JAKARTA, Indonesia – Suatu pemisahan yang berlaku antara kebijakan tata kelola pertanian dan pengelolaan hutan harus dijembatani, menurut para pakar dalam konferensi baru-baru ini yang menyerukan “perubahan hubungan” antara dua sektor tersebut.
Sebuah diskusi panel dalam Pertemuan Puncak Forests Asia belum lama ini memberikan beberapa contoh kesuksesan dan kegagalan serta pengintegrasian kebijakan lintas Asia, dimana pemerintah menghadapi tantangan yang ketat antara ketahanan pangan untuk peningkatan populasi dan perlindungan bagi hutan yang semakin menghilang dalam kawasan tersebut.
“Terdapat pemisahan antara kebijakan pertanian dan kehutanan, dimana lanskap keduanya sebenarnya tergabung,” ujar panelis Kanchi Kohli, seorang peneliti lepas dari India.
Pemisahan kedua sektor ini dapat merugikan keanekaragaman hayati, ketahanan pangan dan kemampuan lanskap untuk menyediakan jasa ekosistem, panelis menyatakan, menunjukkan contoh-contoh efeknya bagi kebijakan publik pada kedua sektor.
Xie Chen, dari Forest Economics and Development Research Center, Administrasi Kehutanan Negara China, mendiskusikan beberapa kesuksesan dalam pengintegrasian perspektif pertanian dan kehutanan di bawah program China’s Conversion of Cropland to Forest Program (CCFP; dikenal juga sebagai ‘Grain for Green’ atau ‘Sloping Land Conversion Program’). Lewat CCFP, pemeritah memsubsidi 32 juta rumah tangga pedesaan untuk menanam pohon di areal tanaman pangan.
Diluncurkan tahun 1999 sebagai respons terhadap sering terjadinya banjir dan erosi dikarenakan lahan yang terdegradasi, proyek ini awalnya hanya tentang aforestasi, namun kemudian berubah dan menunjukkan dampak yang signifikan terkait ketahanan pangan dan jasa ekosistem lainnya.
“Pelan-pelan, kami mengenali penghidupan para petani … pada awalnya, kami melarang tumpang sari di lahan CCFP, namun kemudian kami mendorong tumpang sari dan juga memperbolehkan penanaman pohon bernilai ekonomi,” terang Chen.
Hasilnya pun terlihat jelas. Dengan memperbolehkan rumah tangga pedesaan memandang pertanian dan lahan berhutan secara keseluruhan, program ini telah meningkatkan produktivitas berbagai tanaman pangan termasuk buah-buahan, minyak goreng, tanaman obat, dll.
Contohnya, konsumsi buah rumah tangga meningkat: “Kebijakan konversi lahan buah-buahan berkontribusi bagi 30 persen ketersediaan buah-buahan,” lanjut Chen.
Produktivitas lahan pertanian juga meningkat, dengan hasil gandum per hektar yang meningkat di antara para rumah tangga yang berpartisipasi. Peningkatan di lahan berhutan juga terbukti dengan adanya penurunan dalam kejadian bencana alam. Hasil ini berkat apa yang disebut Chen “mencoba menyeimbangkan kebijakan pertanian dan hutan kita.”
HAMBATAN KEBIJAKAN
Kohli memberikan alternatif skenario dari negara asalnya di India, dimana “pemisahan antara pertanian dan kehutanan berawal dari masa kolonial” dan masih berlanjut. Di beberapa bagian di daerah Karnataka, India, hutan dan pertanian berada dalam lanskap mosaik interkoneksi; petani secara tradisional memanfaatkan hutan untuk mengumpulkan bahan pangan yang penting sekaligus pembuangan daun. Hutan berdiri integral bagi ketahanan pangan dan produksi pangan dalam kawasan, namun kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk melindungi hutan justru menyebabkan masyarakat kehilangan hak untuk mengelola hasil hutan, lanjutnya.
“Hutan telah dipisahkan dari pangan, padahal seperti yang kita ketahui, hutan juga menyediakan bahan pangan,” ungkap Kohli. “Apa yang sesungguhnya terpengaruh oleh hambatan yang berat ini adalah kebebasan untuk memilih bahan pangan apa dan bagaimana ini diproduksi.”
Di India, program wanatani ada di bawah Kementerian Pertanian dan Kehutanan – namun mereka tidak berkoordinasi satu sama lain, terangnya. Dia menyatakan bahwa politisi dan ilmuwan seharusnya memfokuskan pada apa yang ia sebut “fraktur antara kehutanan dan pertanian.”
Dietrich Schmidt-Vogt, ilmuwan senior World Agroforestry Centre (ICRAF) berkantor di Cina, menunjukkan beberapa contoh sekitar Cekungan Kongo, bagaimana perubahan tata guna lahan berpengaruh terhadap hutan dan pertanian. Schmidt-Vogt menerangkan, sebelum terjadi perubahan tata lahan, hingga sekitar 1950an dan 1960an, “tipe tata guna lahan yang dominan adalah ladang berpindah … yang menjaga lanskap hutan menjadi semacam ekuilibrium dinamis.”
Ia menjelaskan bahwa lanskap dengan ladang berpindah dapat menjadi sangat berbeda: Setelah periode penanaman, hutan dapat kembali ditanami setelah kosong selama 10 tahun atau lebih, sehingga lanskap yang termasuk di dalam areal tanaman pangan dan hutan dalam beragam tingkatan untuk ditanami kembali, menyediakan keanekaragaman hayati dan ketahanan pangan tingkat tinggi.
Contoh-contoh dari Schmidt-Vogt dari tiga negara menunjukkan perubahan yang sangat drastis terkait tata guna lahan berdasar konteks ekonomi dan politik: budidaya tanaman pangan yang digabungkan dengan hutan kini mendominasi di Thailand; jagung telah diadopsi di Vietnam; dan hutan perkebunan karet telah dilakukan di Cina, dimana kebijakannya mendukung langkah ini.
“MERUBAH HUBUNGAN”
Dalam konteks di Cina, ketahanan pangan telah mengalami penurunan lewat hutan perkebunan karet yang hampir eksklusif dan menggantikan ladang berpindah, terang Schmidt-Vogt. Sistem pertanian tunggal ini juga meningkatkan kerentanan akan perubahan terkait harga karet. Dalam kasus di Cina, Schmidt-Vogt menunjukkan adanya peningkatan tutupan hutan di hutan alam yang berharga. Keanekaragaman hayati telah hilang, yang kemudian menempatkan ketahanan pangan sebagai hutan kedua yang digantikan oleh perkebunan tunggal yaitu tanaman karet.
Selanjutnya, para panelis menyerukan untuk sebuah pendekatan lanskap yang terintegrasi bagi kebijakan pertanian dan hutan untuk memperhitungkan interkoneksi dari dua tipe tata guna lahan tersebut.
“Terdapat asumsi bahwa produksi pangan dan konservasi keanekaragaman hayati terhubung lewat sebuah hubungan yang berlawanan, dan apa yang dipresentasikan di sini menantang asumsi tersebut,” ujar Kiran Asher, ilmuwan senior Center for International Forestry Research (CIFOR), yang memimpin sesi diskusi. Ia menyatakan, sebagai alternatif timbulnya konsekuensi tidak diharapkan dari langkah-langkah pertumbuhan hijau – semisal perkebunan karet di kawasan Mekong – yang faktanya merugikan bagi keanekaragaman hayati dan ketahanan pangan. Oleh karena itu, “kita harus merubah hubungan antara pangan dan kehutanan,” pungkasnya.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org