BOGOR, Indonesia—Ketika hutan tropis bertemu lautan, Anda akan menjumpai mangrove, tempat istimewa kehidupan liar dan menyimpan sejumlah besar karbon.
Jika keunikan itu belum cukup, sebuah proyek riset Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) mencoba menunjukkan bagaimana mangrove juga berfungsi melindungi garis pantai menghadapi kenaikan permukaan laut.
Ketika perubahan iklim mendorong kenaikan permukaan laut global, kemampuan beradaptasi mangrove bisa sangat bermanfaat. Namun, meski memainkan peran ekologis penting dalam adaptasi perubahan iklim, mangrove juga mengalami kerusakan pada tingkat yang setara dengan luas 45.000 lapangan sepak bola setiap tahun.
- Peneliti CIFOR akan berpartisipasi dalam acara paralel selama dua pekan COP, termasuk dua sesi mengenai lahan basah pesisir (di sini and di sini). Lebih rinci mengenai acara paralel CIFOR di COP, kunjungi org/cifor-at-cop20. Ikuti COP20 dan Global Landscapes Forumdi forestsnews.cifor.org/lima.
“Saat ini Indonesia memiliki 2,6 juta hektar mangrove,” kata Daniel Murdiyarso, peneliti utama Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) dan salah seorang pemimpin riset. “Sebelumnya ada sekitar 4,5 juta hektar pada 1980-an. Jadi dalam 30 tahun terakhir, kita kehilangan 40 persen lebih wilayah mangrove – artinya kecepatan deforestasi, atau kehilangan, lebih dari 50.000 hektar per tahun,” katanya.
Untuk membantu melindungi apa yang disebut PBB sebagai “satu ekosistem paling terancam di planet bumi,” CIFOR merancang sebuah proyek pengumpulan data yang diperlukan mengenai wilayah mangrove di Asia Tenggara.
Peneliti menggunakan “metode kumpulan tabel penanda ketinggian batang permukaan cakrawala,” yang dikenal sebagai RSET, yang memungkinkan para peneliti memonitor kecepatan pertambahan daratan di hutan mangrove. Untuk melakukan ini, tim harus memasang sejumlah batang dalam tanah berlumpur mangrove sebagai penanda perubahan ketinggian permukaan yang diukur.
Kedengarannya mudah, tetapi benar-benar pekerjaan kotor di wilayah terpencil, hutan tak terhubung dengan kehidupan kota. Dalam video di atas, tim bergulat melawan lumpur dan gelombang untuk melaksanakan pekerjaan lapangan di Teluk Bintuni, Papua, Indonesia.
Untuk informasi lebih mengenai riset CIFOR di lahan basah pesisir, kunjungi cifor.org/swamp.
Proyek SWAMP CIFOR didukung oleh USAID dan US Forest Service serta bagian dari Program Riset CGIAR mengenai Hutan, Pohon dan Agroforestri.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Bacaan lebih lanjut
NEW RESEARCH: Guiding principles for delivering coastal wetland carbon projects
‘Dirty Science': Excavating the truth about mangroves and carbon
Indonesia’s merger of environment and forest ministries a bold, difficult move
Sustainable Wetlands Adaptation and Mitigation Program (SWAMP)
Special Report: Forests, climate and landscapes: News, research and analysis from Lima 2014
Experts: Landscapes restoration a delicate balance of people, policy, purpose
Addressing climate change adaptation and mitigation in tropical wetland ecosystems of Indonesia
Carbon storage in mangrove and peatland ecosystems
Mangrove conservation grapples against development
Boosting Indonesia’s wetlands science is key to tackling climate change