BOGOR, Indonesia (2 September, 2013) – Memperkuat kapasitas Republik Afrika Tengah untuk beradaptasi dengan perubahan iklim dapat membantu membangun kedamaian di negara yang terasing ini, yang telah dilanda ketidakstabilan politik dan konflik sipil sejak negara tersebut memperoleh kemerdekaannya dari Prancis pada tahun 1960, para peneliti menyarankan
Perkiraan terproyeksi menunjukkan bahwa suhu di Republik Afrika Selatan dapat meningkat sebesar 1,5 sampai 2,75 derajat Celsius (2,7 sampai 4,95 derajat Fahrenheit) pada tahun 2080, menurut sebuah laporan yang dipublikasikan dalam Climate and Development oleh para ilmuwan yang bekerja dengan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR).
Antara tahun 1978 dan 2009, suhu meningkat di negara Afrika sub-Sahara tersebut rata-rata 0,3 derajat C per dekade, sementara curah hujan berkurang rata-rata sebesar 1,9 cm (tiga perempat inci) per tahun dari tahun 1978 sampai 2009, menurut laporan tersebut, mengutip statistik dari Bank Dunia.
Proses mengembangkan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan cuaca dapat menjadi bagian strategis dari proses rekonstruksi dan rekonsiliasi sementara memainkan peran utama dalam memenuhi target pembangunan, ungkap laporan tersebut.
“Dengan membangun kapasitas adaptif, Anda benar-benar menangani beberapa isu pembangunan, dan dengan mempersatukan orang-orang dalam proses keikutsertaan yang murni, Anda dapat benar-benar berkontribusi terhadap pengurangan konflik dan ketegangan dalam negara tersebut,” ujar Denis Sonwa, seorang ilmuwan dan ahli agro-ekologi di CIFOR.
PEMBANGUNAN DI TENGAH KRISIS
Penelitian baru tersebut dilakukan di Republik Afrika Tengah, yang disebutkan oleh PBB sebagai negara yang berada di ambang kehancuran karena sedang berjuang dalam krisis kemanusiaan yang disebabkan oleh konflik sipil baru-baru ini. Negara tersebut merupakan salah satu negara termiskin di dunia menurut Indeks Pembangunan Manusia PBB.
Studi ‘Persepsi kelembagaan, kapasitas adaptif dan respons perubahan iklim dalam negara pasca-konflik: sebuah studi kasus dari Republik Afrika Tengah’ menyoroti cara-cara perubahan iklim memengaruhi negara dengan 4,6 juta penduduk-khususnya penduduk di daerah pedesaan yang miskin yang merupakan mayoritas populasinya – dan mengidentifikasi berbagai penghambat untuk bertindak.
Medan Republik Afrika Selatan ditutupi oleh dataran rendah berhutan evergreen campuran, dari hutan di Ledok Kongo di bagian Selatan sampai hutan mosaik pohon dan semak di bagian Utara.
Wawancara penelitian yang dilakukan bulan Desember 2009 dengan para pengambil keputusan dari organisasi pemerintah, organisasi non-pemerintah (LSM) dan lembaga-lembaga kunci di Republik Afrika Tengah yang terlibat dalam perubahan iklim, pembangunan, isu-isu konservasi dan hutan, memperlihatkan kesadaran tinggi mengenai dampak cuaca, termasuk berbagai perubahan dalam musim penghujan yang mengarah pada masa-masa kekeringan yang lebih panjang, ujar penulis utama Carolyn Peach Brown, seorang profesor di Universitas Pulau Prince Edward di kota provinsi Charlottetown di provinsi Pulau Edward Kanada.
Namun, tindakan konkret untuk beradaptasi dengan – atau berpartisipasi dalam program-program untuk memitigasi — perubahan iklim ternyata baru berada pada tahap dini, ujarnya.
“Sebuah hambatan besar untuk menanggapi perubahan iklim di Republik Afrika Tengah ialah konflik yang terus berlangsung dan ketidakamanan yang menghalangi usaha-usaha pengurangan kemiskinan atau pembangunan, termasuk berbagai usaha untuk beradaptasi dengan perubahan iklim,” tambah Peach Brown.
Ketika penduduk kehilangan tempat tinggal sebagai pengungsi, tidak dapat bercocok tanam, memperoleh air, menjual barang-barang atau memenuhi kebutuhan keluarga mereka dengan cara-cara lain, hal ini hanya menimbulkan dampak negatif pada populasi.
Efek dari perubahan iklim hanya akan menjadikan kehidupan sehari-hari menjadi lebih sulit dalam berbagai situasi konflik, ujarnya. Konflik telah merusakkan infrastruktur yang memberi sumbangsih pada pembangunan pertanian di daerah pedesaan Republik Afrika Tengah yang seharusnya dapat membantu meningkatkan adaptasi terhadap perubahan iklim, ujarnya.
“Pergantian personil yang tinggi di berbagai lembaga di daerah yang mengalami konflik juga melemahkan kapasitas berbagai lembaga untuk menanggapi,” tambah Peach Brown, mengatakan bahwa tata kelola yang buruk, koordinasi buruk lintas sektor, ketidakcukupan keterlibatan dengan masyarakat setempat, dan kekurangan sumber daya untuk pendidikan, penelitian dan infrastruktur juga membatasi kapasitas untuk menangani perubahan iklim.
Menurut Sonwa, yang menjadi pendamping penulis makalah tersebut, berbagi pengetahuan dan sumber daya di antara para pemangku kepentingan merupakan hal penting untuk dapat memahami dengan lebih baik kebutuhan masyarakat setempat dan membangun kapasitas bangsa tersebut untuk menanggapi berbagai ancaman cuaca.
Ketersediaan air dan pertanian merupakan dua bidang utama yang rentan di Republik Afrika Tengah, ungkap penelitian tersebut. Ada dua ekstrem bila berbicara mengenai air–masa kekeringan yang lebih panjang dan peningkatan prevalensi banjir, ujar Sonwa.
“Sektor pertanian masih bersifat pertukangan–mereka tidak memiliki sistem irigasi–jadi sektor ini benar-benar rentan karena tergantung pada musim hujan,” katanya, mengacu pada keterbatasan metode pertanian tradisional berintensitas rendah.
“Dan kemudian ada konteks konflik, yang mempertajam kerentanan tersebut. Konflik menghancurkan jejaring kerja yang Anda miliki dalam masyarakat dan juga menghancurkan infrastruktur.”
Konflik juga mengakibatkan terlewatkannya musim tanam, suatu situasi sulit untuk populasi pedesaan, ujarnya, menyebutkan dua kegiatan utama yang telah berguna dalam mendorong orang-orang untuk bekerja sama: National Adaptation Program of Action (NAPA) atau Program Tindakan Adaptasi Nasional, dan inisiatif REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation/Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan) .
MENGIDENTIFIKASI SOLUSI
NAPA menyediakan proses untuk negara-negara yang paling kurang berkembang untuk mengidentifikasi kegiatan-kegiatan prioritas yang menanggapi kebutuhan mendesak dan segara mereka untuk beradaptasi dengan perubahan iklim.
REDD+ merupakan mekanisme yang disokong PBB untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dengan menawarkan insentif bersyarat kepada para pengelola lahan untuk menjaga agar hutan tetap tegak.
Kedua program tersebut disoroti sebagai kontributor utama untuk membangun tautan antar lembaga. Para ilmuwan menyimpulkan bahwa tautan-tautan ini harus diperkuat untuk membangun kapasitas untuk memitigasi perubahan iklim, mengadaptasi pengelolaan pertanian dan sumber daya alam terhadap kecenderungan jangka panjang dalam variabilitas iklim.
Namun banyak organisasi internasional telah mundur dari Republik Afrika Selatan karena ketidakstabilan, yang berarti bahwa populasi tidak akan mendapat manfaat dari salah satu program tersebut, ujar Peach Brown.
“Pekerjaan yang sedang dilakukan oleh lembaga-lembaga setempat juga tidak akan terealisir karena ketidakamanan, tetapi dengan adanya realita perubahan iklim untuk penduduk setempat, mereka masih perlu menangani dan beradaptasi dengan efeknya dalam kehidupan mereka sehari-hari, bahkan ketika mereka menghadapi ketidakamanan akibat konflik senjata,” katanya.
Penelitian ini menyimpulkan tindakan positif yang sedang dilakukan oleh berbagai LSM di Republik Afrika Tengah sebelum meningkatnya kekerasan terakhir, yang mencakup pekerjaan untuk mengembangkan pertanian intensif di daerah sabana dan tanah kosong untuk mengurangi ketergantungan pada pola tanam berpindah-pindah, dan juga proyek-proyek wanatani dan reforestasi.
“Sektor pertanian perlu untuk dijadikan lebih tangguh-dengan berbuat demikian, Anda benar-benar membantu untuk membangun kembali keamanan pangan negara tersebut,” ujar Sonwa.
Penelitian ini melaporkan bahwa LSM lingkungan hidup telah terlibat dengan kelompok-kelompok penduduk asli dalam proyek-proyek pemetaan hutan yang diharapkan untuk meningkatkan pengelolaan hutan terkait dengan perubahan iklim dan REDD+, sementara berbagai universitas telah meneliti kepekaan flora dan fauna terhadap perubahan–pertimbangan penting untuk masyarakat setempat yang menggunakan hutan sebagai sumber pangan.
Dan sesudah konflik tersebut? Setiap bantuan asing yang masih berjalan perlu mengenali kerentanan penduduk setempat yang meningkat terhadap perubahan iklim, dan juga konflik bersenjata, ujar Peach Brown.
“Sesudah konflik sipil, membangun kapasitas adaptif terhadap perubahan iklim, yang membantu pengembangan keterkaitan antara berbagai macam lembaga, juga dapat berkontribusi pada proses rekonstruksi, rekonsiliasi dan pembinaan perdamaian dalam suatu negara,” katanya.
Sonwa menyetujui. “Akan sukar untuk mengatakan Anda sedang melakukan rekonstruksi baik pasca-konflik, tanpa memperhitungkan cuaca,” katanya.
Untuk informasi lebih jauh mengenai topik-topik yang didiskusikan dalam artikel ini, silakan menghubungi Denis Sonwa di d.sonwa@cgiar.org
Karya ini merupakan bagian dari Program Penelitian CGIAR tentang Hutan, Pohon dan Wanatani dan dilaksanakan dalam proyek CIFOR’s Congo Basin Forests and Climate Change Adaptation (CoFCCA) dan didukung oleh Climate Change Adaptation in Africa, International Development Research Centre and the UK Department for International Development (DFID) — dan Social Sciences and Humanities Research Council of Canada Postdoctoral Fellowship. Penelitian ini juga didukung oleh University of Guelph
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org