Akhir tahun lalu diberitakan tentang kondisi buruk suku San (orang semak) di Kalahari Botswana – satu suku dari bertambahnya jumlah ‘pengungsi konservasi’ di dunia yang terpaksa keluar dari lahan yang akan dijadikan taman nasional atau wilayah dilindungi.
Sama seperti kasus suku San, keputusan memindahkan masyarakat umumnya kurang didukung oleh informasi yang cukup. Hal ini terjadi akibat adanya asumsi bahwa masyarakat adat selalu berlebihan, merusak dan mengancam sumber alam.
Kejadian ini juga mengabaikan data dari penelitian, termasuk riset terbaru, yang menunjukkan bahwa perlindungan dan tata kelola sumber alam oleh masyarakat adat, meskipun sering tidak diakui, seringkali lebih efisien dan efektif biaya daripada peraturan yang dibuat oleh pemerintah di wilayah dilindungi.
Jadi mengapa, menakar potensi keuntungan besama, baik itu dari segi konservasi maupun penghidupan, peluang kolaborasi antara kelompok asli dan konservasionis tidak direalisasikan? Pertanyaan bagi para peneliti, apakah cukup bahwa masyarakat lokal telah mampu melindungi dan mengelola sumber alam secara efektif?
Pemantauan sumber daya – sebuah proses mengidentifikasi dan menilai ancaman – adalah aspek fundamental tata kelola sumber alam.
Semua masyarakat lokal pada tingkat tertentu mengelola sumbernya, sebagai respon terhadap ancaman.
Sementara para peneliti mengakui hal pertama, masih sedikit pengkajian dan lebih sedikit lagi yang diketahui mengenai soal kedua. Khususnya, bagaimana cara pandang dan cara respon ancaman masyarakat dalam wilayah mereka; alat khusus dan sistem apa yang mereka gunakan untuk beradaptasi, dan terutama untuk konservasi, apakah praktik mereka benar-benar efektif mencegah eksploitasi sumber daya.
PEMANTAUAN LOKAL, PERLINDUNGAN EFEKTIF
Penelitian terbaru kami di Kabupaten Mamberamo Raya, Papua memberi beberapa jawaban menarik.
Membentang lebih dari dua juta hektare, Cagar Alam Mamberamo-Foja merupakan salah satu cagar biologi terkaya di Indonesia, walaupun tidak terkelola oleh terlalu sibuknya otoritas kewilayahan cagar.
Selain ancaman penebangan, pembangunan sawit dan pertambangan, kawasan cagar ini tumpang tindih dengan banyak masyarakat seperti Kay, Metaweja dan Yoke.
Meski sadar dengan status dilindungi, ketiga komunitas menjaga klaim, adat dan aturan mengatur wilayah ini. Mereka juga berburu buaya, babi, ikan, dan mengumpulkan sumber daya hutan.
Terungkap dari hasil riset, meski kasat mata, aturan dan praktik adat membantu membentuk cara pandang dan respon akan adanya ancaman di wilayah mereka.
Contohnya, untuk menjaga wilayah yang rentan terhadap eksploitasi, beberapa individu atau kelompok diberi tanggungjawab melindungi wilayah kaya sumber daya penting.
Di Kay, para penjaga turun temurun atau ‘Ijabit’ tinggal di sejumlah lokasi sepanjang Sungai Tariku, sementara di Yoke, satu keluarga menjaga akses ke wilayah subur ikan, Danau Tabaresia. Di Metaweja, tanggungjawab perlindungan wilayah dibagi.
Warga laki-laki desa rutin berpatroli di lokasi sumber daya yang dipandang rentan atau di tempat tingginya ketidakpercayaan dengan masyarakat tetangga.
Walaupun ketiga desa melaporkan perburuan lintas batas dan ilegal, insiden jarang terjadi, denda serta hukuman juga jarang digunakan. Penelitian menunjukkan bukannya mengarah pada eksploitasi tak terkendali, kehadiran individu dan kelompok spesifik di lokasi strategis bertindak sebagai penghalang kuat bagi pemancing luar yang mengeksploitasi sumber daya.
Selain beradaptasi terhadap ancaman dari ‘pihak luar,’ masyarakat juga memiliki kemampuan menilai dan mengintepretasi sumber alam rentan di lingkungan mereka.
Ketelitian membaca tanda kelangkaan sumber daya, dan bukan malah mengeksploitasi sumber itu, mereka menyesuaikan pola perburuan dan pemanenan untuk memungkinkan pemulihan. Misalnya, di Kay, buaya diambil kulit dan dagingnya. Melalui observasi singkat, ketika masyarakat setempat menemukan bahwa jumlah populasinya rendah, perburuan dihentikan atau dikurangi.
Hal serupa, perburuan babi liar di Metaweja seringkali mendiskusikan rincian perburuan, termasuk lokasi, jejak, sarang dan kemudahan berburu pada anggota masyarakat lain. Hal ini memungkinkan mengidentifikasi area yang dibiarkan pulih, untuk meningkatkan perburuan babi di masa depan.
Dengan penghidupan masyarakat lokal sangat bergantung pada sumber daya, konsep ‘percaya’ adalah faktor utama mencegah eksploitasi sumber. Seperti dicatat oleh masyarakat Yoke, bahkan jika individu mengambil sesuatu yang tidak seharusnya, kemampuan ‘menjejak’ aktivitas manusia, seperti tanda jejak perahu atau kaki, membuat menunjukkan perilaku tidak pantas sulit disembunyikan. Sanksi atau hukuman diterapkan, tetapi memang jarang sekali digunakan.
Di Metaweja, pemburu dari masyarakat tetangga dicegat saat mengumpulkan burung cendrawasih dan dipaksa membayar denda sekitar 7 juta rupiah (550 dolar AS). Pemburu boleh pergi tapi denda tidak pernah diambil. Tampaknya hukuman rasa malu sosial dan aturan informal cukup menghalangi orang yang berpotensi mengeksploitasi.
Bagaimanapun, pemantauan masyarakat memiliki keterbatasan. Kontrol informal tidak selalu efektif.
Anggota masyarakat Metaweja mencatat bahwa walaupun ada larangan menggunakan jaring ikan nylon dan racun di sungai lokal, beberapa anggota masyarakat tetap melakukan itu, di tengah seruan kontrol lebih kuat harus diterapkan. Lemahnya penegakkan hukum pada saat penelitian kami menunjukkan menurunnya stok ikan tidak dipandang sebagai ancaman signifikan, karena ikan tidak dipandang sebagai sumber penting. Sumber daya oleh karena itu tidak selalu secara sengaja disalahgunakan. Masyarakat menempatkan nilai berbeda pada sumber daya berbeda, yang akan berdampak pada jangkauan pilihan pemantauan dan perlindungan secara efektif.
MENGAKUI PEMANTAUAN MASYARAKAT
Pemantauan menjadi tema utama tata kelola sumber alam, dengan lebih banyak penelitian mengeksplorasi peluang partisipasi masyarakat. Penelitian Papua kami memberi banyak bukti yang diperlukan bahwa pemantauan lokal berkontribusi terhadap efektivitas perlindungan sumber daya dan meredam eksploitasi liar.
Bagi konservasionis yang mendorong perluasan wilayah terlindung, penelitian menggarisbawahi potensi bahaya mengucilkan masyarakat dari lingkungannya. Walaupun praktik pemantauan tidak selalu sempurna, dan seringkali didorong oleh ketidakpercayaan masyarakat lokal dibanding alasan lingkungan, hal ini menunjukkan bahwa selama orang terhubung dengan lahan mereka, mereka lebih cenderung melindungi sumber daya.
Lebih jauh lagi, tidak sekadar memusuhi perubahan (sering menjadi justifikasi mengeluarkan masyarakat dari keputusan terkait tata kelola sumber daya taman nasional), masyarakat menunjukkan mereka sangat fleksibel, menyesuaikan perilaku pada tantangan dan peluang baru.
Dalam kondisi banyak taman nasional kurang dana dan terlalu luas, mengakui proses pemantauan lokal di dalam dan di luar taman penting untuk membantu kita memahami cara bagaimana masyarakat lokal dapat secara efektif ‘menutup celah’.
Hal ini memungkinkan otoritas taman meningkatkan perlindungan, seraya menyalurkan dana yang terbatas ke kebutuhan lain. Oleh karena itu daripada mengganti sistem tata kelola lokal – yang merugikan penduduk dan juga alam – kita harus menemukan cara memperkuat mereka. Kita harus juga mengidentifikasi perhatian dan praktik lokal agar lebih sejalan dengan tujuan konservasi dan kehidupan.
Sebagai peneliti, tantangan kita adalah membantu memaparkan dan mengkarakterisasi sistem informal dan sering terlupakan dan memberi bukti efektivitasnya.
Kasus orang semak Kalahari di Botswana hanyalah satu contoh masyarakat asli di dunia yang berjuang hidup dengan aturan yang dipaksakan pada mereka atas nama ‘konservasi’.
Bagaimanapun, kita lah yang mengambil manfaat pangan, air bersih dan udara segar yang disediakan bentang alam. Kita harus bekerja sama dan memperhatikan kesadaran mereka untuk membangun fondasi etik untuk memenuhi tujuan konservasi jangka panjang.
Pada akhirnya, mereka adalah penjaga terakhir dunia alami kita. Tanpa dukungan mereka, hanya sedikit tersisa untuk dilindungi.
Douglas Sheil adalah mitra senior CIFOR dan ilmuwan Norwegian University of Life Sciences. Douglas dapat dihubungi di Douglas.Sheil@nmbu.no
Manuel Boissière adalah ilmuwan CIRAD, penyokong CIFOR dan berbasis di Bogor. Manuel dapat dihubungi di m.boisseire@cgiar.org
Guillaume Beaudoin adalah ilmuwan CIFOR di Bogor. Guillaume dapat dihubungi di g.beaudoin@cgiar.org
Kutipan riset di dalam artikel ini adalah kemitraan dengan Centre de coopération Internationale en Recherche Agronomique pour le Développement dan Conservation International.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Bacaan lebih lanjut
Penjaga tak terlihat: pemantauan dan kontrol lokal dalam titik buta konservasi
Perspectives on Collaborative Land Use Planning in Mamberamo Raya Regency, Papua, Indonesia