WARSAWA, Polandia (4 Desember 2013) – Persiapan untuk sebuah usulan skema internasional membayar para pengguna hutan lokal agar menurunkan emisi gas rumah kaca melalui pengurangan deforestasi lebih mengarahkan perhatian pada masalah kepemilikan lahan hutan – tetapi itu tidak memecahkan masalah, demikian temuan para peneliti.
REDD+ (Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan) adalah mekanisme yang sedang dikembangkan di bawah Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim bertujuan mengurangi emisi akibat deforestasi dan degradasi hutan dengan menciptakan nilai ekonomi atas karbon yang tersimpan di hutan, memberikan insentif pengelolaan berkelanjutan lahan hutan untuk mengurangi emisi.
“REDD+ mungkin saja mengalami perkembangan di beberapa area proyek, tetapi itu tidak membawa perubahan yang mendasar, dan pada titik ini tampaknya tidak mungkin untuk melakukannya,” kata Anne Larson, ilmuwan utama Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR).
Larson memimpin publikasi “Land tenure and REDD+: The good, the bad and the ugly (Penguasaan lahan dan REDD+: yang baik, yang buruk, dan yang mengerikan),” makalah terbaru berdasarkan kajian 22 proyek percontohan REDD+ di 71 desa di enam Negara: Brasil, Peru, Kamerun, Tansania, Indonesia, dan Vietnam.
Literatur yang direferensikan di dalam makalah telah menetapkan bahwa pembayaran yang diusulkan untuk penyerapan karbon tambahan melalui konservasi hutan di bawah REDD+ “tidak hanya membutuhkan hak atas tanah yang jelas, tetapi juga kemampuan untuk menunjukkan hak pengecualian, yang meliputi hak dan sarana guna mencegah pihak ketiga mengubah tutupan lahan”.
Artinya, sebelum masyarakat, perusahaan, atau lembaga negara menerima uang untuk menjaga pohon tetap tegak, mereka harus mampu membuktikan bahwa mereka memiliki hutan dan mampu menjaga agar orang lain tidak memotong pohon-pohon tersebut.
Ilmuwan CIFOR mencoba memastikan apakah proyek yang dilakukan bersama REDD+ memenuhi prasyarat ini atau telah mengatasi masalah kepemilikan lahan yang lemah.
“Temuan tersebut menunjukkan, pada kebanyakan kasus, REDD+ telah memberikan peluang baru mengamankan hak kepemilikan lahan lokal, tetapi intervensi oleh para pendukung proyek pada tingkat lokal tersebut tidak memadai untuk tingkat yang lebih luas, program nasional reformasi kepemilikan lahan,” tulis mereka.
Di negara-negara yang disurvei, konflik klaim di antara pengguna hutan berpengaruh terhadap banyak wilayah yang diperuntukkan bagi proyek percontohan, dan para pemegang hak mengeluhkan kesulitan menegakkannya.
“Pada banyak kasus, konsesi atau bahkan setifikat tanah yang diberikan oleh kementerian berbeda dan/atau pemerintah di tingkat lebih rendah tumpang tindih; pendatang tinggal di daerah yang dibatasi sebagai tanah adat,” kata Larson. “Bahkan, sangat umum ditemukan jumlah lahan yang diserahkan kepada pemangku kepentingan melebihi yang sebenarnya.”
Brasil menonjolkan: reformasi kepemilikan mendasar telah berlangsung di sana karena pemerintah secara resmi menyerahkan lahan kepada masyarakat lokal dan ratusan ribu petani kecil dengan syarat mereka menghormati undang-undang lingkungan.
Namun, seperti dicatat Larson, “hal itu telah terjadi jauh sebelum REDD+”. Dia menambahkan, ketidakpastian mengenai pendanaan masa depan terhadap skema tersebut berarti membiarkan advokasi hak kepemilikan lahan di enam negara yang disurvei melihat skema perubahan iklim internasional sebagai perubah permainan – namun mereka tetap menggunakan atensi dan dana yang diperoleh.
“LSM dan masyarakat pribumi yang melaksanakan proyek REDD+ melihatnya sebagai aset lebih untuk mencapai tujuan jangka panjang,” ujarnya.
Contoh di Brasil juga memiliki kelemahan: Larson menyatakan, reformasi kepemilikan di sana lebih baik dibandingkan dengan di beberapa negara lainnya. Namun, riset komparatif menemukan bahwa masyarakat lokal menghadapi masalah yang sama dalam menegakkan hak-hak baru mereka seperti halnya di negara dengan undang-undang yang kurang baik lainnya.
Sekitar 83 persen desa yang disurvei di Kamerun dan 55 persen di Indonesia dilaporkan setidaknya sebagian dari tanah mereka bermasalah.
Hampir semua pendukung proyek percontohan REDD+ melaporkan kepada peneliti CIFOR bahwa mereka telah mengidentifikasi masalah kepemilikan lahan di daerah mereka dan berusaha memecahkannya. Pada banyak kasus, mereka dapat membantu masyarakat lokal mengamankan hak mereka terhadap tanahnya, menggunakan sumber daya yang ada untuk persiapan REDD+.
Bagaimanapun, masalah tersebut terbukti lebih sulit ketika konflik “terkait dengan pembangunan ekonomi nasional”, seperti investasi internasional di perkebunan kelapa sawit. “Masalah yang terjadi pada masyarakat dan suku pribumi adalah mereka selalu menjadi yang tertindas,” kata Larson. “Emisi berasal dari para pengguna berskala besar, tetapi lebih mudah berurusan orang-orang yang kurang berkuasa dalam masyarakat lokal dan meminta mereka berhenti menebang pohon ketimbang mengatasi faktor yang mendasari berkembangnya perkebunan besar dengan cara membuka hutan.”
Hal ini membuat penulis menyimpulkan bahwa REDD+ tidak dapat memicu kemajuan berskala besar dalam hal keamanan hak-hak lahan kecuali pemerintah nasional terlibat secara aktif. “Untuk mengatasi beberapa masalah kepemilikan lahan yang paling serius di tingkat lokal atau proyek, negara harus berhadapan dengan kebijakannya sendiri,” tulis mereka.
Hal ini ditegaskan oleh studi tentang cara media nasional meliput isu yang berkaitan dengan hutan dan perubahan iklim. Ilmuwan CIFOR menemukan bahwa para pendukung REDD+ yang mengadvokasi reformasi kepemilikan lahan –seperti LSM– hampir tidak dianggap berpengaruh dalam liputan, tidak seperti terhadap pemerintah.
Contoh mencolok reformasi kepemilikan lahan terkait dengan REDD+ telah dikembangkan baru-baru ini, kata Larson.
“Di Peru, Bank Dunia baru saja mengakui koalisi organisasi pribumi tentang (pendanaan) alternatif dari REDD+,” katanya. Dia mengacu pada inklusi formal “REDD+ pribumi Amazon”, dipromosikan oleh Federasi Pribumi Amazon, AIDESEP, dalam Dana Investasi Iklim Program Investasi Kehutanan sebesar 50 juta dolar AS pada putaran pendanaan berikutnya, akhir Oktober.
Ini berarti bahwa beberapa pendanaan internasional yang ditujukan untuk upaya memerangi perubahan iklim akan menuju pada program yang dikembangkan oleh organisasi masyarakat pribumi, yang usulannya menempatkan hak lahan sebagai prioritas nomor 1, kata Larson.
“Organisasi pribumi dapat mengambil keuntungan dari REDD+ sebagai peluang,” katanya. “Namun, kasus ini juga menyarankan bahwa kita harus waspasa terhadap inisiatif REDD+ yang terutama bertujuan memberlakukan pembatasan baru terhadap masyarakat miskin hutan, dan mencari alternatif yang membangun pengalaman tentang apa yang harus dikerjakan untuk melestarikan hutan.”
Karya ini merupakan bagian dari Program Penelitian CGIAR pada Hutan, Pohon, dan Agroforestri.
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org