan mengintegrasikan pendekatan bentang alam secara masif dalam literatur telah ada beberapa dekade lalu, kajian terbaru menemukan bahwa bukti efektivitasnya, seperti dilaporkan dalam literatur ilmiah, hasil mengejutkan masih terbatas. Kondisi ini menjadi masalah bagi mitra implementasi, proses kebijakan dan komunitas penelitian.
Sejalan arah penelitian kami, kami telah mengidentifikasi area utama pendukung implementasi – tiga area ini seluruhnya menghadirkan tantangan, yang jika kita atasi, kita berada pada jalan menemukan solusi dan mencapai SDG.
Langkah 1: Merengkuh integrasi
Integrasi menjadi fondasi keberhasilan semua upaya operasionalisasi pendekatan bentang alam. Laporan SDGs PBB, juga, menyeru pendekatan holistik. Hal ini mencakup integrasi di dalam dan di seluruh spektrum sektor yang beroperasi dalam bentang alam. Peneliti harus berkomitmen bekerja lintas disiplin, menjembatani beda antara ilmu sosial dan biofisik. Pengambil kebijakan perlu meningkatkan pelibatan seluruh kementerian untuk menstimulasi pembuatan kebijakan yang menghitung tujuan-tujuan yang berkonflik dan bersaing di semua bentang alam. Praktisi harus merundingkan perbedaan hasil yang diinginkan, meningkatkan sinergi dan memitigasi potensi pertukaran.
Kabar buruknya? Sebenarnya tidak ada semacam kabar buruk, kecuali kita harus mengakui bahwa ini tidak akan mudah. James Reed & Terry Sunderland
Langkah 2: Bekerja lintas waktu dan ruang
Untuk meningkatkan peluang implementasi optimal, pendekatan bentang alam perlu mempertimbangkan skala spasial dan temporal. Kerangka implementasi dikembangkan pada skala nasional, dirancang untuk memenuhi komitmen global, akan tidak efektif jika tidak diselaraskan dengan realitas lokal. Lebih jauh, semua yang bekerja pada bentang alam tertentu atau dengan pertaruhan dalam bentang alam perlu jelas mengenai bagaimana mencapai perubahan terencana, dalam kondisi dan tantangan unik.
Kebutuhan konteks tidak cukup dinyatakan: tiap bentang alam berbeda dan begitu pula bekerja di satu bentang alam bisa sesuai atau bisa tidak sesuai dengan tempat lain. Teori baku perubahan positif akan memfasilitasi implementasi jika bersifat inklusif, memfasilitasi dan menegosiasi proses yang mempertimbangkan bagaimana cara terbaik membangun jejaring, mengembangkan kapasitas institusi, dan menjamin mekanisme finansial yang mengakui pendekatan ini sebagai proses jangka panjang.
Langkah 3: Mengukur, mengukur, mengukur
Mengembangkan ukuran yang sesuai menjadi penting dalam mencapai SDGs—dan ini sulit, fakta membuktikan bahwa indikator target SDG saja masih terus dikembangkan. Bagaimanapun, sejumlah bukti pemantauan dan penilaian bentang alam berkembang. Pengambil kebijakan, peneliti dan praktisi harus memanfaatkan bukti tersedia dan berjuang melakukan upaya terkoordinasi untuk mengembangkan kelengkapan alat ukur bagi pendekatan bentang alam dan kemajuan SDG. Alat ukuran tersebut perlu terkait dengan masalah pengukuran yang muncul dalam tantangan kedua di atas—kami mempertimbangkan bahwa ukuran yang mengevaluasi kemajuan akan lebih bermanfaat daripada alat pengukuran hasil.
Pendekatan bentang alam—seperti banyak visi bersama pembangunan berkelanjutan—harus dipandang sebagai proses dan bukannya proyek. Keberhasilan lebih soal perjalanan itu sendiri, daripada destinasi.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org