BOGOR, Indonesia (5 Juli, 2013) – Kebakaran di hutan dan bekas lahan hutan terjadi di Indonesia setiap tahun saat musim kering, khususnya di provinsi Riau, Kalimantan Barat, Jambi dan Kalimantan Tengah. Asap menyebar ke negara-negara lain ini kebanyakan disebabkan oleh kebakaran di lahan gambut.
Kebakaran berawal dan menyebar karena berbagai alasan, sehingga sangat menyesatkan untuk berpikir bahwa “api” merupakan masalah—atau bahkan masalah tunggal. Faktor kompleksitas sosioekonomi, ekologi dan tata pemerintahan terlibat, berarti bahwa masalah—dan solusinya—berada di atas orang yang sebenarnya menyalakan api.
Bagaimana dan di mana api dimulai?
- Sebagian besar api sengaja dinyalakan. Sebagian kemudian membara di lahan gambut berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.
- Klaim bahwa perusahaan perkebunan minyak sawit besar bertanggungjawab atas kebakaran 2013 sedang diselidiki; pada saat bersamaan, perusahaan menyatakan bahwa petani dan masyarakat lokal bertanggung jawab.
- World Resources Institute meletakkan
- CIFOR juga membuat analisis citra satelit wilayah Provinsi Riau, Sumatera, yang tampak menjadi area terdampak paling parah oleh kebakaran yang menyebabkan masalah asap di atas Sumatera, Singapura dan Malaysia. Sementara beberapa asesmen terbaru menggunakan peringatan kebakaran harian NASA, CIFOR menambahkan penggunaan citra satelit resolusi lebih tinggi dari satelit LANDSAT 8 yang baru diluncurkan, untuk memetakan titik api.
Mengapa orang melakukan pembakaran?
- Perusahaan besar menggunakan pembakaran untuk membersihkan lahan dalam perkebunan minyak sawit dan kayu baik di wilayah gambut maupun non-gambut.
- Bagi masyarakat lokal dan petani kecil, pembakaran merupakan cara termurah dan efektif untuk membersihkan lahan bagi pertanian potong-dan-bakar dan untuk mengakses rawa-rawa.
- Pembakaran digunakan sebagai “senjata” dalam konflik tenurial lahan, biasanya antara perusahaan dan masyarakat.
Bagaimana pengaruh iklim terhadap hal ini?
- Kejadian cuaca ekstrim, seperti ENSO (El Nino-Osilasi Selatan) dan kekeringan panjang membuat wilayah cenderung mudah terbakar.
- Pengembangan skala besar, seperti perkebunan minyak sawit dan kayu, juga membuat bentang alam cenderung lebih mudah terbakar menyusul terjadinya degradasi tanah akibat penebangan dan pengeringan. Contohnya, penebangan hutan untuk konversi lahan menjadi perkebunan minyak sawit lebih rentan terhadap kebakaran besar.
- Ketika lahan gambut dikeringkan berlebihan, seperti terjadi di pengembangan perkebunan, lapisan atas mengering dan cenderung mudah terbakar.
- Vegetasi yang sering terbakar cenderung mudah terbakar.
- Pengembangan skala besar berkontribusi kepada perluasan penggunaan api oleh masyarakat karena pengembangan menarik migran dan memperluas akses pada area yang sebelumnya terpencil.
- Pengembangan skala besar dapat memicu konflik ketika masyarakat lokal merasa lahan mereka direbut secara tidak adil.
Apa hukum di Indonesia yang melarang pembakaran?
- Pembakaran untuk membersihkan lahan dilarang di bawah hukum no. 32/2009 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan dan Peraturan Pemerintah No. 4/2001 mengenai Pengelolaan Degradasi Lingkungan dan/atau Polusi berkaitan dengan Hutan atau Kebakaran Lahan.
- Hukuman bagi mereka yang ditemukan melanggar Hukum No. 32/2009 termasuk denda dan penjara.
- Menegakkan pembatasan hukum pada perusahaan besar terbukti sulit, sebagian karena tanggungjawab terpecah-pecah pada tingkat berbeda pemerintah dan kehakiman.
- Mengumpulkan bukti cukup untuk mendukung tuntutan hukum menjadi berat. Dalam beberapa kasus di pengadilan yang berupaya menuntut pembakar ilegal, baik tanggungjawab kriminal atau kewajiban sipil terbukti sulit dibuktikan.
- Institusi lokal sering tidak memiliki kapasitas, sumber daya atau tekad politik untuk menegakkan hukum; bagi pejabat regional menegakkan hukum larangan pembakaran bisa jadi “bunuh diri politis”
- Riset tahun sebelumnya menunjukkan bahwa beberapa perusahan besar lebih memilih risiko bersalah dan membayar denda daripada mengeluarkan biaya untuk melakukan tindakan pencegahan.
Apakah ada mekanisme lain yang bisa menolong?
- Moratorium hutan Indonesia, baru diperpanjang untuk dua tahun, melarang otoritas mengeluarkan ijin baru untuk pengembangan di lahan gambut. Walaupun konversi perkebunan minyak sawit dapat terus dilakukan untuk konsesi yang telah diberikan; sebagiannya berada di lahan gambut.
- Pemerintah Indonesia memperkenalkan skema Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), yang melarang pembakaran dalam membangun perkebunan. Ini menjadi wajib bagi semua perusahaan minyak sawit di Indonesia pada akhir 2014.
- Perusahaan yang berusaha patuh pada persyaratan Roundtable on Sustainable Palm Oil harus tidak melakukan pembakaran dalam operasi lapangan; kepatuhan ini penting jika perusahaan mau menjual minyak sawit pada pasar sensitif-lingkungan seperti Uni Eropa.
Mengapa asap lebih buruk dalam beberapa tahun?
- Asap di Singapura dan tempat lain dihasilkan sebagian besar oleh kebakaran di lahan gambut. Asap dari kebakaran jenis lahan lain kurang memberi kontribusi signifikan.
- Asap bisa disebabkan oleh pembakaran gambut terbaru, atau oleh api yang dinyalakan terdahulu yang membara dan menyala kembali. Ketika musim kering, gambut di bawah permukaan juga terjebak api dan membara selama berbulan-bulan.
- Asap berkepanjangan karena apinya juga. Api di gambut berada 3-4 meter di bawah permukaan. Pemadam api harus memasukkan selang ke dalam gambut untuk merendam api.
Apa implikasinya bagi upaya pengurangan emisi untuk mitigasi perubahan iklim?
- Kebakaran gambut adalah penyumbang utama emisi dari Indonesia. Menurut Second National Communication Indonesia kepada U.N. Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), emisi gas rumah kaca dari kebakaran gambut meningkat dari 172,000 Gg CO2-eq. pada 2000 menjadi 451,000 in 2005.
- Kebakaran gambut menjadi sumber tunggal terbesar emisi gas rumah kaca pada 2005 (lebih besar dari energi), ketika kebakaran gambut tercatat mencapai 40 persen dari emisi gas rumah kaca Indonesia.
- Sebuah asesmen 2009 dari Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) menyatakan bahwa, antara 2000 hingga 2006, emisi gas rumah kaca Indonesia berasal dari kebakaran, oksidasi gambut dan kehilangan biomasa permukaan melalui deforestasi mencapai rata-rata 903.000 Gg CO2 setiap tahun.
- Estimasi lain menempatkan lepasan karbon pada kebakaran 1997 adalah 1,45 Gt, setara dengan 0,73 ppmv CO2, atau hampir separuh pertumbuhan CO2 atmosferik global tahunan.
- Indonesia secara sukarela berkomitmen untuk memitigasi perubahan iklim dengan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen pada 2020 dan 41 persen pada 2050. Lebih dari separuh penurunan ini dimaksudkan berasal dari sektor kehutanan/lahan gambut. Oleh karena itu, menghindari kebakaran gambut menjadi krusial bagi Indonesia untuk mencapai target ini.
- Pada 1997-1998, emisi karbon sudah cukup tinggi untuk mendorong Indonesia menjadi salah satu negara pembuat polusi terbesar dunia.
Apa hubungan antara minyak sawit dan krisis asap 2013?
- Krisis asap terkahir, setidaknya sebagian, disebabkan oleh pembersihan lahan bagi pengusahaan perkebunan.
- Menurut blog World Resources Institue, 20 persen kebakaran dari 12-20 Juni berada di konsesi minyak sawit, berdasarkan data satelit NASA dan dipetakan ke atas peta konsesi Kementerian Kehutanan.
Seberapa besar krisis asap ini menyebabkan kerugian?
Terlalu dini untuk memberi estimasi menyeluruh kerugian kebakaran dan asap tahun ini karena banyak kerugian yang harus dihitung:
– Kerugian lahan pertanian, kayu, produk hutan non-kayu
– Biaya pemadaman
– Kerusakan infrastruktur
– Gangguan kesehatan, pariwisata dan transportasi
– Kerusakan layanan ekosistem hutan, seperti perlindungan banjir, pengaturan air, proteksi pendangkalan, keragaman hayati serta mitigasi dan adaptasi perubahan iklim
– Emisi karbon
– Penurunan produktivitas kerja
- Pada kebakaran 1997/1998, estimasi WWF dan Environmental Emergency Project (EEP) Kementerian Kehutanan Indonesia memunculkan angka lebih dari 6 miliar dolar AS.
- Berdasarkan harga pasar karbon 2004, emisi dari episode kebakaran 1997 berharga sekitar 3,6 miliar dolar.
- Kebakaran 1997 memberi pengaruh buruk pada kesehatan, kemiskinan dan penghidupan bagi 75 juta orang.
Apa yang bisa dilakukan untuk menghindari situasi berulang sendiri?
- Pemerintah Indonesia bisa:
- Menerapkan dan menegakkan larangan membakar lahan gambut. Indonesia memiliki kapasitas teknologi dan penegak hukum untuk melakukan itu.
- Meningkatkan perencanaan spasial untuk melindungi lahan gambut dan hutan bernilai karbon tinggi lain. Ini bisa menolong Indonesia mencapai kebijakan “pertumbuhan hijau berkeadilan”, menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan perlindungan lingkungan.
- Merehabilitasi lahan gambut, merupakan cara terbaik untuk mencegah api dan dekomposisi gambut (sebagai sumber utama emisi karbon), karena gambut basah tidak terbakar atau terdekomposisi.
- Terus melanjutkan moratorium hutan dan meluaskannya ke seluruh lahan gambut.
- Menjamin bahwa setiap pembangunan yang melibatkan penggunaan skala besar perubahan penggunaan lahan hanya terjadi pada lahan yang telah terdegradasi/terdeforestasi.
- Menggunakan teknologi penginderaan jauh, pemetaan digital untuk mendukung upaya prediksi, deteksi dan merespon potensi krisis kebakaran; mencegah kebakaran tak diinginkan; dan untuk menegakkan penegakkan hukum pelarangan pembakaran.
- Mendukung semua tingkatpemerintah Indonesia untuk bekerja sama memperkuat penegakkan hukum.
- Singapore and Malaysia menjadi kantor pusat banyak perusahaan perkebunan yang beroperasi di Indonesia. Seperti yang dikatakan Perdana Menteri Singapura, pemerintah bisa membantu pemerintah Indonesia menjamin bahwa perusahaan dan kontraktor yang mereka pekerjakan, menghargai hukum, begitu pula dengan tanggungjawab Indonesia terhadap perusahaan Indonesia.
- Perusahaan, di manapun mereka berada biasanya memiliki tanggungjawab korporasi. Contohnya Consumer Goods Forum (CGF)—sebua jaringan global pebisni barang konsumer, termasuk yang menggunakan hasil pertanian di lahan gambut-telah berkomitmen dalam Tropical Forest Alliance dengan pemerintah AS untuk mendorong nol deforestasi bersih pada 2020. CGF bisa mengambil posisi keras menghadapi konversi lahan gambut.
- Konsumen bisa menuntut minak sawit dan kertas mereka tidak dibudidayakan di lahan gambut, atau pada lokasi dari konversi gambut.
- Bank dan institusi pembiayaan internasional yang meminjamkan uang bagi perusahaan perkebunan bisa menjamin keberlanjutan komitmen (contoh: World Bank & International Finance Corporate mengikuti Kerangka Kerja Keberlanjutan; bank swasta mengikuti Prinsip Equator) mengakui isu asap sebagai masalah lingkungan serius.
- Masyarakat internasional dapat:
- Mendukung inisiatif seperti Kalimantan Forests and Climate Partnership yang dilakukan Australia yang mempelajari bagaimana merestorasi lahan gambut terdegradasi agar mereka tidak mudah rentan kebakaran.
- Membuka kebuntuan negosiasi iklim internasional untuk mendukung implementasi REDD+, yang dapat memberi alternatif arus pemasukan bagi pemilik lahan dan masyarakat, hingga mereka dapat meningkatkan penghidupan tanpa mengkonversi hutan.
Bagi jurnalis yang ingin wawancara dan informasi lebih mengenai topik ini, silahkan menghubungi Bruno Vander Velde, CIFOR media manajer melalui email B.VanderVelde@cgiar.org atau melalui telefon +62 811 800 6150
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org