Berita

Restorasi hutan mangrove, semuanya bergantung pada perencanaan

Konservasi dan restorasi mangrove mudah tersapu badai drainase tambak dan pembangunan. Bagaimana menyusun perencanaan yang efektif?
Bagikan
0
In the discussion of climate change, scientists believe the issue of ‘blue carbon’ is very important.

Bacaan terkait

LIMA, Peru—Konservasi dan restorasi lahan pesisir dan mangrove dunia— yang terancam oleh pengalian dan drainase pertambakan udang dan pembangunan— dapat mencegah pengaruh perubahan iklim, melindungi mata pencaharian dan menghindari pelepasan ribuan ton emisi gas rumah kaca setiap tahun.

Tetapi manfaat itu akan tersapu dalam badai yang akan datang kecuali proyek tersebut direncanakan baik dan diterapkan secara efektif, kata para pakar.

Mengambil contoh-contoh dari seluruh dunia, publikasi terbaru Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) dan Program Lingkungan PBB (UNEP) memberi panduan keberhasilan proyek lahan basah atau “karbon biru pesisir”

Prinsip-prinsip panduan melakukan proyek karbon lahan basah pesisir” menawarkan informasi mulai dari ikhtisar simpanan karbon hingga peluang pembiayaan karbon ekosistem pesisir.

Publikasi ini diluncurkan 9 Desember pada acara yang digelar pemerintah Indonesia di sela-sela pertemuan puncak iklim PBB di Lima, Peru.

“Publikasi ini sangat tepat waktu,” kata Heru Prasetyo, kepala Badan Nasional REDD+ Indonesia, pada peluncuran buku tersebut. “Dalam diskusi perubahan iklim, masalah karbon biru, atau ekosistem di luar bentang alam dan bersatu dengan bentang laut, sangat penting.”

‘TAK ADA SOLUSI TUNGGAL’

Lahan basah pesisir memberi nilai jasa ekosistem tertinggi dibanding semua sistem alam, kata Tim Christopherson, pejabat senior program UNEP untuk hutan dan perubahan iklim.

Karena kawasan ini menyimpan sejumlah besar karbon dan juga memberikan jasa lain-lain—termasuk perlindungan badai, peluang ekoturisme dan habitat ikan bertelur— mangroves dan lahan basah memitigasi emisi gas rumah kaca dan membantu masyarakat tinggal sepanjang pesisir beradaptasi terhadap perubahan iklim, kata Daniel Murdiyarso, peneliti utama CIFOR dan salah seorang penulis publikasi.

“Pertanyaannya adalah bagaimana menemukan sinergi antara strategi mitigasi dan adaptasi,” katanya. “Lahan basah pesisir bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, dan tidak ada ukuran tunggal. Selalu harus ada pilihan.”

Walaupun inklusi ekosistem pesisir dalam pasar pembiayaan karbon adalah baru, pelajaran bisa diambil dari seluruh dunia, kata penulis lain Stephen Crooks, manajer program perubahan iklim Environmental Science Associates (ESA).

Kasus-kasus yang diperiksa oleh para penulis termasuk lahan basah di Abu Dhabi, China, Guyana, Kenya, AS dan Papua Barat.

“Pesan mendasarnya adalah utamakan konservasi,” kata Crooks, yang bekerja dengan sebuah kelompok yang telah merestorasi 1.500 lahan basah dalam empat dekade terakhir.

Buruknya perencanaan proyek adalah satu faktor terpenting kegagalan proyek

Lahan basah yang rusak dapat direstorasi, sepanjang para disainer ingat bahwa mangroves harus ditanam di atas tinggi rata-rata ombak dan juga mempertimbangkan faktor-faktor seperti kenaikan suhu air dan memungkinkan tempat lahan basah bermigrasi ketika kondisi berubah, kata Crooks.

Ini berarti berpikir skala bentang alam dan merencanakan masa depan, selain pertimbangan praktis, seperti menghadapi ketidakjelasan tenurial lahan dan merestorasi proses ekosistem alami, bukan sekadar memilah tanggul dan gorong-gorong.

“Buruknya perencanaan proyek adalah satu faktor terpenting kegagalan proyek,” kata Crooks.

BUKAN HANYA KARBON

Publikasi tersebut menawarkan panduan perencanaan proyek karbon biru, seperti memilih metode menghitung standar karbon dan gas rumah kaca serta mengevaluasi risiko kebocoran— kemungkinan konservasi atau restorasi lahan basah di satu tempat mengarah lebih banyak penggundulan untuk tambak udang di tempat lain.

Para penulis juga menyoroti perlunya dukungan dari pemerintah lokal dengan memberikan perhatian lebih akan banyaknya jasa yang diberikan mangrove dan lahan basah pesisir lain.

“Ekosistem tersebut tidak hanya penting untuk karbon,” kata Crooks. Ekosistem juga penting untuk keragaman biologis, proteksi banjir dan badai, produk hutan, peluang ekoturisme, serta nilai kultural dan spiritual, katanya. “Dan mereka menyediakan banyak ikan.”

Untuk informasi lebih mengenai riset CIFOR mengenai hutan mangrove, silahkan hubungi Daniel Murdiyarso di d.murdiyarso@cgiar.org.

Riset CIFOR mengenai mangrove merupakan bagian dari Program Riset CGIAR mengenai Hutan, Pohon, dan Agroforestri

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org