LIMA, Peru—Tanggapan terhadap sebuah survei pengawasan hutan masyarakat dan pembagian manfaat menyoroti beberapa dari berbagai kontroversi dan rintangan filosofis terhadap kemajuan REDD+, pernyataan para panelis dalam suatu acara di sela-sela konferensi iklim UNFCCC di Lima, Peru.
REDD+— kependekan dari Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi hutan — bertujuan memberikan kompensasi bagi negara-negara tropis karena telah menjaga hutan-hutan mereka agar tidak di tebang. Sejak awal gagasan tersebut bergulir tahun 2007, banyak proyek perintis yang telah diluncurkan, dan sudah terjadi perdebatan sengit tentang bagaimana gagasan tersebut dapat terlaksana dalam praktiknya.
Niki De Sy, mahasiswa tingkat doktoral Universitas dan salah satu peneliti dari CIFOR’s Global Comparative Study on REDD+, terlibat dalam pelaksanaan survei tersebut dalam Pertemuan Para Pihak ke-19 (COP19) di Warsawa tahun lalu, memfokuskan pada peran yang dapat dimainkan oleh masyarakat dalam memantau hutan-hutan mereka, dan bagaimana berbagai manfaat REDD+ harus dibagikan dengan cara terbaik.
Hutan, iklim dan bentang alam di Lima
- Dapatkan berita, penelitian dan analisis terkait dengan COP 20 UNFCCC danForum Bentang Alam Global di cifor.org/lima
Bersama dengan rekan-rekan peneliti lain, De Sy menjelaskan hasil risetnya pada di sela-sela COP20 di Lima minggu lalu.
“Kami menanyakan kepada kira-kira 25 responden untuk setiap pertanyaan — memang ini bukan suatu studi ilmiah, tapi hasilnya memberikan petunjuk beberapa isu-isu yang masih ada banyak pertanyaan dan terjadi banyak perdebatan berlangsung.”,
Ia mengemukakan pada hadirin yang memadati acara forum, bahwa secara umum para responden setuju bahwa berbagai teknologi digital baru harus mendukung, dan bahwa data yang dikumpulkan oleh berbagai komunitas mengenai status hutan mereka bisa cukup akurat, dan dapat mewakili sebuah alternatif murah untuk mempekerjakan tenaga profesional untuk melakukan pengawasan.
Pandangan ini dikonfirmasi oleh Melaine Kermarc, manajer sebuah proyek perintis REDD+ di Republik Demokrasi Kongo, yang mengatakan dari audiens bahwa pemantauan oleh masyarakat bukan saja menghemat uang, tetapi juga memberikan rasa kepemilikan kepada masyarakat, dan investasi dalam proyek tersebut.
“Kita harus menjadikan REDD+ murah, dan saat ini melibatkan masyarakat merupakan hal termurah yang dapat dilakukan,” ujarnya.
Hal tersebut merupakan isu etika dasar, apakah sistem akan memberi imbalan orang-orang pemilik hutan — atau mereka yang membuat perubahan
“Hal tersebut juga merupakan cara bagus untuk mengembangkan kapasitas lokal untuk keterlibatan lebih jauh, dan suatu hari mampu menyerahkan seluruh prosesnya kepada berbagai organisasi lokal dan masyarakat.”
“Dan dalam membayar anggota masyarakat untuk melakukan pemantauan, bagi mereka, itulah tempat di mana mereka benar-benar melihat manfaat dari proyek ini–hal tersebut merangsang ekonomi lokal dan menghasilkan sedikit aliran dana ke desa tersebut.”
‘KETEGANGAN MENDASAR’
Salah satu dari usulan yang lebih kontroversial yang disajikan survei tersebut: “Kompensasi kepada para pelaksana REDD+ individual harus didasarkan pada kinerja karbon sebagai hasil pengukuran dalam sistem MRV [pemantauan, pelaporan dan verifikasi] nasional.”
“Dengan pertanyaan tersebut terdapat dua kubu yang sangat berbeda,” ujar De Sy.
“Beberapa orang mengatakan bahwa REDD+ ditentukan sebagai berbasis kinerja, jadi Anda harus melakukannya dengan cara itu, dan Anda harus memastikan ketertambahan–bahwa berbagai kegiatan Anda benar-benar memberikan dampak yang dapat diukur terhadap deforestasi.”
“Yang lain mengatakan bahwa gagasan ini harus lebih dari sekadar karbon agar dapat dilaksanakan di lapangan. Jadi ada dua pandangan dan filosofi yang sangat berbeda tentang bagaimana Anda melihat REDD+.”
Pertanyaan ini pada dasarnya mengerucut pada apakah Anda memprioritaskan efisiensi (dampak tertinggi dalam memitigasi perubahan iklim) atau kesetaraan (memastikan bahwa berbagai manfaat REDD+ tidak memperburuk ketidaksetaraan yang sudah ada).
“Ada suatu ketegangan mendasar–dan mungkin bahkan suatu kontradiksi–antara sasaran ganda, yaitu efisiensi dan kesetaraan dalam REDD+,” ungkap panelis lain, Margaret Skutsch dari UNAM dan Universitas Twente.
Apakah Anda memberi imbalan bagi mereka yang secara historis telah melakukan deforestasi terbanyak–yang sering kali adalah orang-orang yang sudah lebih mapan dalam suatu kelompok masyarakat–bila mereka mengubah perilaku mereka?
Atau apakah Anda menemukan cara-cara untuk memberi imbalan kepada mereka yang telah cenderung merawat hutan mereka, bahkan bila hal tersebut tidak memiliki dampak bersih pada emisi karbon di daerah tersebut?
Dan apakah mereka yang memiliki suatu manfaat di daerah tertentu — atau mereka yang menghentikan berbagai kegiatan penyebab deforestasi di daerah itu?
‘MEMBERI IMBALAN KEPADA PARA PERUSAK’
“Hal tersebut merupakan isu etika dasar, apakah sistem akan memberi imbalan orang-orang pemilik hutan–atau mereka yang membuat perubahan,” ungkap panelis Michael McCall, dari UNAM.
Para responden dari survei tersebut sebenarnya condong pada pilihan kedua–sesuatu yang mengejutkan De Sy.
“Sebagian besar orang setuju bahwa bila sektor-sektor kunci di luar kehutanan-seperti pertanian-benar-benar mengurangi tekanan mereka terhadap hutan, mereka juga harus menjadi penerima dana REDD+– yang menimbulkan banyak pertanyaan,” ujarnya.
“Hal tersebut serupa dengan memberi imbalan kepada orang-orang jahat yang telah melakukan deforestasi di masa lalu-mungkin hal tersebut benar-benar akan mengubah fokus dari pengentasan kemiskinan menuju efisiensi.”
“Hal tersebut dapat dikatakan masuk akal, tetapi masih jauh dari menggunakan REDD+ untuk memberi imbalan kepada masyarakat karena melakukan pengelolaan hutan berkelanjutan, yang telah menjadi prioritas untuk beberapa pihak.”
Bersamaan dengan survei tersebut–yang akan tetap terbuka selama COP dan dapat dijumpai di sini—De Sy, Skutsch dan Arturo Balderas Torres juga sedang mengumpulkan suatu isu khusus dari jurnal berakses terbuka Forests.
Berbagai artikel dalam isu khusus ini bertujuan untuk menggali lebih dalam pertanyaan-pertanyaan ini tentang implikasi sosial, teknis dan politis dari memasukkan pemantauan berbasis masyarakat dalam mekanisme MRV untuk REDD+.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Bacaan lebih lanjut
REDD+ monitoring and benefit sharing: Have your say!
NEW RESEARCH: Estimating carbon emissions for REDD+: the conditions for involving local people
Special Issue "The Potential Role for Community Monitoring in MRV and in Benefit Sharing in REDD+"
New technologies key to community monitoring for REDD+
Linking community-based and national REDD+ monitoring: A review of the potential
Participatory monitoring in tropical forest management
The role of community carbon monitoring for REDD+: a review of experiences
Carbon 101: Faced with teaching a complex topic, scientists get creative