Berita

Taktik baru meringankan konflik tata guna perkebunan Indonesia: Studi

Uang seringkali masuk ke elit desa dan tidak secara jujur dibagikan.
Bagikan
0
Truk sarat muatan kayu di Gunung Lumut, Kalimantan. Sebuah penelitian dekat perkebunan bubur kertas di Sumatera membantu meringankan konflik penggunaan lahan dan memberi manfaat terhadap masyarakat lokal dan perusahaan perkebunan. Foto @CIFOR

Bacaan terkait

BOGOR, Indonesia — Penelitian untuk peningkatan kemitraan di antara pemangku kepentingan sebuah perkebunan bubur kertas di Sumatera, memperkuat kekuatan negosiasi masyarakat lokal, meringankan konflik dua dekade dan mendorong penghidupan di sebuah wilayah dengan 48 persen masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan.

Penelitian dilakukan sebagai respon terhadap kegagalan kemitraan yang ada antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat sekitar untuk menyelesaikan perseteruan kepemilikan lahan, dan konflik masyarakat lokal atas pembayaran kompensasi kehilangan 296.400 hektare (732,420-akre) lahan perkebunan.

Dalam beberapa kasus, konflik atas siapa yang berhak atas kompensasi memunculkan kekerasan, menurut makalah, “Aksi Komunikatif untuk Menyejajarkan Medan Permainan dalam Perkebunan Hutan di Indonesia (Communicative Action to Lvel the Playing Field in Forest Plantation in Indonesia),” yang baru-baru dini dipublikasikan dalam Jurnal Sustainable Forestry.

Penulis utama Herry Purnomo dari Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) menyatakan bahwa penelitian membangun forum bagi negosiasi lebih setara, dan pendekatan ini bisa digunakan sebagai model di seluruh Indonesia, sejalan dengan rencana resmi Kementerian Kehutanan 2011 untuk memperluas lahan perkebunan.

Walaupun lahan ditawarkan kepada perusahaan perkebunan swasta secara formal dikategorikan lahan negara, pada praktiknya, sebagian besar dikelola masyarakat lokal yang bergantung padanya untuk penghidupan, papar makalah.

Hasilnya, pemerintah Indonesia mengeluarkan regulasi “manajemen bersama” perkebunan hutan.

Makalah Herry Purnomo mengutip penelitian sebelumnya yang menunjukkan ekspansi perkebunan bubur kertas di Indonesia mengarah pada konflik pemberian lahan, dampak lingkungan dan akses ketenagakerjaan.

“Penelitian kami melibatkan masyarakat lokal sebagai mitra penelitian untuk mengidentifikasi masalah dan bekerja sama menuju solusi,” kata Purnomo.

“Ketika penelitian dimulai pada 2005, 25 persen populasi lokal bergantung pada perkebunan untuk penghasilan dalam bentuk upah pekerjaan fisik, gaji kerja kantoran dan kontrak penanaman, penyiangan dan pemanenan,” katanya.

Masyarakat yang lahan tradisionalnya berada dalam batas perkebunan juga menerima pembayaran produksi, berdasar harga panen per meter kubik kayu (Acacia mangium), selain honor pemeliharaan dari perusahaan.

“Kemitraan awal ini, dikembangkan oleh perusahaan, memberi uang pada masyarakat lokal, tetapi juga menghasilkan konflik karena tidak jelas siapa penerima pembayaran produksi, atau apakah jumlah uang itu cukup,” kata Purnomo.

Masalah intinya adalah ketidaksetaraan keseimbangan kekuatan antara pemangku kepentingan, uang seringkali masuk ke elit desa dan tidak secara jujur dibagikan, katanya.

Terdapat pula konflik antara masyarakat pemilik klaim tradisional lahan perkebunan tetapi tinggal di luar batas konsesi, dan di antara migran baru yang pindah ke desa di dalam perkebunan untuk bekerja.

“Saya lihat konflik menjadi kekerasan jika tidak ada proses fasilitasi.”

Riset Levelling the playing field

Penelitian ini – bagian dari projek tiga tahun “Levelling the Playing Field,” didukung oleh Uni Eropa – mencakup survei rumah tangga, pertemuan dan forum pemangku kepentingan. Menurut Purnomo, forum memungkinkan anggota masyarakat untuk menyepakatai bagaimana pembayaran perusahaan seharusnya lebih terdistribusikan secara adil, dan melakukan negosiasi harga kayu dan upah kelola, dua hal yang dihargai rendah dalam temuan penelitian.

Perusahaan sepakat menawarkan kontrak operasi perkebunan eksklusif kepada masyarakat lokal yang memiliki ikatan tradisional terhadap lahan, dan dengan ikatan hukum yang ditentukan untuk memperkokoh kemitraan.

Masyarakat di luar perkebunan, tetapi memiliki klaim tradisional terhadap lahan, mengungkap keinginan untuk mendapat 25 persen lahan mereka untuk mengembangkan perkebunan karet, sawit dan lainnya sebagai sumber penghidupan. Meningkatnya akses ketenagakerjaan adalah tujuan bersama.

Makalah ini mengakui tujuan jangka panjang hak kepemilikan lahan yang disepakati dan melaporkan bahwa “proses penelitian mendorong transformasi sosial dan politik.”

Purnomo menulis bahwa penelitian ini berdasar teori aksi komunikasi Jurgen Habermas’, yaitu para aktor mencari kesamaan tindakan melalui konsensus dan kerjasama dibanding semata memburu tujuan sendiri.

Manfaat lingkungan

Menurut Herry Purnomo, jika masyarakat lokal yakin bahwa mereka akan menerima harga kayu yang adil dari perusahaan perkebunan, mereka cenderung akan bekerja keras melakukan penanaman dan mengamankan panen berikut, mereduksi degradasi utan dan emisi terkait perubahan iklim. Hasil seperti itu relvan dengan program termasuk REDD+ (Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan).

Kerangka kerja membangun kemitraan lebih setara dari kajian ini bisa membantu pengembangan perkebunan masyarakat skala kecil yang bekerja dalam kemitraan dengan perkebunan sawit dan bubur kertas skala besar, katanya. “Kolaborasi seperti ini diperlukan jika produsen skala kecil ingin bersaing dengan negara seperti China,” katanya.

“Terdapat banyak hutan di seputar pulau Jawa Indonesia saat ini dibanding lima tahun lalu karena penanaman perkebuhan kehutanan skala kecil.”

Semua pemangku kepentingan dalam penelitian perkebunan bubur kayu Sumatra – perusahaan, masyarakat dan pemerintah lokal – meminta penelitian dan sepakat bahwa perkebuhan hutan milik perusahaan harus berkelanjutan.

Untuk informasi lebih mengenai penelitian ini, hubungi Herry Purnomo di h.purnomo@cgiar.org.

Penelitian ini merupakanbagian dari Program Penelitian CGIAR mengenai Hutan, Pohon dan Agroforestri serta didanai sebagian oleh Uni Eropa.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Topik :   Tenurial Jender

Lebih lanjut Tenurial or Jender

Lihat semua