Teknologi baru, kunci pemantauan masyarakat terhadap REDD+

Dari udara kita hanya melihat sesuatu terjadi — tetapi tidak benar-benar tahu apa yang terjadi dan mengapa.
Bagikan
0

Bacaan terkait

BOGOR, Indonesia (19 Desember 2013) – Di tempat lahirnya kopi Arabika –Kafa Biosphere Reserve Etiopia– jagawana menggunakan Facebook untuk memantau dan memastikan perubahan yang terjadi di hutan-hutan mereka.

Sebuah studi gabungan antara lembaga swadaya masyarakat Jerman, Perhimpunan Konservasi Keanekaragaman Hayati & Hutan (NABU) dan ilmuwan dari Universitas Wageningen, bekerja sama dengan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), menggunakan data satelit penginderaan jauh dalam mengamati wilayah mereka dari udara secara waktu-nyata. Jika mereka mendeteksi adanya perubahan, mereka segera memberitahu 30 jagawana di darat melalui grup Facebook.

”Dari udara kita hanya melihat sesuatu terjadi — tetapi tidak benar-benar tahu apa yang terjadi dan kenapa,” kata Martin Herold, profesor di Universitas Wageningen dan mitra CIFOR.

“Jagawana bisa datang ke lokasi dan mengungkap, pertama, apakah ada perubahan atau tidak, dan kedua, apa yang menjadi penyebabnya, ada apa di balik itu. Dan itulah informasi yang tidak dapat Anda dapatkan dari udara,” katanya.

“Penginderaan jauh tersebut bekerja secara interaktif, secara waktu-nyata, sehingga Anda mendapatkan arus data yang lengkap.”

Jika jagawana melihat perubahan di darat, mereka menggunakan grup Facebook untuk mengingatkan para ilmuwan dan rekan mereka, sehingga dapat memusatkan perhatian dan pemantauan di daerah tersebut.

“Internet baru saja masuk di daerah tersebut, dan pada titik ini, Facebook digunakan setiap orang secara teratur daripada pos-el, dan menjadi lebih mudah membuat orang tetap terlibat. Itu mencerminkan realitas lokal,” kata Herold.

“Mungkin ada hal lain di masa yang akan datang, tapi itulah yang berfungsi saat ini.”

MENINGKATKAN UPAYA

Niki Mardas dari Global Canopy Programme (GCP), lembaga pemikir hutan tropis, mengatakan bahwa teknologi baru seperti ini memiliki peran penting melibatkan masyarakat lokal dalam REDD+ (Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan) — skema yang didukung PBB yang akan mencari negara-negara berkembang untuk diberi kompensasi atas pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Agar skema tersebut berfungsi, perubahan cadangan karbon hutan perlu dipantau, dilaporkan, dan diverifikasi.

“Masyarakat adalah yang terbaik yang bisa diberdayakan untuk mengumpulkan data, dan partisipasi mereka dalam proses REDD sangat penting bagi keberhasilan REDD+ dan bagi kesetaraan di dalam prosesnya. Sangat penting bahwa masyarakat terlibat dalam proses skala besar yang kadang-kadang mengecualikan mereka ini,” katanya, menambahkan bahwa teknologi digital membuat semuanya lebih mudah.

Ponsel, misalnya, yang kian murah, kuat, dan memiliki baterai yang tahan lebih lama – semakin digunakan oleh banyak orang.

“Ponsel adalah peranti tempat Anda memasukkan data kemudian membagikannya melalui internet – juga memiliki kamera dan GPS (Sistem Pemosisi Global). Sangat multiguna, media yang tangkas. Jika Anda mengumpulkan data berbasis kertas akan memakan waktu berminggu-mingu, berbulan-bulan – atau tidak akan pernah- sebelum dibagikan, tetapi dengan teknologi baru ini ada perputaran yang lebih cepat,” kata Mardas.

“Penggunaan teknologi tersebut juga melibatkan kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat, sehingga anak-anak muda yang lebih akrab dengan teknologi dapat melatih anggota masyarakat yang lebih tua.”

Data yang mereka kumpulkan bisa jadi merupakan apa yang Mardas sebut sebagai “penghidupan REDD+” – mengkaji perubahan tutupan hutan dan jumlah karbon yang tersimpan di sana, seperti yang dilakukan jagawana Etiopia.

“Tapi di sana juga ada kedayagunaan untuk mengumpulkan data survei mengenai kesejahteraan dan perlindungan, hal-hal yang tidak dapat Anda lihat dari udara,” katanya.

“Mereka dapat mengumpulkan data untuk membantu mengelola hutan mereka sendiri, data yang mungkin berguna bagi mereka mengenai layanan ekosistem, persediaan ikan, atau tempat-tempat suci.”

Sementara kekhawatiran tentang keakuratan data yang dikumpulkan masyarakat sering mencuat, Mardas mengatakan ada bukti yang menunjukkan jenis data tersebut dapat diandalkan seperti halnya yang dikumpulkan oleh para ahli lokal atau nasional.

Tantangannya sekarang adalah meningkatkan upaya ini sehingga data yang dikumpulkan oleh masyarakat dapat diintegrasikan ke dalam program REDD+ regional, nasional, dan global.

“Kami telah melakukan pengamatan pada proyek yang kami kerjakan bahwa ada upaya internal masyarakat yang sangat kuat untuk membangun standardisasi, meningkatkan kualitas alat-alat, mendapatkan pendekatan terbaik – tapi sangat jarang berbagi informasi mengenai protokol dengan kelompok yang berbeda,” ujar Mardas.

“Sekiranya Anda tidak memiliki pendekatan standar dan mudah, maka sangat sulit untuk mendapatkan data dan informasi yang bisa digunakan oleh sistem lain, dan mengintegrasikannya dengan data regional atau nasional.”

MENGAITKAN DAERAH DENGAN NASIONAL

Sebuah makalah yang baru-baru ini diterbitkan oleh Martin Herold dan ilmuwan lainnya dari CIFOR serta Universitas Wageningen membahas masalah ini. Makalah tersebut menyoroti pentingnya faktor penggerak lokal deforestasi dan degradasi, dan relevansi keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan dan pemantauan REDD+. Hal ini juga menguraikan kerangka kerja konseptual untuk menghubungkan pemantauan lokal dan nasional.

Pemantauan berbasis masyarakat untuk REDD+ merupakan hal baru, kata Herold, sehingga kepentingan nasional dan lokal perlu mencari peluang yang sama-sama menang untuk mendapatkan sistem pemantauan terpadu. Sampai sekarang, tidak ada negara yang secara komprehensif menerapkan skema semacam ini tapi beberapa sedang dalam pengembangan.

Untuk membantu proses ini, Mardas mengatakan GCP akan menyiapkan platform berbagi ilmu dalam jaringan- terhubung ke situs GCP yang sudah ada, REDD Desk– yang akan memberikan ruang bagi masyarakat, praktisi, dan pembuat kebijakan untuk belajar satu sama lain, dan membantu mengarusutamakan pemantauan semacam ini.

“Pemantauan oleh masyarakat memiliki nilai warisan yang tak diragukan lagi, dan pertanyaannya adalah bagaimana kita menggunakan warisan tersebut dan menjadikannya bermanfaat bagi para pembuat kebijakan dan bagi proses internasional,” katanya.

Untuk informasi lebih lanjut tentang isu-isu dalam artikel ini, hubungi Martin Herold di martin.herold@wur.nl

Karya ini merupakan bagian dari Program Penelitian CGIAR mengenai Hutan, Pohon dan Agroforestri.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Topik :   Restorasi Deforestasi

Lebih lanjut Restorasi or Deforestasi

Lihat semua